a. Pengertian Pembelajaran Kontekstual
Pendidikan masih didominasi oleh pandangan
bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih
berfokus pada guru sebagai sumber belajar, dan ceramah menjadi pilihan utama
strategi belajar, guru jarang diobservasi dalam pembelajarannya untuk
memberikan umpan balik dalam pembelajaran. Keberhasilan pembelajaran tergantung
dari hubungan kerja yang dinamis antar pihak yang terlibat (Battersby &
Gordon, 2006: 123). Kondisi ini berakibat siswa belum dapat menghubungkan apa
yang mereka pelajari dan memanfaatkan pengetahuan tersebut dalam kehidupannya
(Gafur, 2003: 274).
Saat ini muncul pemikiran bahwa siswa akan
belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih
bermakna jika siswa mengalami apa yang
dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi target
penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek
tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka
panjang. Dan itulah yang terjadi di kelas-kelas sekolah. Oleh karena itu, perlu
pendekatan alteratif dalam proses pembelajaran yang tidak menempatkan siswa
hanya menghafal fakta-fakta, tetapi mendorong siswa untuk mengkonstruksikan dan
mengaitkan pengetahuan hasil yang dipelajari dalam kehidupan nyata. Pendekatan
ini adalah Pembelajaran Kontekstual atau dalam istilah asingnya Contextual Teaching and Learning.
Crawford, A. et.al (2005: 1) memberikan
definisi Pembelajaran kontekstual adalah “Learning
fully and usefully means that students can think about what they learn, apply
it in real situations or toward
further learning, and can continue to learn independently” maksudnya adalah
pembelajaran dengan penuh makna dan menyenangkan, siswa dapat mengetahui apa
yang dipelajarinya serta dapat mengimplemantasikan pada situasi nyata
selanjutnya dapat meneruskannya belajar secara mandiri.
Johnson (2002: 19) mengartikan Contextual
Teaching and Learning (CTL) sebagai berikut :
…an educational process that aims to help
students see meaning in the academic material they are studying by connecting
academic subjects with the context of their daily lives, that is, with context
their personal, sosial, and cultural circumstance. To achive this aim, the system encompasses the
following eight component: making meaningful connection, doing significant
work, self-regulated learning, collaborating, critical and creative thingking,
nurctturing the individual, REACThing high standard, using authentic
assessment.
Maksudnya CTL memungkinkan siswa
menghubungkan isi mata pelajaran dengan kondisi personal, sosial, budaya dalam
kehidupan sehari-hari untuk menemukan makna. CTL, melalui delapan komponen
memperluas konteks pribadi siswa lebih lanjut yaitu melalui 1) membuat hubungan yang bermakna, 2) melakukan pekerjaan yang
signifikan, 3) belajar mandiri, 4) bekerja sama, 5) berfikir kritis dan
kreatif, 6) memelihara individu, 7) mencapai standar yang tinggi, 8)
menggunakan penilaian autentik. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Stringer, Cristenshen, & Baldwin,
(2010:94) bahwa:
Learning as a process of inquiry,
exploration, or investigation therefore is based on the assumption that
children have a natural capacity to learn, and that our task is not to merely
provide a body of knowledge, but to ask questions or provide other stimuli that
will set their minds working and engage them in active and playful processes of
discovery.
Pembelajaran proses menemukan, eksplorasi atau investigasi walaupun
berbasis pada asumsi yang dimiliki siswa sesuai dengan kapasistas
alamiahnya, dan tugas kita bukan untuk memberikan ilmu, melainkan memberikan
pertanyaan atau dukungan lainyang dapat membangkitkan etos kerja serta
membangkitkan aktivitas dan berperan penuh dalam proses diskoveri/penemuan.
Pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses pendidikan yang holistic dan
bertujuan membentuk siswa untuk memahami makna materi yang dipelajarinya dengan
mengaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari,
sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel dapat
diterapkan dari satu permasalahan/konteks ke permasalahan yang lain.
Majid (2011: 25) berpendapat bahwa belajar
akan lebih bermakna jika anak “mengalami” sendiri apa yang dipelajarinya. Pembelajaran
yang berorientasi pada target penguasaan materi terbukti dalam kompetensi
“pengingat” jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali kompetensi kehidupan
jangka panjang. Komalasari (2013: 13) berpendapat bahwa pembelajaran
kontekstual adalah pembelajaran yang menerapkan konsep
keterkaitan (relating), konsep
pengalaman langsung (experiencing),
konsep aplikasi (applying), konsep
kerjasama (cooperating), konsep
pengaturan diri (self-regulating),
dan konsep penilaian autentik (autenthic
assessment). Ini berarti konsep
belajar yang mengaitkan materi dan membuat hubungan pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan. Slameto (2002:40) menyatakan
bahwa kontekstual adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada siswa untuk bereksperimen, bereksplorasi
dan menentukan kajian untuk distimulasikan, menceritakan berdialog, atau
tanya jawab) kejadian pada dunia nyata kehidupan sehari-hari yang dialami siswa
kemudian diangkat ke dalam konsep yang dibahas.
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan
masyarakat. Dengan CTL, diharapkan hasil pembelajaran lebih bermakna bagi
siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa
bekerja dan mengalami, serta melakukan konstruksi pengetahuan bukan transfer
pengetahuan dari guru ke siswa. Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa
makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana
mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya
nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya
menggapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan
pembimbing. Dari konsep tersebut ada
tiga hal yang harus dipahami:
Pertama,
Pembelajaran Kontekstual (CTL) menekankan kepada proses keterlibatan siswa
untuk menemukan materi. Artinya, proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses
belajar dalam konteks Pembelajaran Kontekstual tidak mengharapkan agar siswa
hanya menerima pelajaran, tetapi yang diutamakan adalah proses mencari dan
menemukan sendiri materi pelajaran.
Kedua,
Pembelajaran Kontekstual (CTL) mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan
antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. Artinya, siswa dituntut untuk dapat menangkap
hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini
sangat penting sebab dengan dapat mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan
kehidupan nyata, materi yang dipelajarinya itu akan bermakna secara fungsional
dan tertanam erat dalam memori siswa sehingga tidak akan mudah terlupakan.
Ketiga,
Pembelajaran Kontekstual (CTL) mendorong siswa untuk dapat menerapkan
pengetahuannya dalam kehidupan. Artinya, Pembelajaran Kontekstual tidak hanya
mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, tetapi bagaimana
materi itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi
pelajaran dalam konteks Pembelajaran Kontekstual (CTL) tidak untuk ditumpuk di
otak dan kemudian dilupakan, tetapi sebagai bekal bagi mereka dalam kehidupan
nyata.
Terdapat lima karakteristik penting dalam
proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan Kontekstual:
1)
Dalam Pembelajaran Kontekstual (CTL)
pembelajaran merupakan proses pengaktifan
pengetahuan yang sudah ada (activing knowledge). Artinya,
apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari.
Dengan demikian, pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang
utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
2)
Pembelajaran yang kontekstual adalah
pembelajaran dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring
knowledge). Pengetahuan baru itu dapat diperoleh dengan cara
deduktif. Artinya, pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan
kemudian memperhatikan detailnya.
3)
Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) berarti
pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal, melainkan untuk dipahami dan
diyakini.
4)
Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman
tersebut (applying knowledge). Artinya, pengetahuan dan pengalaman yang
diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
5)
Melakukan refleksi (reflecting knowledge)
terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan
balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi pembelajaran dengan
pendekatan konsektual memberikan penekanan pada penggunaan berpikir tingkat
tinggi, transfer pengetahuan, permodelan, informasi dan data dari berbagai
sumber.
Pembelajaran kontekstual dapat dikatakan sebagai
sebuah pendekatan pembelajaran yang mengakui dan menunjukkan kondisi alamiah
pengetahuan. Melalui hubungan di dalam dan di luar ruang kelas, suatu
pendekatan pembelajaran kontekstual menjadikan pengalaman lebih relevan dan
berarti bagi siswa dalam membangun pengetahuan yang akan mereka terapkan dalam
pembelajaran seumur hidup. Pembelajaran kontekstual menyajikan suatu konsep
yang mengaitkan materi pelajaran yang dipelajari siswa dengan konteks materi
tersebut digunakan, serta hubungan bagaimana seseorang belajar atau cara siswa
belajar.
Kegiatan pembelajaran dilaksanakan sebagai
upaya untuk membuat belajar lebih mudah, sederhana, bermakna dan menyenangkan
agar siswa mudah menerima ide, gagasan, mudah memahami permasalahan dan
pengetahuan serta dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan barunya secara
aktif, kreatif dan produktif. Untuk mencapai usaha tersebut segala komponen
pembelajaran harus dipertimbangkan termasuk pendekatan kontekstual.
Selain itu pembelajaran kontekstual merupakan
suatu konsep tentang pembelajaran yang membantu guru-guru untuk menghubungkan
isi bahan ajar dengan situasi-situasi dunia nyata serta penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga, warga negara, dan pekerja serta
terlibat aktif dalam kegiatan belajar mengajar yang dituntut dalam pelajaran.
Tugas guru dalam kelas kontekstual adalah membantu siswa mencapai tujuannya.
Guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas
guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan suatu
yang baru bagi anggota kelas (siswa). Pendekatan kontekstual ini perlu
diterapkan mengingat bahwa selama ini pendidikan masih didominasi oleh
pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus
dihapalkan. Dalam hal ini fungsi dan peranan guru masih dominan sehingga siswa
menjadi pasif dan tidak kreatif. Melalui pendekatan kontekstual ini siswa
diharapkan belajar dengan cara mengalami sendiri bukan menghapal.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran kontekstual ini merupakan konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai anggota keluarga dan
masyarakat yang percaya diri, kreatif (creative
thinking), responsif, interaktif dan kritis (critical thinking)
b. Komponen Pembelajaran Kontekstual
Ada tujuh komponen pembelajaran kontekatual
yang harus dikembangkan oleh guru dalam proses pembelajaran ini yaitu :
1)
Konstruktivisme (Constructivism)
Kontruktivisme adalah proses membangun atau
menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman.
Kontuktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) dalam CTL, yaitu bahwa
pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas
melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep
atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat (Rusman, 2012: 193).
Manusia harus membangun pengetahuan ini
memberi makna melalui pengalaman yang nyata. Batasan konstruksivisme tersebut
memberikan penekanan bahwa konsep bukanlah tidak penting sebagai bagian
integral dari pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa, akan tetapi
bagaimana dari setiap konsep atau pengetahuan yang dimiliki siswa itu dapat
memberikan pedoman nyata terhadap siswa untuk idaktualisasikan dalam kondisi
nyata.
2)
Menemukan ( inquiry )
Inquiry adalah proses pembelajaran didasarkan
pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis (Sanjaya,
2008: 191). Menemukan, merupakan kegiatan inti dari CTL, melalui upaya
menemukan akan memberikan penegasan bahwa pengetahuan dan keterampilan serta
kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan bukan merupakan hasil dari mengingat
seperangkat fakta-fakta, tetapi merupakan hasil menemukan sendiri.
3)
Bertanya (Questioning)
Unsur lain yang menjadi karekteristik utama
CTL, adalah kemampuan dan kebiasaan untuk bertanya. Pengetahuan yang dimiliki
seseorang selalu bermula dari bertanya. Oleh karena itu, bertanya merupakan
strategi utama dalam CTL. Penerapan unsur bertanya dalam CTL harus difasilitasi
oleh guru, kebiasaan siswa untuk bertanya atau kemampuan dalam menggunakan
pertanyaan yang baik akan mendorong pada peningkatan kualitas dan produktivitas
pembelajaran (Rusman, 2012: 195). Melalui penerapan bertanya, pembelajaran akan
lebih hidup, akan mendorong proses dan hasil pembelajaran yang lebih luas dan
mendalam dan akan banyak ditemukan unsur-unsur terkait yang sebelumnya tidak
terpikirkan baik oleh guru maupun siswa. Oleh karena itu, proses bertanya perlu
dikembangkan karena: a) Dapat menggali informasi, baik administrasi maupun
akademik, b) Mengecek pemahaman siswa,
c) Membangkitkan respon siswa, d) Mengetahui sejauhmana keingintahuan siswa, e)
Mengetahui hal-hal yang diketahui siswa, f) Memfokuskan perhatian siswa, g)
Membangkitkan lebih banyak pertanyaan dari siswa, h) Menyegarkan kembali
pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
4)
Masyarakat Belajar ( Learning Community )
Maksud dari masyarakat belajar adalah
membiasakan siswa untuk melakukan kerja sama dan memanfaatkan sumber belajar
dari teman-teman belajarnya (Rusman, 2012: 196). Seperti yang disarankan dalam learning community, bahwa hasil
pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain melalui berbagai
pengalaman (sharing). Melalui sharing
ini anak dibiasakan untuk saling memberi dan menerima, sifat ketergantungan
yang positif dalam learning community dikembangkan.
Kebiasaan penerapan dan mengembangkan masyarakat belajar dalam CTL tidak hanya
dengan teman di kelas tetapi juga dengan masyarakat di luar kelas. Siswa
dibimbing dan diarahkan untuk mengembangkan rasa ingin tahunya melalui
pemanfaatan sumber belajar secara luas yang tidak hanya disekat oleh masyarakat
di kelas tetapi. dengan keluarga dan masyarakat sehingga siswa mendapat
pengalaman dari komunitas lain
5)
Pemodelan (Modelling)
Yang dimaksud dengan modelling adalah proses
pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh
setiap siswa (Darmiyati Zuchdi, 2010:
58). Modelling merupakan komponen yang cukup penting dalam pembelajaran CTL,
sebab melalui moelling siswa dapat terhindar dari pmbelajaran yang
teoretis–abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme.
6)
Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa
yang baru terjadi atau baru saja dipelajari. Dengan kata lain refleksi adalah
berpikir ke belakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu, siswa
mengedepankan apa yang baru dipelajarinya sebagai stuktur pengetahuan yang baru
yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Pada saat
refleksi menurut Zuchdi, (2011: 222) siswa diberi kesempatan untuk
menghubungkan kehidupannya dengan materi pembelajaran yang diterimanya,
merenung atau mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya kemudian apa yang
akan diperbuatnya untuk masa yang akan datang untuk berubah menjadi lebih baik.
7)
Penilaian Otentik (Authentic Assessment)
Tahap terakhir dari pembelajaran kontekstual
adalah melakukan penilaian. Penilaian sebagai bagian integral dari pembelajaran
memiliki fungsi yang amat menentukan untuk mendapatkan informasi kualitas
proses dan hasil pembelajaran melalui penerapan CTL yaitu kesesuaian antara
tujuan, proses pembelajaran dan assesmen (Anderson, Lorin & Kratwohl, 2010:
14). Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data dan informasi yang bisa
memberikan gambaran atau petunjuk terhadap pengalaman belajar siswa. Dengan
terkumpulnya berbagai data dan informasi yang lengkap sebagai perwujudan dari
penerapan penilaian, maka akan semakin akurat pula pemahaman guru terhadap
proses dan hasil pengalaman belajar setiap siswa.
Reformasi pembelajaran mesti menempatkan guru
sebagai person yang terbuka dan mengajar untuk keperluan kecerdasan
eksperimental (kecerdasan ilmiah) sebagaimana diterapkan pada pemecahan
masalah-masalah pribadi mapun sosial, dan bukan dilaksanakan demi memenangkan
dogma tertentu (Dananjaya, 2012: 13).
Komalasari (2013: 18-19) menyampaikan bahwa
terdapat perbedaan signifikan antara pendekatan pembelajaran CTL dengan
pembelajaran konvensional perbedaan tersebut mengacu ke berbagai segi
pendekatan maupun ranah penempatan objek pembelajaran. sebagaimana terdapat dalam tabel di bawah
ini:
Tabel
2.
Perbedaan
Pendekatan CTL dengan Konvensional
No |
Pendekatan CTL |
Pendekatan Konvensional |
1 |
Siswa
aktif dalam pembelajaran |
Siswa
adalah penerima informasi secara pasif |
2 |
Siswa
belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi |
Siswa
belajar secara individual |
3 |
Pembelajaran
dikaitkan dengan dunia nyata dan atau masalah yang disimulasikan |
Pembelajaran
sangat abstrak dan teoritis |
4 |
Perilaku
dibangun atas kesadaran diri |
Perilaku
dibangun atas kebiasaaan |
5 |
Ketrampilan
dibangun atas dasar pemahaman |
Ketrampilan
dibangun atas dasar latihan |
6 |
Hadiah
untuk perilaku baik adalah kepuasaan diri |
Hadiah
untuk perilaku baik adalah pujian atau nilai raport |
7 |
Seseorang
tidak melakukan yang jelek karena sadar hal itu keliru dan merugikan |
Seseorang
tidak melakukan yang jelek karena takut hukuman |
8 |
Bahasa
diajarkan dengan pendekatan komunikatif yakni siswa diajak menggunakan bahasa
dalam konteks nyata |
Bahasa
diajarkan dengan pendekatan structural rumus diterangkan sampai paham,
kemudian dilatih (drill) |
9 |
Pemahaman
rumus dikembangkan atas skemata yang sudah ada dalam diri siswa |
Rumus
itu ada di luar siswa, yang harus diterangkan, diterima, dihafalkan dan
dilatihkan |
10 |
Pemahaman
rumus itu relative berbeda antara siswa satu dengan yang lain sesuai dengan
skemata siswa |
Rumus
adalah kebenaran abslout (sama
untuk semua orang). Hanya ada dua kemungkinan yaitu pemahaman rumus yang
benar atau salah |
11 |
Siswa menggunakan kemampuan berpikir
kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran
efektif dan membawa skemata masing-masing ke dalam proses pembelajaran. |
Siswa
secara pasif menerima rumus atau kaidah (membaca, mendengarkan, mencatat,
menghafal) tanpa memberikan kontribusi ide dalam proses pembelajaran. |
12 |
Pengetahuan yang dimiliki manusia
dikembangkan oleh manusia itu sendiri |
Pengetahuan
adalah penangkapan terhadap serangkaian fakta, konsep, atau hukum yang berada
di luar diri manusia. |
13 |
Karena ilmu pengetahuan itu dikembangkan
oleh manusia itu sendiri, sementara manusia selalu mengalami peristiwa baru
maka pengetahuan itu tidak pernah stabil, selalu berkembang. |
Kebenaran bersifat absolut dan pengetahuan
bersifat final. |
14 |
Siswa diminta bertanggungjawab, memonitor
dan mengembangkan pembelajaran mereka masingmasing. |
Guru adalah penentu jalannya proses
pembelajaran. |
15 |
Penghargaan terhadap pengalaman siswa
sangat diutamakan. |
Pembelajaran tidak memperhatikan pengalaman
siswa. |
16 |
Hasil belajar diukur dengan berbagai cara:
proses bekerja, hasil karya, penampilan, rekaman, tes,dll |
Hasil belajar diukur dengan tes. |
17 |
Pembelajaran terjadi diberbagai tempat,
konteks, dan setting. |
Pembelajaran hanya terjadi dalam kelas. |
18 |
Penyesalan adalah hukuman dari perilaku
jelek. |
Sanksi adalah hukuman dari perilaku jelek. |
Sumber: Komalasasi, 2013: 18-19
c. Prinsip Desain Pembelajaran Kontekstual
Menyampaikan pembelajaran pada hakikatnya
merupakan kegiatan menyampaikan pesan kepada siswa oleh nara sumber dengan
menggunakan bahan, alat, teknik dan lingkungan tertentu. Agar penyampaian
tersebut efektif, perlu diperhatikan beberapa prinsip (Gafur, 2003: 19-22)
yakni:
1)
Kesiapan dan Motivasi (Readiness and Motivation)
Prinsip ini menyatakan bahwa jika dalam
menyampaikan pesan pembelajaran siswa siap dan memiliki motivasi tinggi
hasilnya akan lebih baik. Siap di sini
mempunyai arti siap pengetahuan prasyarat, siap mental, dan siap fisik. Jika
pengetahuan, keterampilan dan sikap prasyarat untuk mempelajari suatu komponen
belum terpenuhi perlu diadakan pembekalan atau matrikulasi.
Motivasi adalah dorongan untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu, termasuk melakukan kegiatan belajar. Dorongan dimaksud
dapat berasal dari dalam atau luar siswa. Teknik yang dapat digunakan untuk
membangkitkan motivasi salah satunya adalah menunjukkan kegunaan dan pentingnya
materi tersebut dipelajari serta kerugian jika tidak mempelajari, manfaat dan
relevansinya untuk waktu sekarang dan akan dating untuk bekerja di masyarakat.
2)
Penggunaan Alat Pemusat Perhatian (Attention Directing Devices)
Prinsip ini menyatakan bahwa jika dalam
penyampaian pesan digunakan alat pemusat perhatian, hasil belajar akan
meningkat. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa perhatian adalah terpusatnya
mental terhadap sebuah objek memegang peranan penting terhadap keberhasilan
belajar. Semakin memperhatikan semakin berhasil, semakin tidak memperhatikan
semakin gagal. Apabila perhatian sukar untuk dikonsentrasikan maka perlu alat
pengendali perhatian berupa media gambar, ilustrasi, bagan, warna, kecerdasan,
film dan lain-lain.
3)
Partisipasi Aktif Siswa (Student’s Active Participant)
Partisipasi aktif siswa meliputi aktivitas
mental (memikirkan jawaban, merenungkan, menjawab, membayangkan, merasakan) dan
aktivitas fisik terdiri atas: a) Aktivitas visual seperti membaca, menulis,
melakukan percobaan dan demonstrasi. b) Aktivitas lisan seperti bercerita,
membaca sajak, tanya jawab, diskusi dan menyanyi. c) Aktivitas mendengarkan
seperti mendengar penjelasan guru, mendengarkan ceramah, pengarahan. d)
Aktivitas gerak seperti senam, atletik, menari, melukis. e) Aktivitas menulis
seperti mengarang, membuat makalah dan membuat surat. Jadi setiap aktivitas
baik mental atau fisik yang perlu diperhatikan agar siswa dapat terlibat aktif
dalam kegiatan ini.
4)
Pengulangan (Repetition)
Prinsip ini memberikan arahan agar dalam
penyampaian pesan pembelajaran diulang-ulang maka hasil belajar akan lebih
baik. Pengulangan dilakukan dengan cara dan media yang sama maupun dengan cara
dan media yang berbeda. Pengulangan dapat dilakukan dengan tinjauan selintas
awal pada memulai pelajaran dan ringkasan atau kesimpulan pada akhir pelajaran
atau tinjauan selintas akhir.
5)
Umpan Balik (Feedback)
Umpan balik adalah informasi yang diberikan
kepada siswa mengenai kemajuan belajarnya. Jika salah diberikan pembetulan (corrective feedback) dan jika betul
diberikan konfirmasi atau penguatan (confirmative
feedback). Siswa akan menjadi mantap jika jawaban btul kemudian dibetulkan.
Sebaliknya siswa akan tahu dimana letak kesalahannya jika jawaban salah
diberi tahu kesalahannya kemudian
dibetulkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar