SIGIT KINDARTO

"SELAMAT DATANG DI BLOG SANG OEMAR BAKRI"

Jumat, 25 Januari 2013

Pengembangan SDM Pendidikan Berbasis Sekolah








BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan. Secara makro, faktor-faktor masukan pembangunan, seperti sumber daya alam, material dan finansial tidak akan memberi manfaat secara optimal untuk perbaikan kesejahteraan rakyat bila tidak didukung oleh memadainya ketersediaan faktor SDM, baik secara kualitas maupun  kuantitas. Pelajaran yang dapat dipetik dari berbagai negara maju adalah, bahwa kemajuan yang dicapai oleh bangsa-bangsa di negara-negara tersebut didukung oleh SDM yang berkualitas. Jepang, misalnya, sebagai negara pendatang baru (late comer)  dalam kemajuan industri dan ekonomi memulai upaya mengejar ketertinggalannya dari negara-negara yang telah lebih dahulu mencapai kemajuan ekonomi dan industri (fore runners)  seperti Jerman, perancis dan Amerika dengan cara memacu pengembangan SDM (Ohkawa dan Kohama 1989).

Pengembangan SDM pada intinya diarahkan dalam rangka meningkatkan kualitasnya, yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan produktivitas. Hasil berbagai studi menunjukkan, bahwa kualitas SDM merupakan faktor penentu produktivitas, baik secara makro maupun mikro. Sumber Daya Manusia (SDM) secara makro adalah warga negara suatu bangsa khususnya yang telah memasuki usia angkatan kerja yg memiliki potensi untuk berperilaku produktif (dengan atau tanpa pendidikan formal) yg mampu memenuhi kebutuhan hidup sendiri dan keluarganya yang berpengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat di lingkungan bangsa atau negaranya. 
Kualitas SDM Makro sangat dipengaruhi oleh kualitas kesehatan (fisik dan psikis), kualitas pendidikan informal dan formal (yang berhubungan dengan keterampilan/keahlian kerja), kepribadian terutama moral/agama, tingkat kesejahteraan hidup dan ketersediaan lapangan kerja yang relevan.
Sumber Daya Manusia konteks mikro, adalah manusia/orang yang bekerja di lingkungan sebuah organisasi yang disebut pegawai, karyawan, personil, pimpinan / manajer, pekerja, tenaga kerja, majikan buruh dll. Di lingkungan organisasi bidang pendidikan adalah semua pegawai administratif, pendidik /guru, dosen serta tenaga kependidikan lainnya.
Dalam kenyataannya manusia (SDM) dengan organisasi sebagai wadah untuk mewujudkan hakikat kemanusiaan dan untuk memenuhi kebutuhan (need) manusia memiliki hubungan yang sangat / kuat. Hubungan tersebut sebagai berikut :

a.       Manusia membutuhkan organisasi
Organisasi membutuhkan manusia
b.      Manusia penggerak organisasi
Tanpa manusia organisasi tidak akan berfungsi
c.       Manusia berorganisasi untuk memenuhi kebutuhannya
Semua kebutuhan manusia merupakan obyek organisasi

Oleh karena itu SDM diperlukan oleh setiap institusi kemasyarakatan dan organisasi. Berbagai institusi kemasyarakatan, seperti institusi keluarga, institusi ekonomi, dan institusi keagamaan termasuk institusi sekolah, SDM merupakan unsur penting dalam pembinaan dan pengembangannya. Demikian pula dalam organisasi, SDM berperan sangat penting dalam pengembangannya, terutama bila diinginkan pencapaian tujuan yang optimal. Bila tujuan akhir setiap kegiatan pembangunan, baik dalam konteks makro maupun mikro, adalah peningkatan taraf hidup, maka optimalisasi pencapaian tujuan itu adalah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia secara optimal. Berdasarkan konsep di atas, dukungan SDM yang berkualitas sangat menentukan keoptimalan  keberhasilan pencapaian tujuan itu.
Kualitas SDM ditentukan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, di antaranya kesehatan dan kemampuan. Faktor kemampuan sebagai salah satu faktor  penentu kualitas SDM bisa dikembangkan di antaranya melalui pendidikan. Jadi, pendidikan merupakan  suatu upaya dalam proses pengembangan SDM (Maginson, Joy Mattews, dan Banfield, 1993).

B.       Rumusan Masalah
1.      Apakah  hakikat  manajemen SDM Pendidikan dalam dunia pendidikan saat ini ?
2.      Bagaimana kualitas SDM Pendidikan saat ini terkait dengan manajemen pendidikan sekolah ?

C.      Tujuan Masalah
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah selain memenuhi tugas dosen, dalam rangka pengambilan nilai, juga dijadikan bahan diskusi kelompok pada mata kuliah manajemen pendidikan berbasis sekolah.



BAB II
PEMBAHASAN


A.    Hakekat Pengembangan SDM
Pengertian SDM ada dua macam, yaitu:
1.      Derajat kualitas usaha yang ditampilkan seseorang yang terlibat dalam proses produksi untuk menghasilkan barang atau jasa, dan
2.      Manusia yang memiliki kemampuan kerja untuk menghasilkan produksi, baik barang atau jasa (Simanjuntak, 1985).
Perbedaan antara kedua pengertian di atas terletak pada derajat kualitas manusia itu sendiri. Pada pengertian pertama, manusia dipandang sebagai SDM bila memiliki kualitas yang sesuai dengan tuntutan atau kebutuhan usaha. Dalam konteks makro, ciri yang menandainya adalah kualitas untuk melaksanakan perubahan dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat, sedangkan dalam konteks mikro adalah kualitas untuk melakukan proses produksi, misalnya dalam suatu organisasi bisnis atau industri. Jadi,  manusia menjadi SDM apabila dia terlibat dalam proses produksi dan kualitas kemampuan yang dimilikinya sesuai untuk menghasilkan produksi itu. Pada pengertian kedua, aspek kualitas tidak ditonjolkan. Karena pada dasarnya setiap individu manusia yang termasuk pada kategori angkatan kerja itu terlibat atau dapat dilibatkan dalam proses pembangunan atau proses produksi, maka dalam kondisi memiliki kemampuan apapun dia termasuk kategori SDM, apabila dia terlibat dalam proses itu. Bila belum terlibat, dia masih dikategorikan sebagai potensi. Oleh sebab ada persyaratan keterlibatan, baik pada pengertian pertama maupun pada pengertian kedua, maka pemanfaatan kemampuan dalam proses pembangunan nasional maupun dalam proses produksi merupakan indikator utama proses pengembangan SDM. Artinya, upaya apapun yang diarahkan untuk meningkatkan kompetensi, akan termasuk pada upaya pengembangan SDM apabila dikaitkan dengan pemanfaatannya dalam pembangunan atau dalam proses produksi.
Pengembangan SDM merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu pendekatan bersifat terintegrasi dan holistik dalam mengubah prilaku orang-orang yang terlibat dalam suatu proses pekerjaan, dengan menggunakan serangkaian teknik dan strategi belajar yang relevan (Megginson, Joy-Mattews, dan Banfield, 1993). Konsep ini mengandung makna adanya berbagai unsur kegiatan selama terjadinya proses mengubah prilaku, yaitu adanya unsur pendidikan, adanya unsur belajar, dan perkembangan. Unsur pendidikan dimaksudkan untuk menentukan teknik dan strategi yang relevan untuk mengubah prilaku. Unsur belajar dimaksudkan untuk menggambarkan proses terjadinya interaksi antara individu dengan lingkungan, termasuk dengan pendidik. Adapun unsur perkembangan dimaksudkan sebagai proses gradual dalam perubahan dari suatu keadaan, misalnya dari keadaan tidak dimilikinya kompetensi menjadi keadaan memiliki kompetensi, yang terjadi dalam jangka waktu tertentu.

B.     Pengembangan SDM Melalui Pendidikan
Pengembangan SDM yang membawa misi sebagaimana disebutkan di atas difokuskan pada peningkatan ketahanan dan kompetensi setiap individu yang terlibat atau akan terlibat dalam proses pembangunan. Peningkatan ketahanan dan kompetensi ini di antaranya dilaksanakan melalui pendidikan. Bila dikaitkan dengan pengembangan SDM dalam rangka meningkatkan kemampuan menyesuaikan diri, pendidikan juga merupakan upaya meningkatkan derajat kompetensi dengan tujuan agar pesertanya adaptable  terhadap berbagai perubahan dan tantangan yang dihadapi. Selain itu, pendidikan yang diselenggarakan seharusnya juga memberi bekal-bekal kemampuan dan keterampilan untuk melakukan suatu jenis pekerjaan tertentu yang dibutuhkan agar dapat berpartisipasi dalam pembangunan (Boediono, 1992). Program semacam ini harus dilaksanakan dengan disesuaikan dengan keperluan dan usaha yang mengarah kepada antisipasi berbagai perubahan yang terjadi, baik di masa kini maupun yang akan datang (Han, 1994; Dertouzas, Lester, dan Solow, 1989).
Sebagaimana dijelaskan di atas, pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses melakukan perubahan, dalam rangka perbaikan, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kualitas sumber daya manusia (SDM). Kesejahteraan terkait dengan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup rakyat, baik material maupun mental dan spiritual. Adapun kualitas SDM terkait dengan derajat kemampuan, termasuk kreatifitas, dan moralitas pelaku-pelaku pembangunan. Atas dasar ini, proses perubahan yang diupayakan melalui pembangunan seharusnya menjangkau perbaikan semua sektor secara menyeluruh dan berimbang, pada satu sisi, dan pada sisi lain merupakan upaya meningkatkan kualitas SDM.
Perbaikan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat adalah fokus dari pembangunan sektor ekonomi, dengan tujuan meningkatkan pemenuhan kebutuhan yang bersifat fisik dan material, baik kebutuhan primer,  sekunder, tertier maupun kuarter. Pemenuhan kebutuhan ini seharusnya seimbang dengan pemenuhan kebutuhan mental dan spiritual. Bebas dari rasa takut, adanya rasa aman, dihargai harkat dan martabatnya, dilindungi kebebasan dan hak-haknya, serta tersedianya kesempatan yang sama untuk mewujudkan cita-cita dan potensi diri adalah bentuk-bentuk kebutuhan mental yang seharusnya diperbaiki kondisinya melalui pembangunan. Adapun pemenuhan kebutuhan spiritual terkait dengan kebebasan dan ketersediaan prasarana, sarana dan kesempatan untuk mempelajari, mendalami dan menjalankan ajaran agama yang dianut, sehingga komunikasi dengan Sang Pencipta dapat terpelihara. 
Pada sisi peningkatan kualitas SDM, pembangunan diarahkan untuk menjadikan rakyat negeri ini kreatif, menguasai serta mampu mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS), dan memiliki moralitas. Kreatifitas diperlukan untuk bisa bertahan hidup dan tidak rentan dalam menghadapi berbagai kesulitan. Dengan kreatifitas, seseorang menjadi dinamis dan bisa menemukan jalan keluar yang positif ketika menghadapi kesulitan atau masalah.
Penguasaan dan kemampuan mengembangkan IPTEKS sangat dibutuhkan untuk peningkatan taraf hidup, dan agar bangsa ini bisa disandingkan dan ditandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Ini mengingat, globalisasi dalam berbagai bidang kehidupan sudah tidak bisa dihindari dan berdampak pada terjadinya persaingan yang ketat, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, maupun politik. Untuk  bisa memasuki pergaulan dalam kehidupan global (persandingan dengan masyarakat global) maupun untuk meraih keberhasilan dalam berbagai kesempatan yang tersedia (pertandingan dalam kehidupan global) diperlukan penguasaan dan kemampuan mengembangkan IPTEKS. Adapun moralitas sangat diperlukan agar dalam menjalani kehidupannya prilaku bangsa ini dikendalikan oleh nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang bersifat nasional dan universal. Karena nilai-nilai ini berkait dengan batas-batas antara baik dan tidak baik, benar dan tidak benar, serta antara yang menjadi haknya dan bukan haknya, maka tingginya moralitas dapat meningkatkan keterpercayaan dan keandalan individu dan masyarakat, baik di mata bangsanya sendiri maupun dalam pergaulan global. Jadi, kualitas SDM bukan hanya ditentukan oleh kemampuan dan kreativitasnya saja tetapi juga oleh derajat moralitasnya.
Terdapat deretan panjang strategi perubahan SDM melalui jalur belajar yang dapat dilaksanakan di lingkup sekolah. Tetapi, dalam artikel ini hanya akan dimunculkan beberapa yang paling umum dipakai.Berikut adalah cara-cara tersebut:
1. Peningkatan kualifikasi pendidikan
Peningkatan kualifikasi pendidikan akan sangat menguntungkan baik kepada individu maupun bagi lembaga. Keuntungan individual diperoleh karena peningkatan kualifikasi pendidikan disamping merupakan agen pencerahan (enlightment agent) bagi guru juga menambah poin untuk kepentingan sertifikasi dan kenaikan jabatan guru dan pangkatnya. Bagi tenaga kependidikan, peningkatan kualifikasi ini sangat mungkin akan membantu memperlancar kenaikan jabatan dan pangkat mereka. Secara institusional, perbaikan kualifikasi pendidikan disamaping berarti perbaikan konformitas kriteria SDM juga berarti peningkatan kompetensi SDM yang diperlukan demi mutu proses dan hasil pekerjaan yang diharapkan. Dengan alasan ini, mereka yang sudah memenuhi kualifikasi-pun hendaknya terus didorong untuk melanjutkan pendidikannya. Dorongan yang dimaksud dapat berupa satu atau gabungan dari a) pemberian motivasi yang sungguh-sungguh dan terus menerus, b) pemberian status tugas belajar atau setidaknya ijin belajar, c) dispensasi waktu jika diperlukan, dan jika mungkin, d) penyediaan fasilitas termasuk pemberian beasiswa baik penuh maupun sebagian.
Masalah yang sering muncul dan teramati di lapangan berkaitan dengan pendidikan formal ini adalah sebagai berikut. Menempuh pendidikan relatif makan waktu. Sering juga terjadi pendidikan yang berkualitas berbanding lurus dengan waktu tempuh. Sehingga, justru lembaga pendidikan yang kurang berorientasi mutu menjadi pilihan. Fokus diarahkan pada perolehan ijasah tanpa mempedulikan peningkatan nyata pada kualitas.
Oleh karenanya, perlu diingatkan agar mereka yang bekerja pada sekolah memperhatikan betul unsur mutu dalam pemilihan lembaga kependidikan. Hendaknya dipilih lembaga pendidikan, baik di dalam maupun di luar negeri, yang secara nyata mengedepankan kualitas Para pemangku kepentingan (stake holders) sekolah: kepala sekolah, komite sekolah, kepala dinas pendidikan, pejabat-pejabat departemen pendidikan nasional, dan bupati/walikota, selain membantu mempermudah para pendidik dan tenaga kependidikan untuk melanjutkan studinya, hendaknya juga memperhatikan benar-benar unsur kualitas agar terjaga kesetaraan kualitas dengan kualifikasi pendidikan yang disandang oleh mereka. Selain itu pemilihan jurusan syang sesuai dengan bidang tugas juga perlu mendapat perhatian.

2. Pendidikan dan Pelatihan (diklat)
Diklat umumnya diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi yang memiliki tugas pembinaan terhadap sekolah berkisar mulai dari tingkat Kabupaten/Kota sampai tingkat pusat bahkan tingkat internasional. Berbeda dengan pendidikan formal, diklat bersifat luwes dalam hal waktu. Diklat dapat dilangsungkan dari bilangan jam sampai bilangan bulan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan. Diklat dapat diselenggarakan dengan materi sesuai dengan kebutuhan atau keinginan sehingga hampir semua fungsi pendidikan di sekolah dapat di-diklat-kan: manajemen, kepemimpinan, proses belajar mengajar, administrasi, dsb. Disamping itu, instruktur diklat dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan. Mereka dapat dipilih dari kalangan akademisi, teknisi, maupun praktisi sehingga diklat dapat bersifat teoritis, teknis, maupun praktis.
Karena keluwesan diklat hampir pada seluruh aspeknya, diklat sering dijadikan jalan keluar untuk mengatasi masalah kualitas SDM. Catatan yang perlu diungkap agar diklat dapat benar-benar menjadi solusi bagi masalah mutu SDM adalah bahwa pelaksanaan diklat hendaknya setia kepada tujuan. Tidak jarang dijumpai diklat dipakai sebagai ’proyek’ yang secara ekonomis menguntungkan para penyelenggara sehingga fokus perhatian mereka bukan pada tercapainya tujuan diklat secara efektif. Hasilnya bukan diklat bermutu yang benar-benar menjadi solusi masalah mutu SDM tetapi sebaliknya menurunkan kadar kepercayaan peserta diklat. Kontrol yang ketat dari mereka yang berwenang agar diklat tidak disalahgunakan perlu dilakukan dengan serius.

3. Kursus
Kursus diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi di luar sekolah. Bedanya, diklat diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi nirlaba sedangkan kursus biasanya oleh organisasi berorientasi laba. Karena berorientasi bisnis, lembaga pengelola kursus umumnya berusaha menjual produk jasanya dalam kualitas maksimal yang dapat mereka tawarkan. Umumnya, harga jasa mereka berbanding lurus dengran kualitas jasa yang mereka tawarkan. Jika tidak, mekanisme pasar akan ’bertindak’. Oleh karena mekanisme pasar ini, memilih lembaga kursus yang bermutu relatif lebih gampang dibanding dengan menentukan kulaitas pada sebuah diklat. Jika kursus menjadi pilihan, yang penting dilakukan adalah penyiapan dana yang sesuai dengan mutu kursus yang dipilih. Yang perlu dilakukan oleh pemakai jasa kursus agar tidak membeli terlalu mahal adalah membandingkan kualitas jasa yang mereka jual dengan jasa sejenis dari penjual lain.

4. In-House Training (IHT)
Berbeda dengan diklat dan kursus yang diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi di luar sekolah, IHT dilaksanakan sendiri oleh sekolah. Instruktur dapat diambil dari kalangan dalam sekolah atau dari luar sekolah. Karena diselenggarakan oleh sekolah, materi IHT dapat lebih dispesifikasikan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan sekolah penyelenggaranya. Karena diselenggarakan di sekolah, IHT merupakan kegiatan yang sangat mungkin diikuti oleh semua tenaga pendidik dan kependidikan karena disamping murah, mereka juga tidak harus meninggalkan tugas dinas mereka. Disamping itu, IHT juga sangat baik untuk menjadi wahana peningkatan penguasaan materi bagi para instruktur dari dalam sekolah karena menjadi instruktur sesunggguhnya merupakan cara belajar yang sangat efektif. IHT dapat juga menjadi media untuk mempererat hubungan batin antar warga sekolah sehingga ikatan kekeluargaan bisa menjadi lebih baik. Hasilnya, IHT dapat menjadi forum yang baik untuk membentuk kultur baru sekolah atau memperkuat kultur lama yang dipertahankan.
Untuk menghindari masalah mutu seperti yang diungkap dalam diskusi tentang diklat, penyelenggaraan IHT perlu taat tujuan dan kualitas perlu dijadikan pusat perhatian. Jika, misalnya, penetapan instruktur dari dalam sekolah dirasa kurang mendatangkan efek peningkatan mutu yang memadai, mendatangkan instruktur dari luar dapat menjadi solusinya; atau sebaliknya.

5. Peningkatan Budaya Membaca
Tanpa perlu dibicarakan panjang lebar membaca masih terbukti sebagai cara belajar yang sangat efektif. Bahan dan waktu membaca dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kesempatan yang dimiliki oleh individu. Problem yang paling dominan berkenaan dengan membaca di Indonesia adalah masih rendahnya minat baca dan terbatasnya bahan bacaan. Untuk meminimalisasikan problem ini, para pemimpin kalangan pendidikan hendaknya terus-menerus memotivasi anak buah untuk meningkatkan kebiasaan membacanya.
Disamping itu tentu diperlukan penyediaan bacaan yang sesuai dengan kebutuhan. Dewasa ini masalah bahan bacaan cetak yang relatif mahal dapat dibantu diatasi dengan menambah sumber bacaan dari CD dan internet. Penyediaan fasilitas ICT canggih ini dan pengenalan cara mencari bahan bacaan elektronik ini aharus dilakukan oleh sekolah jika kebiasaan membaca betul-betul ingin didongkrak.

6. Aktif dalam Mail list / Go-Blog
Mail list adalah group e-mail yang biasanya diikuti oleh orang-orang dalam kelompok minat tertentu. Para guru dan tenaga kependidikan di sekolah akan mendaptkan keuntungan besar jika mereka aktif dalam mail list yang beranggotakan sejawat baik dari dalam maupun luar sekolah, baik dari dalam maupoun luar negeri. Ikut dalam mail list internasional: teachers helping teachers (http://www.pacificnet.net/~mandel/math.html), sebagai contoh, akan sangat membantu guru memperoleh banyak pengetahuan baru di bidang tugasnya. Melalui kelompok ini banyak informasi dapat di sebar luaskan dan banyak masalah mungkin dapat dicarikan jalan keluarnya. Jika ingin membuat mail-list sendiri, diperlukan fasilitaor yang berdedikasi tinggi dan tegas dalam menyaring arus informasi yang layak untuk di up-load dalam mail list. Disamping itu, diperlukan pula keaktifan masing-masing anggota dalam sharing informasi, masalah dan jalan keluarnya.

7. Naratif (Narrative)
Naratif berkaitan dengan cerita seseorang tentang pengalamannya kepada orang lain. Walaupun naratif dengan sengaja dapat difasilitasi untuk disampaikan pada pertemuan resmi, naratif umumnya berkembang dalam suasana informal pada waktu luang. Melalui naratif, baik penutur maupun pendengar dapat memperoleh dan mengembangkan pengetahuan (Lieblich et al., 1998, h.7). Disinilah keunggulan naratif. Sebab, pengetahuan tidak selalu berbentuk pengetahuan ‘resmi’ seperti dalam tradisi akademik, tetapi dapat pula berbentuk ‘subjugated knowledge’ [pengetahuan terselubung] seperti ‘type of knowledge … in teachers’ conversations either in formal or informal settings’ (tipe pengetahuan… dalam percakapan guru baik dalam situasi formal maupun informal (Doecke, 2001, p.111). Percakapan sering didominasi oleh naratif. Karenanya, naratif memainkan peranan pentingnya dalam membentuk dan mentransfer pengetahuan sejak jaman purba (Kreiswith, 2000, h.295).
Naratif tidak selalu berisi kisah sukses seseorang. Kisah kegagalan-pun, jika dinaratifkan dapat menjadi sumber belajar yang berharga bagi penutur dan pendengar. Jika naratif tumbuh subur di kalangan personel seprofesi di sekolah, transfer dan penguatan pengetahuan akan terjadi dengan kuantitas dan kualitas yang luar biasa banyak tanpa harus didukung oleh dana mahal oleh sekolah. Suasana ini relatif gampang dikembangkan sebab ’a man is always a teller of tales [manusia selalu merupakan penutur cerita] (Kreiswith, 2000, p.293) atau ’people are story tellers by nature’ [orang pada dasrnrya adalah penutur cerita] (Lieblich et al., 1998, h 7) . Naratif bahkan telah diakui sebagai salah satu metode ilmiah (Kreiswith, 2000, h.295). Yang terpenting untuk dilakukan oleh sekolah agar naratif dapat berkembang adalah, pertama, pengembangan suasana kekeluargaan yang sehat di sekolah dan pemberian kesempatan yang cukup bagi kelompok-kelompok guru/tenaga kependidikan untuk memiliki waktu luang bersama. Yang kedua penciptaan suasana sekolah agar waktu luang sebanyak mungkin digunakan untuk bercerita tentang pelaksanaan pekerjaan. ’Nothing is more credence to a teacher than the word of another teacher’ [Tidak ada yang lebih dapat dipercaya oleh seorang guru kecuali kata-kata sesama guru] (Weller, 1996, p.4). Weller (1996) menambahkan ’saling hubungan antara teman lebih banyak berpengaruh dalam meningkatkan kualitas daripada model instruksional seperti lokakarya, seminar atau program pengembangan staf’ (h.4)


C.     Strategi Pengembangan Sdm Melalui Manajemen Dan Kepemimpinan Perubahan
Sampai dengan akhir diskusi kita tentang stategi pengembangan SDM melalui jalur belajar, dapat kita simpulkan bahwa bahkan pada tingkat individu, perubahan perlu dukungan manajemen. Apalagi jika perubahan yang kita kehendaki bersifat institusional. Manajemen perubahan yang benar dan kuat adalah mutlak. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat digunakan dalam mengenalkan dan mengelola perubahan di tingkat sekolah disamping banyak strategi lain.
1.      Perubahan melalui Transformasi Standar Kelompok
Sosiolog Amerika Serikat pertengahan abad 20 Kurt Lewin menyatakan bahwa perubahan akan lebih berhasil jika dilakukan dalam kelompok. Agar terjadi perubahan, harus ada transformasi standar kelompok yang diterima dan seyogyanya dilakukan bersama-sama. (Lewin, 1958, h.210) . Sayangnya, kondisi ideal seperti itu tidak tipikal. Yang umum terjadi, menurut Weller adalah terbaginya sikap anggota kelompok terhadap perubahan yang sedang diperkenalkan. Hasil penelitian Hoy and Miskel (1991) menunjukkan bahwa sikap anggota kelompok terhadap perubahan terbagi sesuai dengan kecenderungan kurva normal (bell shaped curve), yakni 2,5% innovators, yakni mereka yang selau siap mengadopsi sesuatu yang baru demi perbaikan 13.5% early adopters, yaitu seperti para innovator, gampang tidak puas dengan status quo dan senang mencari sesuatu yang baru, 34 % early majority, ialah mereka yang terbuka terhadap sesuatu yang baru, 34% late majority, adalah mereka yang skeptis dan enggan berubah dan 16% late adopters, adalah merekas yang memiliki pola pikir negatif terhadap perubahan dan menjadi benteng anti perubahan (dalam Weller, 1996, h. 27). Oleh karena fenomena ini, agar perubahan berhasil dilaksanakan diperlukan dua hal. Pertama, keyakinan bahwa standar lama sudah tidak layak lagi dipertahankan dan harus ditinggalkan menuju standar baru (Evans 1996, h.57). Kedua, diperlukan pemimpin perubahan yang kuat agar mayoritas anggota kelompok dapat diyakinkan (Weller, 1996, h.27). Jika mayoritas anggota kelompok sudah berubah, kelompok resistant pada akhirnya mungkin akan mengikuti juga sebab bagaimanapun mereka tidak akan merasa nyaman berada di luar standar kelompok (Lewin, 1958, h. ). Jika standar baru sudah tercapai melalui sebuah proses perubahan, manajemen sekolah perlu menghentikan proses perubahan itu sampai standar tersebut menjadi mantap dan menjadi budaya baru (freezing) (Lewin, 1958, h. 210 ). Ini perlu dilakukan agar tidak terjadi bounch back [pantulan kembali] ke praktik lama (Eric Development Team, 2003, h.3).
Budaya baru yang seyogyanya menjadi target perubahan pada sekolah sebagimana didiskusikan di atas, adalah budaya mutu (Dit.PSMP, 2007, h. 50). Jika budaya berarti nilai atau keyakinan yang dianut oleh kelompok yang dijadikan ’penggalangan konformisme’ perilaku anggota kelompok (Slamet PH, 2005 dalam Dit.PSMP, 2007 h. 50), budaya mutu mengandung makna bahwa hanya perilaku yang mengutamakan mutu-lah yang dianggap benar dalam kelompok itu. Untuk mencapai tahapan ini, diperlukan manajemen perubahan yang kuat yang dengan konsisten melakukan ’pemberdayaan, [memberi] arahan, bimbingan, modelling, coaching, pujian, seremoni... keberhasilan mutu, dan pemberian hadiah atas prestasi mutu’ (Dit.PSMP, 2007, h. 51). Apabila budaya mutu benar-benar dijadikan sasaran perubahan, jangan kepalang tanggung, sekolah hendaknya menerapkan manajemen mutu terpadu (Total Quality Management), (Ditjen Mandikdasmen, 2007, h.13) seperti akan diuraikan lebih lanjut pada bagian belakang artikel ini.

2.      Kepemimpinan Transformasional
Pada dasarnya orang cenderung nyaman berada pada status quo (Evans, 1996, h.26) oleh karenanya agar terjadi perubahan diperlukan kepemimpinan yang kuat dengan tipe yang sesuai untuk itu. Salah satu tipe kepemimpinan yang cocok untuk ini adalah kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan transformasional bukan hanya berpihak pada perubahan tetapi berintikan perubahan itu sendiri.
Istilah “transformational’ leadership diusulkan oleh Bass sebagai pengganti dari istilah ‘transforming’ leadership yang diperkenalkan oleh Burns pada tahun 1978 (Bass, 1995, h.467). Oleh Burns, istilah transforming digunakan sebagai nama sebuah ujung ekstrim garis kontinum yang mengilustrasikan tipe kepemimpinan dengan ujung lain bernama transaksional (Bass, 1995, h.466). Kepemimpinan transaksional adalah gaya memimpin yang ditandai dengan ciri: apabila pengikut melaksanakan tugas dengan benar mereka akan mendapatkan sesuatu sebagai imbalannya (Bass, 1995, h. 466). Adapun kepemimpinan tranformasional adalah kepemimpinan yang memiliki visi ke depan yang jelas dan bagaimana membawa pengikut untuk mencapainya (Ditjen Mandikdasmen, 2007, h. 14). Jika kepemimpinan transformasional diterapkan di sekolah, proses transformasi dilakukan melalui tahap: 1) melihat kondisi nyata/kondisi obyektif sekolah, 2) menetapkan kondisi yang diinginkan, 3) menetapkan besarnya tantangan dengan cara membandingkan kondisi obyektif dengan kondisi yang diinginkan, dan 4) bergerak dari kondisi nyata menuju kondisi yang diinginkan (Ditjen Mandikdasmen, 2007, h.14).
Bass mendiskripsikan ciri pemimpin tranformasional adalah mereka yang 1) memotivasi pengikut untuk berbuat lebih dari yang biasanya, 2) meningkatkan tingkat kesadaran pengikut terhadap masalah-masalah penting, 3) menaikkan tingkat kebutuhan dari kebutuhan akan keamanan atau pengakuan menjadi kebutuhan untuk berprestasi dan mengaktualisasikan diri [lihat: Maslow, 1954), dan/atau 4) membimbing pengikut untuk mengubah [orientasi dari] kepentingan diri sendiri menjadi kepentingan tim atau organisasi (Bass, 1995, h.469). Model kepemimpinan transformasional inilah yang sejak dikenalkan cenderung terus mendapat sambutan positif di seluruh dunia karena diyakini, dan barangkali juga sudah terbukti, mampu membawa organisasi, termasuk sekolah, menuju keadaan yang dicita-citakan. Salah satu bentuk dari kepemimpinan transformasional, berdasarkan cirinya, adalah kepemimpinan dalam menerapkan total quality management (TQM)

3.      Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management/TQM)
Kegagalan yang umum terjadi pada manajemen perubahan, menurut Weller and Hartley (1994) disebabkan oleh sebuah alasan fundamental yakni ‘fragmented programmes and approaches lack a coherent systematic plan or structured process to implement … reforms’ [program yang terfragmentasi, pendekatan kekurangan rencana sistematis yang koheren atau proses terstruktur untuk mengimplementasikan … reformasi] (h.23). Oleh karena itu, untuk menghindari kegagalan tersebut, mereka menyarankan agar sekolah melakukan perencanaan yang jelas yang berdasarkan pola pikir yang terstruktur dan sistematis (h.23). Intinya, seluruh aspek manajemen: perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan segala yang berkaitan dengan itu, dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu dengan berorientasi kepada mutu.
Dari karya Weller dan Hartley ini, dapat ditarik pengertian bahwa TQM adalah upaya sistematis yang menyeluruh dan sungguh-sungguh untuk mengintervensi setiap unsur dalam sistem pendidikan sehingga seluruh aspek memenuhi standar mutu yang ditetapkan. The International Standard Organisation (ISO), mendifinisikan TQM sebagai “a management approach for an organization, centered on quality, based on the participation of all its members and aiming at long-term success through customer satisfaction, and benefits to all members of the organization and to society."
Pendekatan manajemen untuk sebuah organisasi, yang dipusatkan pada kualitas, berdasarkan partisipasi seluruh anggotanya dan diarahkan pada sukses jangka panjang melalui kepuasan pelanggan, dan keuntungan kepada seluruh anggota organisasi dan masyarakat. (Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/ Total_Quality_ Management, 27 Agustus 2007)
Berdasarkan dua pengertian di atas, dapat dideduksikan bahwa upaya sistematis yang menyeluruh dan sungguh-sungguh dalam TQM untuk mengintervensi setiap unsur dalam sistem pendidikan sehingga seluruh aspek memenuhi standar mutu yang ditetapkan, ditujukan untuk mencapai sukses jangka panjang dan dilakukan bersama-sama oleh seluruh warga sekolah.
Disini terjadi proses rekursif; yakni, agar mampu menyelenggarakan TQM, sekolah harus menyiapkan SDM yang berkualitas pada semua lapisan agar intervensi terhadap seluruh aspek dalam sistem pendidikan di sekolah dapat dilaksanakan. Dengan kata lain, SDM diubah dulu agar TQM dapat dijalankan. Sebaliknya, penerapan TQM di sekolah adalah cara yang baik untuk meningkatkan kualitas SDM sebab SDM yang tidak mengikuti perubahan itu akan tertinggal. Proses ini akan berhasil dengan syarat pelaksanaan TQM disepakati oleh seluruh warga sekolah dan bersifat partisipatif; bukan paksaan. Pengikut mau berubah karena mereka menginginkannya, bukan karena terpaksa (Evans, 1996, h. 171).
Weller dan Hartley (1994) menyarankan agar TQM tidak mengalami kegagalan, sekolah perlu melakukan hal-hal berikut. 1) Lakukan intervensi terhadap masukan mentah, yakni calon siswa baru, dengan cara menyelenggarakan program untuk menyiapkan mereka mengikuti PBM yang berkualitas. Ini yang disebut Dit. PSMP sebagai program ”bridging course’ 2) Untuk menghindari pengaruh buruk yang menghambat TQM, ciptakan budaya kerja, tetapkan visi dan misi bersama, dan jadikan ‘continuous improvement’ sebagai norma sekolah. 3) Kerucutkan tujuan pendidikan dari tujuan yang terlalu luas menjadi tujuan pendidikan di sekolah tersebut secara spesifik. 4) Jangan berfokus pada hasil kerja jangka pendek, misalnya hasil ujian, tetapi harus ada komitmen terhadap tujuan jangka panjang (commitment to constancy of purpose). 5) Evaluasi terhadap performa siswa harap didasarkan pada harapan pelanggan (orang tua siswa/ dunia kerja). 6) Dengarkan pelanggan, dan usahakan memenuhi harapan-harapan mereka agar mereka mau mendukung sekolah. 7) Ciptakan cara mengembangkan dan mengelola SDM untuk mengatasi kekurangan SDM yang bermutu. 8) Bangunlah sistem yang tidak memungkinkan lagi menghasilkan hasil yang tidak bermutu (h.23-28). Sekali lagi, perlu penegasan disini dalam penerapan TQM terjadi proses rekursif. Untuk melaksanakan TQM diperlukan SDM berkualitas; dan di sisi lain, SDM berkualitas akan terdorong dengan penerapan TQM.

4.      Perubahan karena Penerapan Teknologi
Evans mensinyalir, ’virtually every aspect of our existence has been tranformed by technology, by the revolution of computing, [and] by mass communication’ (hampir setiap aspek keberadaan kita telah berubah karena teknologi, revolusi komputasi, dan komunikasi massal (Evans, 1996, p.22). Jika kita setuju bahwa pengaruh pemakaian teknologi utamanya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) terhadap perubahan gaya dan kualitas hidup termasuk dalam kehidupan berorganisasi sangat kuat, maka tidak terlalu sulit bagi kita untuk percaya bahwa penerapan TIK dapat dijadikan strategi untuk mengubah SDM di sekolah. Seperti halnya pada penerapan TQM, juga terjadi proses rekursif dalam aplikasi TIK di sekolah. Agar TIK dapat diaplikasikan dengan maksimal, diperlukan SDM yang bermutu. Sebaliknya, penggunaan TIK secara sungguh-sungguh akan membantu meningkatkan kualitas SDM.
Berikut adalah nama dan ciri dari ke empat kelompok dimaksud. 1) Survival stage; ditandai dengan a) berjuang keras melawan teknologi, b) mendapatkan banyak masalah dengan teknologi, c) tidak mengubah kondisi status quo di kelas yang dia ajar, d) menggunakan teknologi hanya jika diperintah, e) menghadapi masalah ketika harus memfasilitasi siswa untuk memperoleh akses ke komputer, dan f) memiliki harapan yang aneh yakni percaya bahwa pemanfaatan teknologi saja sudah akan mampu mendongkrak prestasi akademik. 2) Mastery stage; memiliki ciri a) toleransi terhadap problem hardware dan software telah meningkat, b) mulai menggunakan bentuk interaksi baru dengan siswa di kelas, c) kompetensi teknisnya telah meningkat dan mulai bisa mengatasi masalah-masalah ringan pada komputernya. 3) Impact stage, bercirikan a) secara teratur mengembangkan inter-relasi kerja dan struktur kelas baru, b) menyeimbangkan perintah dengan inisiatif pengembangan, c) jarang mendapatkan masalah dengan teknologi, dan d) dengan teratur mengembangkan unit-unit pembelajaran yang memanfaatkan teknologi. 4) Innovation stage, memiliki tanda: memodifikasi lingkungan kelasnya agar dapat mengambil keuntungan maksimal dari kurikulum dan kegaitan pembelajaran yang didukung oleh teknologi (Eric Development Team, 2003, h.2-3)
Untuk mendorong agar tenaga pendidik dan kependidikan dapat segera bergerak dari survival stage ke tingkat-tingkat yang lebih tinggi, berikut adalah saran-sarannya. Pelatihan IT untuk guru harap dilaksanakan dengan model-model yang dapat dipilih, antara lain: 1) IHT sesudah sekolah dengan kendala utama kepayahan guru, 2) Individual coaching, yakni bantuan terhadap individu-individu yang mendapatkan kesulitan, 3) mengkursuskan personel terutama pada saat libur, 4) memberi grant kepada guru yang mampu melatih temannya sampai bisa, dan 5) mengikuti belajar jarak jauh. (Eric Development Team, 2003, h. 4). Saran tentang cara pembelajaran bagi SDM sekolah ini tentu dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi sekolah. Yang terpenting adalah usaha sungguh-sungguh dari jajaran manajemen sekolah untuk mentransformasikan guru dan tenaga kependidikan di sekolah tersebut setidaknya sampai tingkat impact dengan beberapa tokoh yang berada pada tingkat innovation.


BAB III
KESIMPULAN
Sumber daya manusia memegang peran sentral dalam aspek kehidupan manusia. Upaya perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah melalui penyempurnaan kurikulum, penyediaan sarana dan prasarana, pemberian bantuan dana dan keperluan lain terkait dengan pendidikan tidak akan mencapai titik kulminasinya apabila mengesampingkan peningkatan sumber daya manusia sebagai stakeholder yang terjun langsung dalam pendidikan.
Sekolah agar dapat menjalankan peran yang dibebankan kepadanya dengan baik, diperlukan SDM yang berkualitas tinggi Untuk pemenuhan kebutuhan SDM sesuai dengan kriteria tersebut, disamping dapat dilakukan pengangkatan atau mutasi, perlu juga dilakukan dengan pengembangan SDM yang ada. Karena untuk berkembang seseorang perlu berubah, maka diperlukan pemahaman yang baik terhadap seluk perubahan baik pada tingkat individu maupun pada tingkat organisasi. Untuk berubah orang perlu belajar sehingga agar terjadi perubahan, berbagai strategi membelajarkan SDM perlu dilakukan. Disamping itu, perubahan kolektif memerlukan manajemen dan kepemimpinan perubahan. Dengan demikian, agar terjadi perubahan yang efektif diperlukan manajemen dan kepemimpinan yang secara jeli dapat memanfaatkan strategi dan kepemimpinan perubahan yang mendukung.



DAFTAR PUSTAKA

Boediono, (1994). Pendidikan dan Latihan Dalam Periode Tinggal Landas.  Mimbar Pendidikan,  No. 1 Tahun XIII.
Dertouzas, M.L., Lester, R.K., dan Solow, R.M., (1989). Made In America: Regaining the Productive Edge.  Cambridge, MA: Harper Perennial.
Gilley, J.W., dan Eggland, S.E., (1989). Principles of Human Resource Development.  Reading, MA: Addison-Wisley Publishing Company, Inc.
Jones, J dan Walter, L. Donald, (2008). Human Resource Management in Education. Manajemen Sumberdaya Manusia dalam Pendidikan. Yogyakarta: Q-Media,
Megginson, D., Joy-Mattews, J., dan Banfield, P., (1993).  Human Resource Development. London: Kogan-Page Limited.
Simanjuntak, P., (1985). Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
Suryadi, A. (1995). Kebijaksanaan Pendidikan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia: Transisi Menuju era Indonesia Modern. Jakarta: Pusat Informatika, Balitbang Dikbud.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar