Menyerahnya militer jepang kepada pada tanggal 15 Agustus 1945 telah menimbulkan suatu kekosongan kekuasaan di daerah pendudukan yang tidak dapat segera diisi oleh pihak Inggris, sebagai wakil dari negara-negara Sekutu yang menang dalam Perang Dunia II, atau Belanda yang berkeinginan untuk melaksanakan kembali sistem kolonialismenya di Indonesia. Keadaan tersebut mendorong para pejuang di Indonesia, khususnya pemuda, agar Indonesia segera memproklamasikan kemerdekaannya.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno dan Drs.
Mohammad Hatta memproklamasikan berdirinya Negara Indonesia yang berdaulat.
Keberanian Soekarno dan Mohammad Hatta mendapat dukungan luas dari rakyat
Indonesia, tetapi tidak mendapatkan pengakuan dari masyarakat internasional
(Harold Crouch, 1986). Masalah itu dimungkinkan, karena Belanda yang tergabung
dalam Sekutu masih diakui kekuasaannya di Indonesia. Dengan demikian ketika
Inggris di tugaskan Sekutu untuk melucuti pasukan Jepang, maka langkah tersebut
memperlancar kembalinya pemerintahan Belanda di Indonesia. Para pemimpin
Indonesia memprotes kembalinya pasukan Belanda, tetapi bangsa Indonesia tidak
mempunyai kesanggupan dan kekuatan militer untuk mencegahnya.
Enam minggu setelah proklamasi kemerdekaan
pemerintah Indonesia membentuk tentara reguler, yaitu Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan Tentara Nasional Indonesia
(TNI). Tentara baru tersebut semula merupakan kesatuan setempat yang tersebar
di seluruh kepulauan Indonesia dan terbentuk secara spontan setelah mendengar
berita menyerahnya pemerintah pendudukan Jepang. Tentara Keamanan Rakyat dalam
mempersenjatai diri merebut senjata dari pasukan Jepang. Kekuatan utama TKR
adalah para pemuda yang telah memasuki organisasi Pembela Tanah Air (PETA).
Selain PETA, TKR juga merekrut mantan perwira muda yang telah mendapatkan
latihan kemiliteran pada Akademi Militer Belanda dengan tingkat profesionalisme
yang jauh lebih tinggi apabila di bandingkan dengan pasukan yang berasal dari
PETA, tetapi jumlahnya sangat sedikit.
Dilihat dari komposisi dan kualitasnya maka tentara
Indonesia bukan merupakan lawan yang setingkat dengan pasukan Inggris dan
pasukan Belanda didalam perang konvensional. Meski tentara Indonesia melakukan
perlawanan ketika pasukan Inggris mendarat di kawasan Indonesia pada akhir
tahun 1945 tetapi pada akhirnya pasukan Inggris dan pasukan Belanda dapat
menguasai kota-kota utama di Indonesia. Hal ini dikarenakan pasukan Belanda
dipimpin oleh perwira-perwira profesional terlatih dan berpengalaman
mengomandokan pasukan sedangkan pasukan Indonesia tidak lebih dari kumpulan-kumpulan
pemuda setempat dengan latihan-latihan yang terbatas, tidak mempunyai
pengalaman bertempur, persenjataan yang dimiliki sedikit dan jauh dari bersatu.
Meski lemahnya pengalaman dan persenjataan serta kemampuan yang dimiliki oleh
tentara Indonesia ternyata pasukan Belanda tidak mampu menghapuskan eksistensi
Republik Indonesia (K.M.L. Tobing, 1987). Sebaliknya justru menumbuhkan tingkat
kesadaran untuk berjuang menegakkan dan mempertahankan Negara Republik
Indonesia yang baru diproklamasikan tersebut.
Pertanda utama dari tahun-tahun pertama revolusi
Indonesia dari pertengahan 1946 sampai dengan akhir tahun 1948 adalah tekanan
yang semakin meningkat yang dilancarkan oleh pihak Belanda terhadap pemerintah
Indonesia. Keadaan tersebut telah mendorong upaya untuk mengubah strategi
perjuangan Republik Indonesia dari konflik-konflik militer ke usaha
penyelesaian secara diplomasi dalam rangka melaksanakan sistem dekolonisasi dan
mempertahankan kemerdekaan di Indonesia.
Perundingan-perundingan diplomatik Indonesia dan
Belanda secara formal dimulai sejak 1946 dengan melalui perantaraan Inggris
kemudian Amerika Serikat. Dalam setiap perundingan sesungguhnya Belanda telah
mengakui Republik Indonesia secara de facto (R.Z. Leirissa, 1992). Disepakati
bersama bahwa Belanda mengakui kedaulatan penuh Republik Indonesia setelah
suatu masa tertentu, tetapi kapan hal tersebut akan direalisasikan adalah suatu
masalah yang selalu menghambat. Meski anggota delegasi Belanda dan Indonesia
dapat mencapai kesepakatan atau persetujuan mengenai berbagai soal, tetapi
pihak-pihak yang beroposisi baik yang ada di Indonesia atau di Negari Belanda
selalu mengajukan berbagai keberatan terhadap hasil kesepakatan tersebut
beserta implementasinya.
Dengan demikian, realisasi dari hasil kesepakatan
dalam perundingan tersebut selalu terhambat, sehingga kembali terjadi
konflik-konflik bersenjata antara Indonesia dengan pihak Belanda. Baru setelah
adanya pelaksanaan agresi militer Belanda yang ke I dengan sasaran utama
diarahkan kepada wilayah Republik Indonesia de facto, masalah pertikaian
Indonesia dengan Belanda dimasukkan dalam agenda resmi persidangan di Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hal ini membawa keuntungan bagi Republik
Indonesia dalam upayanya untuk mencari dukungan pengakuan dari negara-negara di
dunia. Sementara itu situasi militer Indonesia semakin menyulitkan posisi
Belanda dengan sistem gerilyanya. Keadaan tersebut dimanfaatkan oleh kaum
politisi Indonesia untuk memberikan tekanan yang semakin intensif kepada
Belanda di meja perundingan supaya meluluskan tuntutan-tuntutan yang diajukan
oleh pihak Republik Indonesia yakni melepaskan pemerintahan masa peralihan dan
akhirnya mengakui serta menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia
Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949. Meski dalam pengakuan dan
penyerahan kedaulatan tersebut kedudukan Negara Republik Indonesia hanya
merupakan bagian dari Republik Indonesia Serikat tetapi sebenarnya bentuk RIS
tersebut bukan tujuan utama dari perjuangan rakyat Indonesia karena hal
tersebut bertentangan dengan cita-cita negara yang diproklamasikan pada tanggal
17 Agustus 1945, melainkan hanya sebagai taktik untuk memperoleh pengakuan
kedaulatan secara penuh dari Belanda dan setelah itu terpenuhi akan kembali
kepada maksud perjuangan semula yaitu negara kesatuan. Sebab Belanda sudah
tidak mempunyai kewenangan untuk mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.
Seperti yang tercantum dalam Piagam Pemindahan Kedaulatan yang menyebutkan
Negara Belanda tidak akan menuntut syarat apa-apa dan memindahkan kedaulatan
Indonesia yang penuh kepada Republik Indonesia Serikat dan mengakui Republik
Indonesia Serikat sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat (George Mc.
Kahin, 1980). Oleh karena itu tidak perlu heran jika usia dari Negara Republik
Indonesia Serikat tersebut hanya delapan bulan dari waktu penyerahan
kedaulatan, sebab pada tanggal 17 Agustus 1950 Republik Indonesia Serikat
menjadi Negara Kesatuan.
Keberhasilan perjuangan politik diplomasi memberikan
konstribusi yang besar dalam rangka menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan
Negara Republik Indonesia meski hal tersebut ditunjang pula oleh perjuangan
bersenjata, karena antara keduanya adalah saling melengkapi, bahkan oleh K.M.L.
Tobing (1986) dikatakan bahwa perjuangan di meja perundingan (diplomasi) itu
lebih berat apabila dibandingkan dengan perjuangan fisik yang dilakukan di
garis terdepan dalam front pertempuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar