SIGIT KINDARTO

"SELAMAT DATANG DI BLOG SANG OEMAR BAKRI"

Selasa, 27 Juli 2021

~ PERLUNYA PENDIDIKAN MORAL ~

     


Sigit Kindarto, S.Pd., M.Pd.
Guru SMP Negeri 7 Cilacap
Peraih Juara Harapan 1 Guru Berdedikasi

Tingkat Provinsi Jawa Tengah Tahun 2020


Negara Indonesia sekarang ini sedang mengalami krisis moral. Kondisi moral anak usia sekolah dasar saat ini sangat rendah, contohnya antara lain berperilaku kasar, acuh tak acuh pada pelajaran, bersikap seperti orang dewasa, tidak berkeinginan turut melestarikan warisan kebudayaan daerahnya. Moral anak – anak yang notabene adalah calon para penerus bangsa kini malah mulai tergerus oleh arus jaman, maka memang tidak salah bila ada pepatah orang tua yang mengatakan “Jaman saiki jaman edan” yang artinya jaman sekarang  jaman orang bertindak tanpa memperhitungkan moral, betapa tidak kini dengan mudah dijumpai anak – anak yang sangat tidak mencerminkan perilaku moral yang baik dan terpuji. Tindakan tersebut bukan hanya dicerminkan oleh para anak – anak remaja bahkan sampai pada anak – anak usia sekolah dasar yaitu kisaran 7 – 12 tahun, usia dimana tingkat kognisi anak sedang berkembang pesat dan sangat mudah menerima segala bentuk pengetahuan baru secara utuh yang diberikan oleh segenap lingkungannya, apabila lingkungannya mendukung pada pembentukan moral yang baik maka akan terbentuk anak yang bermoral baik dan sebaliknya.

     Pada dasarnya pembentukan moral anak secara mendasar tergantung kepada orang – orang yang ada di sekitarnya dan situasi lingkungan yang mendukung. Anak yang hidup pada kondisi lingkungan yang membentuk kepribadian baik tentu akan menjadi baik selama belum terkontaminasi dengan hal – hal yang buruk, begitu juga sebaliknya ketika anak hidup pada kondisi lingkungan yang buruk tentu akan terbentuk kepribadian yang buruk selama belum terkontaminasi dengan hal – hal yang baik yang bisa mengubahnya.

     Pranata yang dapat membentuk kepribadian seorang anak adalah keluarga, masyarakat (teman sebaya), sekolah, serta fasilitas di lingkungan mereka, keempat pranata tersebut disebut faktor eksternal. Faktor internalnya yaitu bawaan dari anak itu sendiri yaitu pewarisan sifat dari kedua orang tua mereka. Dalam hal ini sekolah memiliki peran untuk membentuk kepribadian yang positif karena pranata yang lain seperi keluarga, masyarakat, serta fasilitas yang ada di lingkungannya belum tentu membentuk kepribadian yang positif bagi mereka atau malah justru membentuk kepribadian yang negative.

Pelaksanaan pendidikan moral di sekolah sangat berguna untuk membantu siswa mempertinggi tingkat pertimbangan, pemikiran, dan penalaran moralnya agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari – hari. Peserta didik adalah manusia dengan segala fitrahnya. Mereka mempunyai perasaan dan pikiran serta keinginan atau aspirasi. Mereka mempunyai kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan, dan kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya (menjadi dirinya sendiri sesuai dengan potensinya)

Dalam tahap perkembangannya siswa usia SMP berada pada tahap perkembangan yang sangat pesat, dari segala aspek. Periode yang dimulai pada usia 12 tahun yaitu yang lebih kurang sama dengan usia SMP, merupakan period of formal operation. Pada usia ini yang berkembang pada siswa adalah kemampuan berfikir secara simbolis dan bisa memahami sesuatu secara bermaka tanpa memerlukan objek yang visual. Siswa mulai memahami sesuatu yang bersifat imajinatif.

     Tahapan kognitif ditandai dengan adanya gerakan-gerakan yang kaku dan lambat. Ini terjadi karena siswa masih pada taraf belajar untuk mengendalikan gerakan-gerakannya. Dia harus berfikir sebelum melakukan suatu gerakkan. Pada tahap ini siswa sering membuat kesalahan dan kadang-kadang terjadi tingkat frustasi yang tinggi.

     Pendidikan merupakan salah satu fasilitas kita sebagai manusia untuk merangsang dan menstimulasi kemampuan kognitif kita dalam hal transfer ilmu baik yang kita dapat secara formal maupun secara informal. Begitu besarnya peran kognitif kita dalam perkembangan hidup yang akan datang. Maka, banyak cara yang dikembangkan untuk mengoptimalkan kemampuan ini salah satunya adalah dengan melalui jalur pendidikan formal yang menekankan bahwa fungsi-fungsi mental dapat berkembang dengan baik jika kita melatihnya.

A.       Pendidikan Moral

     Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

     Jika idealisasi dari UU itu benar-benar diterapkan dalam realita proses pendidikan, maka tentu pendidikan akan mampu menghasilkan SDM yang tidak hanya terampil dan cerdas, namun juga bermoral.


Pada kenyataannya saat ini kepekaan nurani anak bangsa ini justru sudah terabaikan (tergadai) seringkali terjadi praktik penyimpangan moral : seperti kekerasan antar siswa (baca : tawuran), pelecehan seksual oleh oknum tertentu, anarkhisme dan pelanggaran norma hukum secara kolektif, bahkan sebagian besar pelajar dan masyarakat kita tercerabut dari peradaban eastenisasi (ketimuran) yang beradab, santun dan beragama. Perilaku negatif ini dipublikasikan oleh media massa elektronika maupun cetak dan dapat diakses secara luas. Di sini terlihat masih adanya kontradiksi antara harapan dan kenyataan yang sesungguhnya.

     Menurut Tilaar, dalam bukunya Manajemen Pendidikan Nasional : Kajian Pendidikan Masa Depan (2001) menjelaskan setidaknya ada 4 (empat) faktor penyebab munculnya berbagai penyimpangan moral, yaitu :

1.   Media Massa membuat nilai permisif barat secara intens semakin menjadi sebahasa. Ketika media massa membuat pergaulan lintas kultur  menjadi begitu akrab, dunia semakin kecil dan imbas nilai rentan ditularkan dan diadobsi. Ditambah hampanya nilai tradisional di sekolah yang hanya mengajar dan kurang mendidik.

2.   Pergerakan Urbanisasi menggeser nilai yang dipetik dari keluarga besar (dengan hadirnya kakek, nenek, paman dan bibi) beralih ke nilai keluarga inti (nuclear family). Anak dibesarkan pembantu dan kian terasing dari lingkungan tradisi. Ketika sekolah sudah lupa melakukan tugas pembudayaan, dan orangtua  alpha akan tugas hakekatnya maka anak akan tumbuh tidak tahu aturan, tidak tahu diri, liar jauh dari nilai iman dan moral.

3.   Materalisme menjadi momok yang nyata, jika cita-cita orang bersekolah ingin menjadi tujuan utama dalam mencari kemakmuran ekonomi. Apalagi jika visi sekolah lebih condong pada pada sisi ekonomi bukan moral, kian menyuburkan budaya konsumerisme. Menggapai tujuan dengan menghalalkan segala cara menjadi sebuah kebutuhan, sehingga kebenaran menjadi bias.

4.   Ketika sekolah berubah menjai pabrik pendidikan. Orangtua menyerahkan pendidikan nilai kepada sekolah, padahal sekolah cenderung lebih mengajar daripada mendidik. Dan tampaknya Indonesia saat ini berada pada tepian keniscaayan akan etika dan moral ini.

     Oleh karena itu, pendidikan moral mutlak mendapatkan porsi yang tidak boleh ditunda pelaksanaannya menjadi sebuah gerakan serentak, terpadu dan komprehensif untuk segala lapisan jenjang pendidikan, tidak dapat diterapkan secara khusus parsial / berdiri sendiri (self suffeciency). Pendidikan Moral mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, ketrampilan dan perilaku yang baik, jujur dan penyayang (bermoral). Tujuan utama dari pendidikan moral adalah menghasilkan individu yang otonom, yang memahami nilai-nilai moral dan memiliki komitmen untuk bertindak konsisten dengan nilai–nilai tersebut. Menurut Darmiyati Zuchdi (2010 : 43) pendidikan moral mengandung beberapa komponen yaitu :

1.        Pengetahuan tentang moralitas

2.        Penalaran moral

3.        Perasaan kasihan

4.        Memperhatikan kepentingan orang lain

5.        Tendensi moral

     Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran dalam setiap aktivitasnya yang mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotoris, seperti yang dikembangkan dalam Taksonomy Bloom, mestinya diperoleh siswa secara berimbang, menyatu, dan optimal untuk memperkembangkan pribadi siswa secara utuh serta dinamis, sehingga menuntut keterlibatan belajar siswa dengan mendayagunakan semua potensi dirinya (kognitif, afektif,dan psikomotoris), melalui cara-cara belajar yang benar (sesuai dengan tuntutan belajar kemanusiaan serta keilmuan), dan bersifat intensif (bertujuan, terencana, berdasar pertimbangan yang rasional) untuk dapat digunakan menanamkan nilai-nilai moral.

     Pembelajaran yang mengutamakan hasil belajar adalah benar, tetapi perlu diingat bahwa hasil belajar bukan seperti produk pabrik yang mekanisme (asal perangkat permesinannya beres, bahan bakunya standar, tenaga penggerak mesinnya ada pasti menghasilkan jenis barang yang standar, seperti yang diinginkan dalam rancangannya). Hasil belajar seseorang siswa bersifat evolutif (setapak demi setapak), proses keterlibatan belajar siswa sekaligus telah mencerminkan arah serta kualitas hasilnya, dan kecakapan memproses diri dalam belajarnya (adanya rencana kerja, disiplin waktu, pilihan metodologis yang tepat, dan pendayagunaan fasilitas secara efisien) juga merupakan hasil belajar siswa yang penting dan mendasar. Perhatian yang berlebihan terhadap hasil belajar dan cenderung kurang meneliti proses pencapaiannya, akan berakibat hadirnya manusia Indonesia yang hanya cerdas secara pengetahuan, tetapi dengan pengetahuan yang tinggi tersebut justru banyak yang terjebak bertindak di luar tatanan moral yang berlaku di lingkungan masyarakat.

     Pendidikan Moral untuk kalangan pelajar di Indonesia pada titik awalnya dapat didahului dengan menanamkan konsep moralitas yaitu mengenalkan tradisi moral yang sudah dikembangkan di Indonesia yang berupa tradisi politik dan tradisi hukum yang berlaku kemudian mengkritisnya. Mengenalkan perilaku mana yang benar dan salah, kemudian merambah ke hal yang bersifat abstrak.

 

B.    Pendekatan Kognitif

     Istilah “kognitif” berasal dari kata cognition yang artinya sama dengan kata “knowing” yang berarti mengetahui. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi sangat populer sebagai salah satu domain atau wilayah psikologis manusia yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengelolaan informasi dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan kehendak dan perasaan yang bertalian dengan ranah rasa.

     Dalam pandangan ahli kognitif, kognitif adalah tingkah laku manusia yang tampak tidak dapat diukur / diterangkan tanpa melibatkan proses mental, seperti motivasi, keyakinan, dan sebagainya. Belajar pada dasarnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir semua aktivitas belajar siswa. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata dan menggoreskan pena yang dilakukan tersebut bukan semata-mata respons atas stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otak

     Ranah kognitif mempunyai arti penting dalam proses belajar siswa. Ranah kejiwaan yang berkedudukan pada otak ini, dalam perspektif  psikologi kognitif, adalah sumber sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan lainnya, yakni ranah afektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa). Tidak seperti organ tubuh lainnya, organ otak sebagai pusat  fungsi kognitif bukan hanya menjadi penggerak aktivitas akal pikiran, melainkan juga pengontrol perasaan dan perbuatan. Sekali kita kehilangan fungsi kognitif karena kerusakan berat pada otak, martabat kita hanya beda sedikit dengan hewan.

     Tanpa ranah kognitif, sulit dibayangkan seorang siswa dapat berfikir. Selanjutnya tanpa kemampuan berfikir mustahil siswa tersebut dapat memahami dan meyakini faidah materi-materi pelajaran yang disajikan kepadanya. Tanpa berfikir juga sulit bagi siswa untuk menangkap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran yang ia pelajari.

     Pendekatan kognitif yang digunakan sebagai upaya penanaman / pengenalan pesan moral dalam sebuah proses pembelajaran menanti peran aktif dari seorang guru. Menurut Kohlberg sebagaimana dikutip oleh Darmiyati Zuhcdi (2010 : 58) peran guru dalam pendidikan moral dapat digambarkan sebagai berikut :

     Dalam kajian ini peran guru sebagai pencipta konflik kognitif  menempatkan pribadi guru sebagai seorang  yang memberikan kebebasan kepada muridnya untuk mencari solusi atas sebuah permasalahan sosial yang dihadapinya dengan memilih pilihan sulit yang mempunyai implikasi lanjutan atas pilihan yang sudah  menjadi ketetapannya tersebut.

     Oleh karena itu fungsi guru dalam mengajar di dalam kelas harus mampu sebagai pengasuh, model (pemberi teladan), dan mentor (Darmiyati Zuchdi, 2010 : 58). Sebagai pengasuh, guru harus bisa mencintai dan menghargai murid-murid, menolong mereka agar berhasil di sekolah, mengembangkan kesadaran akan harga dirinya, memperlakukan murid secara bermoral sehingga mereka dapat merasakan dengan apa yang dimaksud dengan moralitas.

     Sebagai seorang model guru harus mampu menunjukkan dirinya sebagai orang yang beretika, menunjukkan orang yang perilaku rasa hormat, bertanggungjawab di setiap kesempatan baik di dalam kelas maupun di luar kelas – (ingat dengan istilah Guru di gugu dan ditiru), juga dapat berperan dengan memberikan perhatian terhadap peristiwa moralitas dan respon positif terhadap setiap peristiwa yang bermakna bagi siswa. Sebagai seorang mentor, guru dapat menyelenggarakan proses pembelajaran dan pembimbingan melalui penjelasan, diskusi, bercerita, motivasi, dan koreksi terhadap perilaku siswa yang melukai perasaan orang lain.

     Untuk itu guru perlu membuat paradigma pembelajaran untuk dapat membuat proses pembelajaran yang mampu memperhatikan perkembangan moral anak. Paradigma pembelajaran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

 

     Dalam paradigma pengajaran moral ini guru terlebih dahulu harus mengerti dan sadar diri terlebih dahulu mengenai persoalan – persoalan moral dan berubah sebelum menghendaki perubahan terjadi pada diri muridnya, kemudian menyadari bahwa selama interaksi yang terjadi banyak yang rdimensi moral untuk itu perlu dibangun suasana yang kondusif demi terjalinnya situasi yang kondusif demi perkembangan moral peserta didik.

 C.       Penerapan Pendekatan Kognitif  dalam Keputusan Moral

Keputusan moral merupakan proses perkembangan kognisi secara alami (Darmiyati Zuchdi, 2008:11). Konsep keputusan moral didasarkan pada teori Kohlberg yang disebut cognitive-developmental theory of moralization, yang berakar pada karya piaget.Kohlberg menggunakan wawancara keputusan moral dimana subjek dihadapkan pada masalah dan memilih diantara dua nilai untuk memecahkan masalah tersebut. Menurut kohlberg terdapat enam tahap keputusan moral :

1.      Tingkat I Prakonvensional

a.       Tahap 1 Moralitas heteronomi

b.      Tahap 2 Individualisme, tujuan instrumental dan pertukaran

2.      Tingkat II Konvensional

a.       Tahap 3 Harapan bersama antar pribadi, hubungan dan persesuaian antar pribadi

b.      Tahap 4 sistem sosial dan suara hati nurani

3.      Tingkat III Pasca Konvensional atau memiliki prinsip

a.       Tahap 5 Kontrak sosial atau hak milik dan hak individu

b.      Tahap 6 Prinsip-prinsip etis universal

(Darmiyati Zuchdi, 2008:14-18)

     Tiap orang berada pada tahap perkembangan moral yang berbeda, sejauh mana tingkat kognisinya berkembang. Penerapan dalam kegiatan belajar mengajar di kelas pendekatan kognitif melalui keputusan moral ini dapat dilakukan dengan menghadapkan peserta didik pada sebuah dilema moral kemudian mereka kita minta memilih diantara dua keputusan mana yang akan diambil dengan menyertakan alasan mengapa memilih keputusan tersebut. Contoh dilema moral :

Erlita adalah anak pintar dan cerdas dikelasnya. Menjelang Ujian Nasional beberapa orang teman sekelasnya yang tergolong anak nakal meminta Erlita membantu mereka memberikan jawaban saat ujian nasional. Mereka mengancam akan menganiaya adik Erlita jika tidak mau membantu mereka, melaporkan pada guru atau siapa saja. Erlita dihadapkan pada dua pilihan sulit. Pertama jika dia membantu mereka maka dia sudah berbuat curang dan membiarkan teman-temannya melakukan jalan yang salah dan itu dosa. Kedua jika dia tidak membantu mereka dan melaporkan pada guru maka adiknya taruhannya. Mereka bisa berbuat apa saja dengan uang yang mereka punya karena Erlita tahu mereka anak-anak orang kaya. Mana yang harus dipilih erlita ?. Berdasarkan dilemma moral ini anak diminta apakah memilih memberikan jawaban soal pada saat ujian atau tidak ?

 

D.     Kelebihan dan Kelemahan Pendekatan Kognitif

Pendekatan kognitif dalam pengambilan keputusan moral dapat merangsang perkembangan kognitif seseorang. Seseorang  bisa mengambil keputusan diantara dua pilihan menjadi pribadi yang lebih bijaksana dan tepat dalam berfikir. Namun terkadang pilihan ini hanya meningkatkan pemikiran moral seseorang dan belum dapat mencapai kesatuan antara pemikiran moral dan tindakan moral.

     Krisis moral yang dialami Bangsa Indonesia, terutama pada generasi mudanya memerlukan pencegahan dan penanganan yang tepat. Pelaksanaan pendidikan moral di sekolah sangat berguna untuk membantu siswa mempertinggi tingkat pertimbangan, pemikiran, dan penalaran moralnya agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari – hari. Pendidikan moral mutlak mendapatkan porsi yang tidak boleh ditunda pelaksanaannya menjadi sebuah gerakan serentak dan terpadu untuk segala lapisan jenjang pendidikan dan tidak dapat diterapkan secara khusus parsial / berdiri sendiri (self suffeciency).

    Pendidikan merupakan salah satu fasilitas kita sebagai manusia untuk merangsang dan menstimulasi kemampuan kognitif kita dalam hal transfer ilmu baik  yang kita dapat secara formal maupun secara informal. Kegiatan pembelajaran dalam setiap aktivitasnya yang mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotoris, seperti yang dikembangkan dalam Taksonomy Bloom, mestinya diperoleh siswa secara berimbang, menyatu, dan optimal untuk memperkembangkan pribadi siswa secara utuh serta dinamis, sehingga menuntut keterlibatan belajar siswa dengan mendayagunakan semua potensi dirinya (kognitif, afektif,dan psikomotoris), melalui cara-cara belajar yang benar (sesuai dengan tuntutan belajar kemanusiaan serta keilmuan), dan bersifat intensif (bertujuan, terencana, berdasar pertimbangan yang rasional) untuk dapat digunakan menanamkan nilai-nilai moral.

     Salah satu penerapan pendekatan kognitif dalam pendidikan moral adalah proses Pendidikan Karakter Bangsa. Pendidikan Karakter Bangsa di bangun dari komponen – komponen yang sangat penting, yang menjadi pijakan terciptanya pendidikan yang sesuai dengan tujuan kurikulum dan cita – cita bangsa.

 




Senin, 26 Juli 2021

Pentingnya Pendidikan Karakter



Sigit Kindarto, S.Pd., M.Pd.
Guru SMP Negeri 7 Cilacap
Peraih Juara I Guru SMP Berprestasi
Tingkat Kabupaen Cilacap Tahun 2016

Perkembangan masyarakat Indonesia saat ini tampaknya sedang menuju perpecahan / disintegrasi. Luasnya wilayah dan beranekaragamnya perbedaan yang dimiliki masyarakat menjadi sebuah senjata untuk meraih kedaulatan, saat ini seolah menjadi bumerang. Masyarakat yang dahulu terkenal santun, ramah, tenggang rasa, tepo sliro  dan menjunjung nilai – nilai kejujuran, kebersamaan (baca : gotong royong), kini seolah berubah menjadi sebuah komunitas yang hedonis, individualis, agresif, mudah marah, anarkhis dan sectarian. Hal ini tampak dari perangai masyarakat yang tercermin dalam berbagai peristiwa kerusuhan, penjarahan, bentrok antar kampung, perkelahian pelajar maupun tawuran antar mahasiswa, dan korupsi di segala lini.

Sebagai praktisi pendidikan peristiwa di atas menjadi renungan dan memunculkan  berbagai pertanyaan untuk dicari jawabannya. Mengapa karakter masyarakat Indonesia mengalami kerusakan ? Apakah proses pendidikan yang selama ini di terapkan dalam pembelajaran kurang menekankan pentingnya aspek pengembangan karakter dan penanaman moral pada siswa ?

Kita perlu mengingat dan mencoba untuk merekonstruksi ulang Pidato Bung Karno yang disampaikan pada Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia ke 22. Dalam kesempatan tersebut Bung Karno berpidato dengan semangat berapi – api “  

….. dalam tahap awal, yang pertama-tama harus dibangun oleh negara ini adalah karakternya, ya, Nation Character Building, yaitu membangun bangsa dari kemorosotan jaman kolonial untuk dijadikan bangsa “berjiwa” yang dapat dan mampu menghadapi semua tantangan. Suatu bangsa yang merdeka dalam abad 20. Sesungguhnya, bahwa membangun suatu negara, membangun ekonomi, membangun teknik, membangun pertahanan, adalah pertama-tama dan pada tahap utamanya membangun jiwa bangsa. Bukankah demikian? Tentu saja keahlian perlu, namun keahlian saja tanpa dilandasi jiwa yang besar, tidak akan mencapai tujuannya. Ini adalah sebab mutlak diperlukannya Nation and character Building.

Krisis multidimensi dan keterpurukan bangsa, pada hakekatnya bersumber dari jati diri dan kegagalan dalam mengembangkan pendidikan karakter bangsa. Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif dan kurang memperhatikan aspek afektif, sehingga hanya tercetak generasi yang pintar, tetapi tidak memiliki karakter yang dibutuhkan bangsa. Selain itu, sistem pendidikan yang top-down, dengan menempatkan guru untuk mentransfer bahan ajar ke subjek didik, dan subjek didik hanya menampung apa yang disampaikan guru tanpa mencoba berpikir lebih jauh, minimal terjadi proses seleksi secara kritis. Praktik pendidikan yang cenderung kognitif intelektualistik, perlu direvitalisasi sebagai wahana pengembangan pendidikan karakter bangsa, pembangunan kecerdasan, akhlak dan kepribadian peserta didik secara utuh sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

Berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya). Dalam Undang - Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Naional ditegaskan bahwa :

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

 Pendidikan memiliki peran yang sangat penting, bukan hanya menghasilkan warga belajar dengan prestasi tinggi tetapi mampu melahirkan generasi baru yang memiliki karakter yang baik dan bermanfaat bagi masa depan bangsa. Penanaman pendidikan karakter sudah tidak bisa ditawar untuk diabaikan, terutama pada pembelajaran di sekolah disamping lingkungan keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, menurut upaya yang telah digaungkan oleh Soekarno bahwa inkulkasi moral menempati posisi sentral dalam sebuah pembangunan bangsa, maka semua komponen bangsa hendaknya berpartisipasi aktif menggalakan penanaman nilai karakter.

Di lingkup institusi pendidikan, guru menjadi corong sekaligus pelaku / praktisi dalam implementasi pendidikan karakter ini. Kemajuan suatu bangsa sangat tergantung bagaimana karakter orang-orangnya, kemampuan intelegensinya, keunggulan berpikir warganya, sinergi para pemimpinnya, dan lain sebagainya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah penting dalam membangun moral dan kepribadian bangsa.

Buku ini merupakan buah pikir dari guru / praktisi pendidikan yang prihatin terhadap kondisi masyarakatnya (baca : siswa, khususnya) yang mengalami degradasi moral. Buku ini dipersembahkan kepada semua pihak yang memiliki kepedulian terhadap gerakan membangun karakter dan moral bangsa. Penulis mencoba berperan aktif memberi solusi khususnya dalam merefleksikan inkulkasi moral dalam proses pembelajaran di kelas. Kajian ini memberikan wawasan pada pembaca bagaimana menerapkan / melakukan implementasi pembelajaran berbasis karakter. Ada 6 (enam)  pokok kajian yang harus diperhatikan dalam pendidikan karakter yaitu :

Perilaku Sosial Agresif dalam Kajian Pendidikan Karakter berisi tentang   factor penyebab agresifitas dalam masyarakat, pemicu dan pengaruhnya dalam proses kehidupan social kemasyarakatan, dilengkapi juga dengan jenis – jenis perilaku negative yang bertentangan dengan prinsip – prinsip manusia berkarakter serta penyimpangan terhadap norma-norma atau nilai-nilai masyarakat (deviation). Upaya pencegahan perlu menjadi perhatian bagi segenap pendidik agar siswanya tidak terjerumus dalam pola perilaku agresfi dan negative juga diungkapkan secara sistematis dan runtut sehingga mudah diimplementasikan dalam proses pembelajaran.

Kedua, berisi pembahasan mengenai Perilaku Sosial Positif dalam Kajian Pendidikan Karakter. Kajian dalam bagian adalah mengenai nilai-nilai yang diharapkan bukan sebagai pengetahuan saja (moral knowing), namun menjadi sebuah sikap (moral feeling) dan membentuk tindakan atau perilaku (moral action). Jenis – jenis perilaku positive dipaparkan secara gamblang dalam bab ini. Sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) dibahas juga tentang 18 jenis karakter positive yang menjadi kompetensi karakter siswa yang harus dicapai dalam proses pembelajaran. Pada konteks mikro pengembangan karakter berlangsung dalam konteks suatu satuan pendidikan atau sekolah secara holistik (the whole school reform). Sekolah sebagai leading sector, berupaya memanfaatkan dan memberdayakan semua lingkungan belajar yang ada untuk menginisiasi, memperbaiki, menguatkan, dan menyempurnakan secara terus menerus proses pendidikan karakter di sekolah (school culture) dengan mengedepankan olah hati, olah rasa, olah raga dan olah karsa. Pemberdayaan karakter positive secara habituasi dan inkulkasi menjadi bagian penting untuk dikaji.

Ketiga, Pendidikan Moral Melalui Pendekatan Kognitif. Para praktisi pendidikan selama ini terjebak dalam pembelajaran yang mengutamakan hasil belajar. Hasil belajar seorang siswa bersifat evolutif (setapak demi setapak), proses keterlibatan belajar siswa sekaligus telah mencerminkan arah serta kualitas hasilnya, dan kecakapan memproses diri dalam belajarnya (adanya rencana kerja, disiplin waktu, pilihan metodologis yang tepat, dan pendayagunaan fasilitas secara efisien) juga merupakan hasil belajar siswa yang penting dan mendasar. Perhatian yang berlebihan terhadap hasil belajar dan cenderung kurang meneliti proses pencapaiannya, akan berakibat hadirnya manusia Indonesia yang hanya cerdas secara pengetahuan, tetapi dengan pengetahuan yang tinggi tersebut justru banyak yang terjebak bertindak di luar tatanan moral yang berlaku di lingkungan masyarakat. Ranah kognitif mempunyai arti penting dalam proses belajar siswa. Ranah kejiwaan yang berkedudukan pada otak ini, dalam perspektif  psikologi kognitif, adalah sumber sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan lainnya, yakni ranah afektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa). Tidak seperti organ tubuh lainnya, organ otak sebagai pusat  fungsi kognitif bukan hanya menjadi penggerak aktivitas akal pikiran, melainkan juga pengontrol perasaan dan perbuatan. Sekali kita kehilangan fungsi kognitif karena kerusakan berat pada otak, martabat kita hanya beda sedikit dengan hewan. Tanpa ranah kognitif, sulit dibayangkan seorang siswa dapat berfikir. Selanjutnya tanpa kemampuan berfikir mustahil siswa tersebut dapat memahami dan meyakini faidah materi-materi pelajaran yang disajikan kepadanya. Tanpa berfikir juga sulit bagi siswa untuk menangkap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran yang ia pelajari.

Keempat, Pendekatan Afektif dalam Pendidikan Nilai. Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi dan nilai. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku, seperti perhatiannnya terhadap mata pelajaran, kedisiplinannya dalam mengikuti di sekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran yang di terimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru dan sebagainya. Dalam bagian ini juga dibahas tentang instrument penilaian ranah afektif sehingga memudahkan para praktisi pendidikan untuk mengadopsi format penilaian untuk diimplementasikan dalam proses pembelajaran.

Kelima, Pendekatan Komprehensif dalam Pendidikan Nilai. Pembahasan berupa pengertian dari Pendekatan komprehensif yang digunakan dalam pendidikan nilai dan cakupannya yang terdiri beberapa aspek (Darmiyati Zuchdi, 2012: 11) yaitu a), komprehensif harus nampak pada isi pendidikan nilai yang meliputi semua permasalahan yang berkaitan dengan nilai yang bersifat pribadi sampai pada pertanyaan etika secara umum. b), metode pendidikan nilai juga harus komprehensif antara metode tradisional seperti inkulkasi (penanaman) nilai dan pemberian teladan, juga metode kontemporer yang terdiri dari fasilitasi pembuatan keputusan moral secara bertanggungjawab dan pengembangan keterampilan hidup atau soft skill. c), pendidikan nilai sebaiknya terjadi di dalam keseluruhan proses pendidikan baik di kelas, ekstrakurikuler, bimbingan dan penyuluhan, dan semua aspek kehidupan. d), pendidikan nilai hendaknya terjadi di dalam kehidupan masyarakat, sehingga orang tua, lembaga keagamaan, penegak hukum, polisi, organisasi kemasyarakatan.

Keenam, Evaluasi Pendidikan Nilai. Evaluasi pendidikan nilai dilakukan secara komprehensif dengan menggunakan instrument evaluasi yang baik. Karena evaluasi pendidikan nilai/moral harus dapat menggambarkan secara akurat, baik pemikiran/penalaran moral, afek moral (hubungan dengan perasaan atau hati nurani), maupun perilaku moral (moral action), maka perlu dikembangkan instrument evaluasi untuk ketiga ranah tersebut. Pengembangan ketiga jenis instrument tersebut dapat didasarkan pada perkembangan penalaran moral oleh Kohlberg. Maksud evaluasi belajar afektif adalah menempatkan seseorang atau suatu kelompok pada beberapa titik rentang skala afektif (untuk pengukuran). Evaluasi afektif harus terpisah dari evaluasi kognitif namun hasil evaluasi afektif dapat dilaporkan bersama-sama dengan hasil evaluasi kognitif. Hasil evaluasi afektif digunakan dalam membuat keputusan yang menyeluruh pada diri siswa.

Pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) dan penanaman (inculcating) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dengan demikian apa yang dikumandangkan oleh Presiden Sukarno pada HUT RI ke 22 dapat terwujud, dan Indonesia  menjadi bangsa yang besar dan berkarakter, mampu bersaing dengan bangsa – bangsa lain. Lebih jauh daripada itu adalah terciptanya masyarakat yang santun, berkepribadian luhur dan makmur, sejahtera serta bahagia.

Guru adalah salah satu komponen negara yang bertugas untuk dapat membentuk karakter bangsa melalui dunia pendidikan secara formal. Tantangan mulia ini menjadi bagian integral menuju tujuan pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional maupun amanat  UUD 1945 menjadi landasan konstitusional Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, langkah nyata meski kecil menuju perbaikan  lebih utama dari pada tidak berbuat apapun untuk perbaikan bangsa ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jumat, 16 April 2021

BELAJAR WIRA NIAGA DENGAN MENCIPTA KULINER UNIK


Sigit Kindarto, S.Pd., M.Pd.
Guru SMP Negeri 7 Cilacap
Fasda Pembelajaran Tanoto Foundation Cilacap
Peraih Fasilitator Daerah Terbaik Tingkat Jawa Tengah

Tahun 2020

 


Kondisi geografis Indonesia memungkinkan banyaknya tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar kita. Tumbuhan ini menjadi modal dan sumber belajar bagi lingkungan pendidikan. Dengan menggunakan metode kontekstual maka lingkungan menjadi sumber belajar utama dalam pembelajaran ini.

Mata Pelajaran IPS adalah mata pelajaran yang sangat dekat dengan aktivitas keseharian peserta didik. Oleh karena itu, guru perlu memanfaatkan kedekatan lingkungan peserta didik ini menjadi tema dalam pembelajaran yang dilakukannya dikaitkan dengan kompetensi dasar yang ada dalam struktur kurikulumnya.

Secara umum, pembelajaran IPS bertujuan mengembangkan pengetahuan, keterampilan sosial, kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama, kemampuan memecahkan masalah, serta komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan sebagai perwujudan warga negara yang baik. Oleh karena itu, pembelajran berbasis aktivitas akan memberikan nilai tambah dan bermakna bagi peserta didik

Dalam salah satu kompetensi dasar IPS ada materi mengenai produksi, distribusi dan konsumsi. Materi ini mengajarkan kepada peserta didik untuk dapat mengulik lebih dalam hal-hal terkait dengan berbagai macam kegiatan memproduksi barang dan jasa agar peserta didik mempunyai bekal dan keterampilan untuk menghasilkan jenis-jenis produksi baik barang maupun jasa.

Di SMP Negeri 7 Cilacap mata pelajaran IPS untuk kompetensi dasar produksi, distribusi dan konsumsi diarahkan agar peserta didik mampu menciptakan berbagai jenis kuliner unik yang belum ada di pasaran. Sumber kuliner harus diperoleh dari bahan-bahan yang ada di sekitar tempat tinggal peserta didik berupa hasil pertanian maupun perkebunan yang selama ini belum dilirik dan dijadikan sebagai bahan kuliner oleh pelaku boga.

Selaku guru IPS berusaha untuk menggerakkan peserta didik mampu berkreasi, mengkonsep, memproduksi dan memperdagangkan produk boga unik yang belum ada di pasaran sekaligus sebagai sarana berlatih wira niaga. Jenis kuliner yang dicipta boleh mirip atau merupakan inovasi dari berbagai jenis boga yang sudah ada.  Tujuannya adalah peserta didik mampu mengolah ide kuliner untuk dimanfaatkan memberi alternatif menu boga unik serta mengatasi kelangkaan akibat tingginya pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia dan membiasakan berkreasi dengan ide-ide nyentriknya dan dari 5 kelas yang ditugasi tercipta 124 jenis kuliner baru.

Semua kuliner unik ketika sebelum masa pandemi dikemas untuk ditawarkan dan didistribusikan ke setiap kelas dan ruang guru yang ada di SMP Negeri 7 Cilacap secara berkelompok dan bergilir. Setiap kelompok terdiri dari 4 orang sehingga ketika mempromosikan produknya mempunyai kesempatan yang sama dalam menawarkan hasil kulinernya. Untuk memeriahkan kegiatan ini juga di beri nama Hari Berniaga Espentu. Dari kegiatan ini terkumpul dana hasil penjualan yang cukup besar yaitu Rp. 1.872.500. Literasi finansial sekaligus menjadi bagian dalam pengelolaan hasil kegiatan ini.

 

Pandemi Covid-19 mengakibatkan terjadi perubahan moda pembelajaran dari luring menjadi daring. Hari Berniaga Espentu-pun juga mengikuti moda pembelajaran yang dilaksanakan. Kegiatan pembelajaran berbasis aktivitas yang dikemas menjadi Hari Berniaga ini  dimaksudkan sebagai upaya melatih BERWIRA NIAGA. Kegiatan ini  sekaligus juga mempraktikkan model pembelajaran MIKiR. Bagaimana MIKiR ini dapat diterapkan ? Karena peserta didik Mengalami secara langsung untuk mengkonsep, menggali ide, mengamati lingkungan dalam mencari bahan baku untuk jadikan sebagai Boga Uniknya. Interaksinya dilakukan peserta didik dengan sesama peserta dalam menentukan bahan dan nama kuliner yang diciptakannya melalui media sosial kelas agar tidak terjadi nama boga yang sama dengan bahan yang sama pula, Komunikasi dilakukan oleh peserta didika ketia melakukan promosiatau penawaran hasil karyanya kepada para konsumennya. Refleski dilakukan ketika akhir pekan pembelajaran setelah peserta melakukan proses penjualan, kesulitan atau apa manfaat yang dirasakan peserta didik dengan melaksanakan kegiatan ini.

Langkah-langkah melaksanakan latihan berwira niaga di Hari Berniaga Espentu di masa daring adalah sebagai berikut : 1) Guru Memberikan arahan pembelajaran menggunakan Aplikasi Plotagon tentang Materi Pokok Ekonomi atau PPT. 2). Membuat LKPD IPS tentang pembuatan Kuliner Unik yang belum ada di pasaran berbahan baku hasil pertanian dan perkebunan. 3). Aplikasi Plotagon/PPT dan LKPD di upload guru di kelas virtual bisa menggunakan google classroom maupun WA grup kelas. 4). Guru dan Peserta didik melakukan diskusi pembelajaran dalam tatap muka virtual di Forum WA Messenger 5).  Setelah ada kesepahaman tetang pembelajaran materi pokok ekonomi, peserta didik dan guru melakukan interaksi secara chatting di grup WA sampai berproses menentukan produk kuliner uniknya. 6). Di hari pembelajaran minggu berikutnya semua peserta didik melakukan gelar karya hasil ciptaan kuliner uniknya di media sosial sekolah maupun pribadi dengan deskripsi produknya berupa bahan, proses produksi, harga, keunggulan kuliner yang dibuat.

Gelar karya secara maya ini juga unik karena ternyata konsumen selaku pembeli produk juga harus daring dalam melakukan transaksi. Meski demikian pangsa pasar yang terbuka luas tersebut belum sepenuhnya disambut luas masyarakat, karena ternyata pembelinya baru sesama temannya, dalam rangka memeriahkan hari berniaga. Ini mungkin promosinya yang harus lebih diintensifkan di waktu mendatang.  

Meski Hari Berniaga sebagai upaya melatih Berwira Niaga kepada peserta didik dengan menggunakan moda daring ini tidak semeriah ketika era tatap muka, namun peserta didik merasakan merdeka belajar selaras dengan yang sedang digalakkan oleh Pemerintah. Guru bersifat sebagai fasilitator dan motivator bagi proses pembelajaran yang dialami oleh siswa. Proses model pembelajaran semacam ini memberikan keyakinan bahwa peserta didik di masanya nanti akan mampu menjadi wira usahawan handal dan kreatif  yang mampu mensiasati keadaan dan mampu bertahan dalam setiap kondisi.