BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor
penting dalam pembangunan. Secara makro, faktor-faktor masukan pembangunan,
seperti sumber daya alam, material dan finansial tidak akan memberi manfaat
secara optimal untuk perbaikan kesejahteraan rakyat bila tidak didukung oleh
memadainya ketersediaan faktor SDM, baik secara kualitas maupun
kuantitas. Pelajaran yang dapat dipetik dari berbagai negara maju adalah, bahwa
kemajuan yang dicapai oleh bangsa-bangsa di negara-negara tersebut didukung
oleh SDM yang berkualitas. Jepang, misalnya, sebagai negara pendatang baru
(late comer) dalam kemajuan industri dan ekonomi memulai upaya mengejar
ketertinggalannya dari negara-negara yang telah lebih dahulu mencapai kemajuan
ekonomi dan industri (fore runners) seperti Jerman, perancis dan Amerika
dengan cara memacu pengembangan SDM (Ohkawa dan Kohama 1989).
Pengembangan SDM pada intinya diarahkan dalam rangka meningkatkan kualitasnya, yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan produktivitas. Hasil berbagai studi menunjukkan, bahwa kualitas SDM merupakan faktor penentu produktivitas, baik secara makro maupun mikro. Sumber Daya Manusia (SDM) secara makro adalah warga negara suatu bangsa khususnya yang telah memasuki usia angkatan kerja yg memiliki potensi untuk berperilaku produktif (dengan atau tanpa pendidikan formal) yg mampu memenuhi kebutuhan hidup sendiri dan keluarganya yang berpengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat di lingkungan bangsa atau negaranya.
Kualitas SDM Makro sangat dipengaruhi oleh kualitas
kesehatan (fisik dan psikis), kualitas pendidikan informal dan formal (yang
berhubungan dengan keterampilan/keahlian kerja), kepribadian terutama
moral/agama, tingkat kesejahteraan hidup dan ketersediaan lapangan kerja yang
relevan.
Sumber Daya Manusia konteks mikro, adalah manusia/orang yang
bekerja di lingkungan sebuah organisasi yang disebut pegawai, karyawan,
personil, pimpinan / manajer, pekerja, tenaga kerja, majikan buruh dll. Di
lingkungan organisasi bidang pendidikan adalah semua pegawai administratif,
pendidik /guru, dosen serta tenaga kependidikan lainnya.
Dalam kenyataannya manusia (SDM) dengan organisasi sebagai
wadah untuk mewujudkan hakikat kemanusiaan dan untuk memenuhi kebutuhan (need) manusia memiliki hubungan yang
sangat / kuat. Hubungan tersebut sebagai berikut :
a.
Manusia
membutuhkan organisasi
|
Organisasi
membutuhkan manusia
|
b.
Manusia
penggerak organisasi
|
Tanpa
manusia organisasi tidak akan berfungsi
|
c.
Manusia
berorganisasi untuk memenuhi kebutuhannya
|
Semua
kebutuhan manusia merupakan obyek organisasi
|
Oleh karena itu SDM diperlukan oleh setiap institusi
kemasyarakatan dan organisasi. Berbagai institusi kemasyarakatan, seperti
institusi keluarga, institusi ekonomi, dan institusi keagamaan termasuk
institusi sekolah, SDM merupakan unsur penting dalam pembinaan dan
pengembangannya. Demikian pula dalam organisasi, SDM berperan sangat penting
dalam pengembangannya, terutama bila diinginkan pencapaian tujuan yang optimal.
Bila tujuan akhir setiap kegiatan pembangunan, baik dalam konteks makro maupun
mikro, adalah peningkatan taraf hidup, maka optimalisasi pencapaian tujuan itu
adalah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia secara optimal. Berdasarkan konsep
di atas, dukungan SDM yang berkualitas sangat menentukan keoptimalan keberhasilan pencapaian tujuan itu.
Kualitas SDM ditentukan oleh berbagai faktor yang saling
berkaitan, di antaranya kesehatan dan kemampuan. Faktor kemampuan sebagai salah
satu faktor penentu kualitas SDM bisa
dikembangkan di antaranya melalui pendidikan. Jadi, pendidikan merupakan suatu upaya dalam proses pengembangan SDM
(Maginson, Joy Mattews, dan Banfield, 1993).
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah hakikat manajemen SDM Pendidikan dalam dunia
pendidikan saat ini ?
2. Bagaimana kualitas SDM Pendidikan
saat ini terkait dengan manajemen pendidikan sekolah ?
C. Tujuan
Masalah
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah selain memenuhi
tugas dosen, dalam rangka pengambilan nilai, juga dijadikan bahan diskusi
kelompok pada mata kuliah manajemen pendidikan berbasis sekolah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakekat
Pengembangan SDM
Pengertian SDM ada dua macam, yaitu:
1. Derajat kualitas usaha yang
ditampilkan seseorang yang terlibat dalam proses produksi untuk menghasilkan
barang atau jasa, dan
2. Manusia yang memiliki kemampuan
kerja untuk menghasilkan produksi, baik barang atau jasa (Simanjuntak, 1985).
Perbedaan antara kedua pengertian di atas terletak pada
derajat kualitas manusia itu sendiri. Pada pengertian pertama, manusia
dipandang sebagai SDM bila memiliki kualitas yang sesuai dengan tuntutan atau
kebutuhan usaha. Dalam konteks makro, ciri yang menandainya adalah kualitas
untuk melaksanakan perubahan dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat,
sedangkan dalam konteks mikro adalah kualitas untuk melakukan proses produksi,
misalnya dalam suatu organisasi bisnis atau industri. Jadi, manusia
menjadi SDM apabila dia terlibat dalam proses produksi dan kualitas kemampuan
yang dimilikinya sesuai untuk menghasilkan produksi itu. Pada pengertian kedua,
aspek kualitas tidak ditonjolkan. Karena pada dasarnya setiap individu manusia
yang termasuk pada kategori angkatan kerja itu terlibat atau dapat dilibatkan
dalam proses pembangunan atau proses produksi, maka dalam kondisi memiliki
kemampuan apapun dia termasuk kategori SDM, apabila dia terlibat dalam proses
itu. Bila belum terlibat, dia masih dikategorikan sebagai potensi. Oleh sebab
ada persyaratan keterlibatan, baik pada pengertian pertama maupun pada
pengertian kedua, maka pemanfaatan kemampuan dalam proses pembangunan nasional
maupun dalam proses produksi merupakan indikator utama proses pengembangan SDM.
Artinya, upaya apapun yang diarahkan untuk meningkatkan kompetensi, akan
termasuk pada upaya pengembangan SDM apabila dikaitkan dengan pemanfaatannya
dalam pembangunan atau dalam proses produksi.
Pengembangan SDM merupakan suatu istilah yang digunakan
untuk menggambarkan suatu pendekatan bersifat terintegrasi dan holistik dalam
mengubah prilaku orang-orang yang terlibat dalam suatu proses pekerjaan, dengan
menggunakan serangkaian teknik dan strategi belajar yang relevan (Megginson,
Joy-Mattews, dan Banfield, 1993). Konsep ini mengandung makna adanya berbagai
unsur kegiatan selama terjadinya proses mengubah prilaku, yaitu adanya unsur
pendidikan, adanya unsur belajar, dan perkembangan. Unsur pendidikan
dimaksudkan untuk menentukan teknik dan strategi yang relevan untuk mengubah
prilaku. Unsur belajar dimaksudkan untuk menggambarkan proses terjadinya
interaksi antara individu dengan lingkungan, termasuk dengan pendidik. Adapun
unsur perkembangan dimaksudkan sebagai proses gradual dalam perubahan dari
suatu keadaan, misalnya dari keadaan tidak dimilikinya kompetensi menjadi
keadaan memiliki kompetensi, yang terjadi dalam jangka waktu tertentu.
B.
Pengembangan SDM Melalui Pendidikan
Pengembangan SDM yang membawa misi sebagaimana disebutkan di
atas difokuskan pada peningkatan ketahanan dan kompetensi setiap individu yang
terlibat atau akan terlibat dalam proses pembangunan. Peningkatan ketahanan dan
kompetensi ini di antaranya dilaksanakan melalui pendidikan. Bila dikaitkan
dengan pengembangan SDM dalam rangka meningkatkan kemampuan menyesuaikan diri,
pendidikan juga merupakan upaya meningkatkan derajat kompetensi dengan tujuan
agar pesertanya adaptable
terhadap berbagai perubahan dan tantangan yang dihadapi. Selain itu, pendidikan
yang diselenggarakan seharusnya juga memberi bekal-bekal kemampuan dan
keterampilan untuk melakukan suatu jenis pekerjaan tertentu yang dibutuhkan
agar dapat berpartisipasi dalam pembangunan (Boediono, 1992). Program semacam
ini harus dilaksanakan dengan disesuaikan dengan keperluan dan usaha yang
mengarah kepada antisipasi berbagai perubahan yang terjadi, baik di masa kini
maupun yang akan datang (Han, 1994; Dertouzas, Lester, dan Solow, 1989).
Sebagaimana dijelaskan di atas, pembangunan pada dasarnya
merupakan suatu proses melakukan perubahan, dalam rangka perbaikan, untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Kesejahteraan terkait dengan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup rakyat, baik
material maupun mental dan spiritual. Adapun kualitas SDM terkait dengan
derajat kemampuan, termasuk kreatifitas, dan moralitas pelaku-pelaku
pembangunan. Atas dasar ini, proses perubahan yang diupayakan melalui
pembangunan seharusnya menjangkau perbaikan semua sektor secara menyeluruh dan
berimbang, pada satu sisi, dan pada sisi lain merupakan upaya meningkatkan
kualitas SDM.
Perbaikan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat adalah fokus dari
pembangunan sektor ekonomi, dengan tujuan meningkatkan pemenuhan kebutuhan yang
bersifat fisik dan material, baik kebutuhan primer, sekunder, tertier
maupun kuarter. Pemenuhan kebutuhan ini seharusnya seimbang dengan pemenuhan
kebutuhan mental dan spiritual. Bebas dari rasa takut, adanya rasa aman,
dihargai harkat dan martabatnya, dilindungi kebebasan dan hak-haknya, serta
tersedianya kesempatan yang sama untuk mewujudkan cita-cita dan potensi diri
adalah bentuk-bentuk kebutuhan mental yang seharusnya diperbaiki kondisinya
melalui pembangunan. Adapun pemenuhan kebutuhan spiritual terkait dengan
kebebasan dan ketersediaan prasarana, sarana dan kesempatan untuk mempelajari,
mendalami dan menjalankan ajaran agama yang dianut, sehingga komunikasi dengan
Sang Pencipta dapat terpelihara.
Pada sisi peningkatan kualitas SDM, pembangunan diarahkan
untuk menjadikan rakyat negeri ini kreatif, menguasai serta mampu mengembangkan
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS), dan memiliki moralitas.
Kreatifitas diperlukan untuk bisa bertahan hidup dan tidak rentan dalam
menghadapi berbagai kesulitan. Dengan kreatifitas, seseorang menjadi dinamis
dan bisa menemukan jalan keluar yang positif ketika menghadapi kesulitan atau
masalah.
Penguasaan dan kemampuan mengembangkan IPTEKS sangat
dibutuhkan untuk peningkatan taraf hidup, dan agar bangsa ini bisa disandingkan
dan ditandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Ini mengingat, globalisasi dalam
berbagai bidang kehidupan sudah tidak bisa dihindari dan berdampak pada
terjadinya persaingan yang ketat, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, maupun
politik. Untuk bisa memasuki pergaulan dalam kehidupan global
(persandingan dengan masyarakat global) maupun untuk meraih keberhasilan dalam
berbagai kesempatan yang tersedia (pertandingan dalam kehidupan global)
diperlukan penguasaan dan kemampuan mengembangkan IPTEKS. Adapun moralitas
sangat diperlukan agar dalam menjalani kehidupannya prilaku bangsa ini
dikendalikan oleh nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang bersifat nasional dan
universal. Karena nilai-nilai ini berkait dengan batas-batas antara baik dan
tidak baik, benar dan tidak benar, serta antara yang menjadi haknya dan bukan
haknya, maka tingginya moralitas dapat meningkatkan keterpercayaan dan
keandalan individu dan masyarakat, baik di mata bangsanya sendiri maupun dalam
pergaulan global. Jadi, kualitas SDM bukan hanya ditentukan oleh kemampuan dan
kreativitasnya saja tetapi juga oleh derajat moralitasnya.
Terdapat deretan panjang strategi perubahan SDM melalui
jalur belajar yang dapat dilaksanakan di lingkup sekolah. Tetapi, dalam artikel
ini hanya akan dimunculkan beberapa yang paling umum dipakai.Berikut adalah
cara-cara tersebut:
1.
Peningkatan kualifikasi pendidikan
Peningkatan
kualifikasi pendidikan akan sangat menguntungkan baik kepada individu maupun
bagi lembaga. Keuntungan individual diperoleh karena peningkatan kualifikasi
pendidikan disamping merupakan agen pencerahan (enlightment agent) bagi guru juga menambah poin untuk kepentingan
sertifikasi dan kenaikan jabatan guru dan pangkatnya. Bagi tenaga kependidikan,
peningkatan kualifikasi ini sangat mungkin akan membantu memperlancar kenaikan
jabatan dan pangkat mereka. Secara institusional, perbaikan kualifikasi
pendidikan disamaping berarti perbaikan konformitas kriteria SDM juga berarti peningkatan
kompetensi SDM yang diperlukan demi mutu proses dan hasil pekerjaan yang
diharapkan. Dengan alasan ini, mereka yang sudah memenuhi kualifikasi-pun
hendaknya terus didorong untuk melanjutkan pendidikannya. Dorongan yang
dimaksud dapat berupa satu atau gabungan dari a) pemberian motivasi yang
sungguh-sungguh dan terus menerus, b) pemberian status tugas belajar atau
setidaknya ijin belajar, c) dispensasi waktu jika diperlukan, dan jika mungkin,
d) penyediaan fasilitas termasuk pemberian beasiswa baik penuh maupun sebagian.
Masalah
yang sering muncul dan teramati di lapangan berkaitan dengan pendidikan formal
ini adalah sebagai berikut. Menempuh pendidikan relatif makan waktu. Sering
juga terjadi pendidikan yang berkualitas berbanding lurus dengan waktu tempuh.
Sehingga, justru lembaga pendidikan yang kurang berorientasi mutu menjadi
pilihan. Fokus diarahkan pada perolehan ijasah tanpa mempedulikan peningkatan
nyata pada kualitas.
Oleh
karenanya, perlu diingatkan agar mereka yang bekerja pada sekolah memperhatikan
betul unsur mutu dalam pemilihan lembaga kependidikan. Hendaknya dipilih
lembaga pendidikan, baik di dalam maupun di luar negeri, yang secara nyata
mengedepankan kualitas Para pemangku kepentingan (stake holders) sekolah:
kepala sekolah, komite sekolah, kepala dinas pendidikan, pejabat-pejabat
departemen pendidikan nasional, dan bupati/walikota, selain membantu
mempermudah para pendidik dan tenaga kependidikan untuk melanjutkan studinya,
hendaknya juga memperhatikan benar-benar unsur kualitas agar terjaga kesetaraan
kualitas dengan kualifikasi pendidikan yang disandang oleh mereka. Selain itu
pemilihan jurusan syang sesuai dengan bidang tugas juga perlu mendapat
perhatian.
2. Pendidikan dan Pelatihan (diklat)
Diklat
umumnya diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi yang memiliki tugas
pembinaan terhadap sekolah berkisar mulai dari tingkat Kabupaten/Kota sampai
tingkat pusat bahkan tingkat internasional. Berbeda dengan pendidikan formal,
diklat bersifat luwes dalam hal waktu. Diklat dapat dilangsungkan dari bilangan
jam sampai bilangan bulan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan. Diklat dapat
diselenggarakan dengan materi sesuai dengan kebutuhan atau keinginan sehingga
hampir semua fungsi pendidikan di sekolah dapat di-diklat-kan: manajemen,
kepemimpinan, proses belajar mengajar, administrasi, dsb. Disamping itu,
instruktur diklat dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan. Mereka
dapat dipilih dari kalangan akademisi, teknisi, maupun praktisi sehingga diklat
dapat bersifat teoritis, teknis, maupun praktis.
Karena
keluwesan diklat hampir pada seluruh aspeknya, diklat sering dijadikan jalan
keluar untuk mengatasi masalah kualitas SDM. Catatan yang perlu diungkap agar
diklat dapat benar-benar menjadi solusi bagi masalah mutu SDM adalah bahwa
pelaksanaan diklat hendaknya setia kepada tujuan. Tidak jarang dijumpai diklat
dipakai sebagai ’proyek’ yang secara ekonomis menguntungkan para penyelenggara
sehingga fokus perhatian mereka bukan pada tercapainya tujuan diklat secara
efektif. Hasilnya bukan diklat bermutu yang benar-benar menjadi solusi masalah
mutu SDM tetapi sebaliknya menurunkan kadar kepercayaan peserta diklat. Kontrol
yang ketat dari mereka yang berwenang agar diklat tidak disalahgunakan perlu
dilakukan dengan serius.
3. Kursus
Kursus
diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi di luar sekolah. Bedanya, diklat
diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi nirlaba sedangkan kursus biasanya
oleh organisasi berorientasi laba. Karena berorientasi bisnis, lembaga
pengelola kursus umumnya berusaha menjual produk jasanya dalam kualitas
maksimal yang dapat mereka tawarkan. Umumnya, harga jasa mereka berbanding
lurus dengran kualitas jasa yang mereka tawarkan. Jika tidak, mekanisme pasar
akan ’bertindak’. Oleh karena mekanisme pasar ini, memilih lembaga kursus yang
bermutu relatif lebih gampang dibanding dengan menentukan kulaitas pada sebuah
diklat. Jika kursus menjadi pilihan, yang penting dilakukan adalah penyiapan
dana yang sesuai dengan mutu kursus yang dipilih. Yang perlu dilakukan oleh
pemakai jasa kursus agar tidak membeli terlalu mahal adalah membandingkan
kualitas jasa yang mereka jual dengan jasa sejenis dari penjual lain.
4.
In-House Training (IHT)
Berbeda
dengan diklat dan kursus yang diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi di
luar sekolah, IHT dilaksanakan sendiri oleh sekolah. Instruktur dapat diambil
dari kalangan dalam sekolah atau dari luar sekolah. Karena diselenggarakan oleh
sekolah, materi IHT dapat lebih dispesifikasikan sesuai dengan kebutuhan dan
keinginan sekolah penyelenggaranya. Karena diselenggarakan di sekolah, IHT
merupakan kegiatan yang sangat mungkin diikuti oleh semua tenaga pendidik dan
kependidikan karena disamping murah, mereka juga tidak harus meninggalkan tugas
dinas mereka. Disamping itu, IHT juga sangat baik untuk menjadi wahana
peningkatan penguasaan materi bagi para instruktur dari dalam sekolah karena
menjadi instruktur sesunggguhnya merupakan cara belajar yang sangat efektif.
IHT dapat juga menjadi media untuk mempererat hubungan batin antar warga
sekolah sehingga ikatan kekeluargaan bisa menjadi lebih baik. Hasilnya, IHT
dapat menjadi forum yang baik untuk membentuk kultur baru sekolah atau
memperkuat kultur lama yang dipertahankan.
Untuk
menghindari masalah mutu seperti yang diungkap dalam diskusi tentang diklat,
penyelenggaraan IHT perlu taat tujuan dan kualitas perlu dijadikan pusat
perhatian. Jika, misalnya, penetapan instruktur dari dalam sekolah dirasa
kurang mendatangkan efek peningkatan mutu yang memadai, mendatangkan instruktur
dari luar dapat menjadi solusinya; atau sebaliknya.
5. Peningkatan Budaya Membaca
Tanpa
perlu dibicarakan panjang lebar membaca masih terbukti sebagai cara belajar
yang sangat efektif. Bahan dan waktu membaca dapat disesuaikan dengan kebutuhan
dan kesempatan yang dimiliki oleh individu. Problem yang paling dominan
berkenaan dengan membaca di Indonesia adalah masih rendahnya minat baca dan
terbatasnya bahan bacaan. Untuk meminimalisasikan problem ini, para pemimpin
kalangan pendidikan hendaknya terus-menerus memotivasi anak buah untuk
meningkatkan kebiasaan membacanya.
Disamping
itu tentu diperlukan penyediaan bacaan yang sesuai dengan kebutuhan. Dewasa ini
masalah bahan bacaan cetak yang relatif mahal dapat dibantu diatasi dengan
menambah sumber bacaan dari CD dan internet. Penyediaan fasilitas ICT canggih
ini dan pengenalan cara mencari bahan bacaan elektronik ini aharus dilakukan
oleh sekolah jika kebiasaan membaca betul-betul ingin didongkrak.
6. Aktif dalam Mail list / Go-Blog
Mail list
adalah group e-mail yang biasanya diikuti oleh orang-orang dalam kelompok minat
tertentu. Para guru dan tenaga kependidikan di sekolah akan mendaptkan
keuntungan besar jika mereka aktif dalam mail list yang beranggotakan sejawat
baik dari dalam maupun luar sekolah, baik dari dalam maupoun luar negeri. Ikut
dalam mail list internasional: teachers helping teachers
(http://www.pacificnet.net/~mandel/math.html), sebagai contoh, akan sangat
membantu guru memperoleh banyak pengetahuan baru di bidang tugasnya. Melalui
kelompok ini banyak informasi dapat di sebar luaskan dan banyak masalah mungkin
dapat dicarikan jalan keluarnya. Jika ingin membuat mail-list sendiri,
diperlukan fasilitaor yang berdedikasi tinggi dan tegas dalam menyaring arus
informasi yang layak untuk di up-load dalam mail list. Disamping itu,
diperlukan pula keaktifan masing-masing anggota dalam sharing informasi,
masalah dan jalan keluarnya.
7. Naratif (Narrative)
Naratif
berkaitan dengan cerita seseorang tentang pengalamannya kepada orang lain.
Walaupun naratif dengan sengaja dapat difasilitasi untuk disampaikan pada
pertemuan resmi, naratif umumnya berkembang dalam suasana informal pada waktu
luang. Melalui naratif, baik penutur maupun pendengar dapat memperoleh dan
mengembangkan pengetahuan (Lieblich et al., 1998, h.7). Disinilah keunggulan
naratif. Sebab, pengetahuan tidak selalu berbentuk pengetahuan ‘resmi’ seperti
dalam tradisi akademik, tetapi dapat pula berbentuk ‘subjugated knowledge’
[pengetahuan terselubung] seperti ‘type
of knowledge … in teachers’ conversations either in formal or informal
settings’ (tipe pengetahuan… dalam percakapan guru baik dalam situasi
formal maupun informal (Doecke, 2001, p.111). Percakapan sering didominasi oleh
naratif. Karenanya, naratif memainkan peranan pentingnya dalam membentuk dan
mentransfer pengetahuan sejak jaman purba (Kreiswith, 2000, h.295).
Naratif
tidak selalu berisi kisah sukses seseorang. Kisah kegagalan-pun, jika
dinaratifkan dapat menjadi sumber belajar yang berharga bagi penutur dan
pendengar. Jika naratif tumbuh subur di kalangan personel seprofesi di sekolah,
transfer dan penguatan pengetahuan akan terjadi dengan kuantitas dan kualitas
yang luar biasa banyak tanpa harus didukung oleh dana mahal oleh sekolah.
Suasana ini relatif gampang dikembangkan sebab ’a man is always a teller of tales [manusia selalu merupakan
penutur cerita] (Kreiswith, 2000, p.293) atau ’people are story tellers by nature’ [orang pada dasrnrya adalah
penutur cerita] (Lieblich et al., 1998, h 7) . Naratif bahkan telah diakui
sebagai salah satu metode ilmiah (Kreiswith, 2000, h.295). Yang terpenting
untuk dilakukan oleh sekolah agar naratif dapat berkembang adalah, pertama,
pengembangan suasana kekeluargaan yang sehat di sekolah dan pemberian
kesempatan yang cukup bagi kelompok-kelompok guru/tenaga kependidikan untuk
memiliki waktu luang bersama. Yang kedua penciptaan suasana sekolah agar waktu
luang sebanyak mungkin digunakan untuk bercerita tentang pelaksanaan pekerjaan.
’Nothing is more credence to a teacher
than the word of another teacher’ [Tidak ada yang lebih dapat dipercaya
oleh seorang guru kecuali kata-kata sesama guru] (Weller, 1996, p.4). Weller
(1996) menambahkan ’saling hubungan antara teman lebih banyak berpengaruh dalam
meningkatkan kualitas daripada model instruksional seperti lokakarya, seminar
atau program pengembangan staf’ (h.4)
C. Strategi Pengembangan Sdm Melalui
Manajemen Dan Kepemimpinan Perubahan
Sampai
dengan akhir diskusi kita tentang stategi pengembangan SDM melalui jalur
belajar, dapat kita simpulkan bahwa bahkan pada tingkat individu, perubahan
perlu dukungan manajemen. Apalagi jika perubahan yang kita kehendaki bersifat
institusional. Manajemen perubahan yang benar dan kuat adalah mutlak. Berikut
adalah beberapa strategi yang dapat digunakan dalam mengenalkan dan mengelola
perubahan di tingkat sekolah disamping banyak strategi lain.
1.
Perubahan
melalui Transformasi Standar Kelompok
Sosiolog
Amerika Serikat pertengahan abad 20 Kurt Lewin menyatakan bahwa perubahan akan
lebih berhasil jika dilakukan dalam kelompok. Agar terjadi perubahan, harus ada
transformasi standar kelompok yang diterima dan seyogyanya dilakukan
bersama-sama. (Lewin, 1958, h.210) . Sayangnya, kondisi ideal seperti itu tidak
tipikal. Yang umum terjadi, menurut Weller adalah terbaginya sikap anggota kelompok
terhadap perubahan yang sedang diperkenalkan. Hasil penelitian Hoy and Miskel
(1991) menunjukkan bahwa sikap anggota kelompok terhadap perubahan terbagi
sesuai dengan kecenderungan kurva normal (bell shaped curve), yakni 2,5%
innovators, yakni mereka yang selau siap mengadopsi sesuatu yang baru demi
perbaikan 13.5% early adopters, yaitu seperti para innovator, gampang tidak
puas dengan status quo dan senang mencari sesuatu yang baru, 34 % early
majority, ialah mereka yang terbuka terhadap sesuatu yang baru, 34% late
majority, adalah mereka yang skeptis dan enggan berubah dan 16% late adopters,
adalah merekas yang memiliki pola pikir negatif terhadap perubahan dan menjadi
benteng anti perubahan (dalam Weller, 1996, h. 27). Oleh karena fenomena ini,
agar perubahan berhasil dilaksanakan diperlukan dua hal. Pertama, keyakinan
bahwa standar lama sudah tidak layak lagi dipertahankan dan harus ditinggalkan
menuju standar baru (Evans 1996, h.57). Kedua, diperlukan pemimpin perubahan
yang kuat agar mayoritas anggota kelompok dapat diyakinkan (Weller, 1996,
h.27). Jika mayoritas anggota kelompok sudah berubah, kelompok resistant pada
akhirnya mungkin akan mengikuti juga sebab bagaimanapun mereka tidak akan
merasa nyaman berada di luar standar kelompok (Lewin, 1958, h. ). Jika standar
baru sudah tercapai melalui sebuah proses perubahan, manajemen sekolah perlu
menghentikan proses perubahan itu sampai standar tersebut menjadi mantap dan
menjadi budaya baru (freezing) (Lewin, 1958, h. 210 ). Ini perlu dilakukan agar
tidak terjadi bounch back [pantulan kembali] ke praktik lama (Eric Development
Team, 2003, h.3).
Budaya
baru yang seyogyanya menjadi target perubahan pada sekolah sebagimana
didiskusikan di atas, adalah budaya mutu (Dit.PSMP, 2007, h. 50). Jika budaya
berarti nilai atau keyakinan yang dianut oleh kelompok yang dijadikan
’penggalangan konformisme’ perilaku anggota kelompok (Slamet PH, 2005 dalam
Dit.PSMP, 2007 h. 50), budaya mutu mengandung makna bahwa hanya perilaku yang
mengutamakan mutu-lah yang dianggap benar dalam kelompok itu. Untuk mencapai
tahapan ini, diperlukan manajemen perubahan yang kuat yang dengan konsisten
melakukan ’pemberdayaan, [memberi] arahan, bimbingan, modelling, coaching,
pujian, seremoni... keberhasilan mutu, dan pemberian hadiah atas prestasi mutu’
(Dit.PSMP, 2007, h. 51). Apabila budaya mutu benar-benar dijadikan sasaran
perubahan, jangan kepalang tanggung, sekolah hendaknya menerapkan manajemen
mutu terpadu (Total Quality Management), (Ditjen Mandikdasmen, 2007, h.13)
seperti akan diuraikan lebih lanjut pada bagian belakang artikel ini.
2.
Kepemimpinan
Transformasional
Pada
dasarnya orang cenderung nyaman berada pada status quo (Evans, 1996, h.26) oleh
karenanya agar terjadi perubahan diperlukan kepemimpinan yang kuat dengan tipe
yang sesuai untuk itu. Salah satu tipe kepemimpinan yang cocok untuk ini adalah
kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan transformasional bukan hanya
berpihak pada perubahan tetapi berintikan perubahan itu sendiri.
Istilah
“transformational’ leadership diusulkan oleh Bass sebagai pengganti dari
istilah ‘transforming’ leadership yang diperkenalkan oleh Burns pada tahun 1978
(Bass, 1995, h.467). Oleh Burns, istilah transforming digunakan sebagai nama
sebuah ujung ekstrim garis kontinum yang mengilustrasikan tipe kepemimpinan
dengan ujung lain bernama transaksional (Bass, 1995, h.466). Kepemimpinan
transaksional adalah gaya memimpin yang ditandai dengan ciri: apabila pengikut
melaksanakan tugas dengan benar mereka akan mendapatkan sesuatu sebagai
imbalannya (Bass, 1995, h. 466). Adapun kepemimpinan tranformasional adalah
kepemimpinan yang memiliki visi ke depan yang jelas dan bagaimana membawa
pengikut untuk mencapainya (Ditjen Mandikdasmen, 2007, h. 14). Jika
kepemimpinan transformasional diterapkan di sekolah, proses transformasi
dilakukan melalui tahap: 1) melihat kondisi nyata/kondisi obyektif sekolah, 2)
menetapkan kondisi yang diinginkan, 3) menetapkan besarnya tantangan dengan
cara membandingkan kondisi obyektif dengan kondisi yang diinginkan, dan 4)
bergerak dari kondisi nyata menuju kondisi yang diinginkan (Ditjen
Mandikdasmen, 2007, h.14).
Bass
mendiskripsikan ciri pemimpin tranformasional adalah mereka yang 1) memotivasi
pengikut untuk berbuat lebih dari yang biasanya, 2) meningkatkan tingkat
kesadaran pengikut terhadap masalah-masalah penting, 3) menaikkan tingkat
kebutuhan dari kebutuhan akan keamanan atau pengakuan menjadi kebutuhan untuk
berprestasi dan mengaktualisasikan diri [lihat: Maslow, 1954), dan/atau 4)
membimbing pengikut untuk mengubah [orientasi dari] kepentingan diri sendiri
menjadi kepentingan tim atau organisasi (Bass, 1995, h.469). Model kepemimpinan
transformasional inilah yang sejak dikenalkan cenderung terus mendapat sambutan
positif di seluruh dunia karena diyakini, dan barangkali juga sudah terbukti,
mampu membawa organisasi, termasuk sekolah, menuju keadaan yang dicita-citakan.
Salah satu bentuk dari kepemimpinan transformasional, berdasarkan cirinya,
adalah kepemimpinan dalam menerapkan total quality management (TQM)
3.
Manajemen
Mutu Terpadu (Total Quality Management/TQM)
Kegagalan
yang umum terjadi pada manajemen perubahan, menurut Weller and Hartley (1994)
disebabkan oleh sebuah alasan fundamental yakni ‘fragmented programmes and
approaches lack a coherent systematic plan or structured process to implement …
reforms’ [program yang terfragmentasi, pendekatan kekurangan rencana sistematis
yang koheren atau proses terstruktur untuk mengimplementasikan … reformasi]
(h.23). Oleh karena itu, untuk menghindari kegagalan tersebut, mereka menyarankan
agar sekolah melakukan perencanaan yang jelas yang berdasarkan pola pikir yang
terstruktur dan sistematis (h.23). Intinya, seluruh aspek manajemen:
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan segala yang berkaitan dengan itu,
dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu dengan berorientasi kepada mutu.
Dari karya
Weller dan Hartley ini, dapat ditarik pengertian bahwa TQM adalah upaya
sistematis yang menyeluruh dan sungguh-sungguh untuk mengintervensi setiap
unsur dalam sistem pendidikan sehingga seluruh aspek memenuhi standar mutu yang
ditetapkan. The International Standard Organisation (ISO), mendifinisikan TQM
sebagai “a management approach for an
organization, centered on quality, based on the participation of all its
members and aiming at long-term success through customer satisfaction, and
benefits to all members of the organization and to society."
Pendekatan
manajemen untuk sebuah organisasi, yang dipusatkan pada kualitas, berdasarkan
partisipasi seluruh anggotanya dan diarahkan pada sukses jangka panjang melalui
kepuasan pelanggan, dan keuntungan kepada seluruh anggota organisasi dan masyarakat.
(Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/ Total_Quality_ Management, 27 Agustus
2007)
Berdasarkan
dua pengertian di atas, dapat dideduksikan bahwa upaya sistematis yang
menyeluruh dan sungguh-sungguh dalam TQM untuk mengintervensi setiap unsur
dalam sistem pendidikan sehingga seluruh aspek memenuhi standar mutu yang
ditetapkan, ditujukan untuk mencapai sukses jangka panjang dan dilakukan
bersama-sama oleh seluruh warga sekolah.
Disini
terjadi proses rekursif; yakni, agar mampu menyelenggarakan TQM, sekolah harus
menyiapkan SDM yang berkualitas pada semua lapisan agar intervensi terhadap
seluruh aspek dalam sistem pendidikan di sekolah dapat dilaksanakan. Dengan
kata lain, SDM diubah dulu agar TQM dapat dijalankan. Sebaliknya, penerapan TQM
di sekolah adalah cara yang baik untuk meningkatkan kualitas SDM sebab SDM yang
tidak mengikuti perubahan itu akan tertinggal. Proses ini akan berhasil dengan
syarat pelaksanaan TQM disepakati oleh seluruh warga sekolah dan bersifat
partisipatif; bukan paksaan. Pengikut mau berubah karena mereka
menginginkannya, bukan karena terpaksa (Evans, 1996, h. 171).
Weller dan
Hartley (1994) menyarankan agar TQM tidak mengalami kegagalan, sekolah perlu
melakukan hal-hal berikut. 1) Lakukan intervensi terhadap masukan mentah, yakni
calon siswa baru, dengan cara menyelenggarakan program untuk menyiapkan mereka
mengikuti PBM yang berkualitas. Ini yang disebut Dit. PSMP sebagai program
”bridging course’ 2) Untuk menghindari pengaruh buruk yang menghambat TQM,
ciptakan budaya kerja, tetapkan visi dan misi bersama, dan jadikan ‘continuous
improvement’ sebagai norma sekolah. 3) Kerucutkan tujuan pendidikan dari tujuan
yang terlalu luas menjadi tujuan pendidikan di sekolah tersebut secara
spesifik. 4) Jangan berfokus pada hasil kerja jangka pendek, misalnya hasil
ujian, tetapi harus ada komitmen terhadap tujuan jangka panjang (commitment to
constancy of purpose). 5) Evaluasi terhadap performa siswa harap didasarkan
pada harapan pelanggan (orang tua siswa/ dunia kerja). 6) Dengarkan pelanggan,
dan usahakan memenuhi harapan-harapan mereka agar mereka mau mendukung sekolah.
7) Ciptakan cara mengembangkan dan mengelola SDM untuk mengatasi kekurangan SDM
yang bermutu. 8) Bangunlah sistem yang tidak memungkinkan lagi menghasilkan
hasil yang tidak bermutu (h.23-28). Sekali lagi, perlu penegasan disini dalam
penerapan TQM terjadi proses rekursif. Untuk melaksanakan TQM diperlukan SDM
berkualitas; dan di sisi lain, SDM berkualitas akan terdorong dengan penerapan
TQM.
4.
Perubahan
karena Penerapan Teknologi
Evans
mensinyalir, ’virtually every aspect of
our existence has been tranformed by technology, by the revolution of
computing, [and] by mass communication’ (hampir setiap aspek keberadaan
kita telah berubah karena teknologi, revolusi komputasi, dan komunikasi massal
(Evans, 1996, p.22). Jika kita setuju bahwa pengaruh pemakaian teknologi
utamanya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) terhadap perubahan gaya dan
kualitas hidup termasuk dalam kehidupan berorganisasi sangat kuat, maka tidak
terlalu sulit bagi kita untuk percaya bahwa penerapan TIK dapat dijadikan
strategi untuk mengubah SDM di sekolah. Seperti halnya pada penerapan TQM, juga
terjadi proses rekursif dalam aplikasi TIK di sekolah. Agar TIK dapat
diaplikasikan dengan maksimal, diperlukan SDM yang bermutu. Sebaliknya,
penggunaan TIK secara sungguh-sungguh akan membantu meningkatkan kualitas SDM.
Berikut
adalah nama dan ciri dari ke empat kelompok dimaksud. 1) Survival stage;
ditandai dengan a) berjuang keras melawan teknologi, b) mendapatkan banyak
masalah dengan teknologi, c) tidak mengubah kondisi status quo di kelas yang
dia ajar, d) menggunakan teknologi hanya jika diperintah, e) menghadapi masalah
ketika harus memfasilitasi siswa untuk memperoleh akses ke komputer, dan f)
memiliki harapan yang aneh yakni percaya bahwa pemanfaatan teknologi saja sudah
akan mampu mendongkrak prestasi akademik. 2) Mastery stage; memiliki ciri a)
toleransi terhadap problem hardware dan software telah meningkat, b) mulai
menggunakan bentuk interaksi baru dengan siswa di kelas, c) kompetensi
teknisnya telah meningkat dan mulai bisa mengatasi masalah-masalah ringan pada
komputernya. 3) Impact stage, bercirikan a) secara teratur mengembangkan
inter-relasi kerja dan struktur kelas baru, b) menyeimbangkan perintah dengan
inisiatif pengembangan, c) jarang mendapatkan masalah dengan teknologi, dan d)
dengan teratur mengembangkan unit-unit pembelajaran yang memanfaatkan
teknologi. 4) Innovation stage, memiliki tanda: memodifikasi lingkungan
kelasnya agar dapat mengambil keuntungan maksimal dari kurikulum dan kegaitan
pembelajaran yang didukung oleh teknologi (Eric Development Team, 2003, h.2-3)
Untuk
mendorong agar tenaga pendidik dan kependidikan dapat segera bergerak dari
survival stage ke tingkat-tingkat yang lebih tinggi, berikut adalah
saran-sarannya. Pelatihan IT untuk guru harap dilaksanakan dengan model-model
yang dapat dipilih, antara lain: 1) IHT sesudah sekolah dengan kendala utama
kepayahan guru, 2) Individual coaching, yakni bantuan terhadap
individu-individu yang mendapatkan kesulitan, 3) mengkursuskan personel
terutama pada saat libur, 4) memberi grant kepada guru yang mampu melatih
temannya sampai bisa, dan 5) mengikuti belajar jarak jauh. (Eric Development
Team, 2003, h. 4). Saran tentang cara pembelajaran bagi SDM sekolah ini tentu
dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi sekolah. Yang terpenting adalah usaha
sungguh-sungguh dari jajaran manajemen sekolah untuk mentransformasikan guru
dan tenaga kependidikan di sekolah tersebut setidaknya sampai tingkat impact dengan
beberapa tokoh yang berada pada tingkat innovation.
BAB III
KESIMPULAN
Sumber daya manusia memegang peran sentral dalam aspek
kehidupan manusia. Upaya perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan yang
dilakukan oleh pemerintah melalui penyempurnaan kurikulum, penyediaan sarana
dan prasarana, pemberian bantuan dana dan keperluan lain terkait dengan
pendidikan tidak akan mencapai titik kulminasinya apabila mengesampingkan
peningkatan sumber daya manusia sebagai stakeholder yang terjun langsung dalam
pendidikan.
Sekolah agar dapat menjalankan peran yang dibebankan
kepadanya dengan baik, diperlukan SDM yang berkualitas tinggi Untuk pemenuhan
kebutuhan SDM sesuai dengan kriteria tersebut, disamping dapat dilakukan
pengangkatan atau mutasi, perlu juga dilakukan dengan pengembangan SDM yang
ada. Karena untuk berkembang seseorang perlu berubah, maka diperlukan pemahaman
yang baik terhadap seluk perubahan baik pada tingkat individu maupun pada
tingkat organisasi. Untuk berubah orang perlu belajar sehingga agar terjadi
perubahan, berbagai strategi membelajarkan SDM perlu dilakukan. Disamping itu,
perubahan kolektif memerlukan manajemen dan kepemimpinan perubahan. Dengan
demikian, agar terjadi perubahan yang efektif diperlukan manajemen dan
kepemimpinan yang secara jeli dapat memanfaatkan strategi dan kepemimpinan
perubahan yang mendukung.
DAFTAR PUSTAKA
Boediono, (1994). Pendidikan dan Latihan Dalam Periode Tinggal
Landas. Mimbar Pendidikan, No. 1 Tahun XIII.
Dertouzas, M.L., Lester, R.K., dan
Solow, R.M., (1989). Made In America: Regaining
the Productive Edge. Cambridge, MA: Harper Perennial.
Gilley, J.W., dan Eggland, S.E.,
(1989). Principles of Human Resource
Development. Reading, MA: Addison-Wisley Publishing Company, Inc.
Jones, J dan Walter, L. Donald,
(2008). Human Resource Management in
Education. Manajemen Sumberdaya Manusia dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Q-Media,
Megginson, D., Joy-Mattews, J., dan
Banfield, P., (1993). Human
Resource Development. London: Kogan-Page Limited.
Simanjuntak, P., (1985). Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
Suryadi, A. (1995). Kebijaksanaan Pendidikan dan Pengembangan
Sumberdaya Manusia: Transisi Menuju
era Indonesia Modern. Jakarta: Pusat Informatika, Balitbang Dikbud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar