SIGIT KINDARTO

"SELAMAT DATANG DI BLOG SANG OEMAR BAKRI"

Senin, 26 Juli 2021

Pentingnya Pendidikan Karakter



Sigit Kindarto, S.Pd., M.Pd.
Guru SMP Negeri 7 Cilacap
Peraih Juara I Guru SMP Berprestasi
Tingkat Kabupaen Cilacap Tahun 2016

Perkembangan masyarakat Indonesia saat ini tampaknya sedang menuju perpecahan / disintegrasi. Luasnya wilayah dan beranekaragamnya perbedaan yang dimiliki masyarakat menjadi sebuah senjata untuk meraih kedaulatan, saat ini seolah menjadi bumerang. Masyarakat yang dahulu terkenal santun, ramah, tenggang rasa, tepo sliro  dan menjunjung nilai – nilai kejujuran, kebersamaan (baca : gotong royong), kini seolah berubah menjadi sebuah komunitas yang hedonis, individualis, agresif, mudah marah, anarkhis dan sectarian. Hal ini tampak dari perangai masyarakat yang tercermin dalam berbagai peristiwa kerusuhan, penjarahan, bentrok antar kampung, perkelahian pelajar maupun tawuran antar mahasiswa, dan korupsi di segala lini.

Sebagai praktisi pendidikan peristiwa di atas menjadi renungan dan memunculkan  berbagai pertanyaan untuk dicari jawabannya. Mengapa karakter masyarakat Indonesia mengalami kerusakan ? Apakah proses pendidikan yang selama ini di terapkan dalam pembelajaran kurang menekankan pentingnya aspek pengembangan karakter dan penanaman moral pada siswa ?

Kita perlu mengingat dan mencoba untuk merekonstruksi ulang Pidato Bung Karno yang disampaikan pada Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia ke 22. Dalam kesempatan tersebut Bung Karno berpidato dengan semangat berapi – api “  

….. dalam tahap awal, yang pertama-tama harus dibangun oleh negara ini adalah karakternya, ya, Nation Character Building, yaitu membangun bangsa dari kemorosotan jaman kolonial untuk dijadikan bangsa “berjiwa” yang dapat dan mampu menghadapi semua tantangan. Suatu bangsa yang merdeka dalam abad 20. Sesungguhnya, bahwa membangun suatu negara, membangun ekonomi, membangun teknik, membangun pertahanan, adalah pertama-tama dan pada tahap utamanya membangun jiwa bangsa. Bukankah demikian? Tentu saja keahlian perlu, namun keahlian saja tanpa dilandasi jiwa yang besar, tidak akan mencapai tujuannya. Ini adalah sebab mutlak diperlukannya Nation and character Building.

Krisis multidimensi dan keterpurukan bangsa, pada hakekatnya bersumber dari jati diri dan kegagalan dalam mengembangkan pendidikan karakter bangsa. Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif dan kurang memperhatikan aspek afektif, sehingga hanya tercetak generasi yang pintar, tetapi tidak memiliki karakter yang dibutuhkan bangsa. Selain itu, sistem pendidikan yang top-down, dengan menempatkan guru untuk mentransfer bahan ajar ke subjek didik, dan subjek didik hanya menampung apa yang disampaikan guru tanpa mencoba berpikir lebih jauh, minimal terjadi proses seleksi secara kritis. Praktik pendidikan yang cenderung kognitif intelektualistik, perlu direvitalisasi sebagai wahana pengembangan pendidikan karakter bangsa, pembangunan kecerdasan, akhlak dan kepribadian peserta didik secara utuh sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

Berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya). Dalam Undang - Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Naional ditegaskan bahwa :

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

 Pendidikan memiliki peran yang sangat penting, bukan hanya menghasilkan warga belajar dengan prestasi tinggi tetapi mampu melahirkan generasi baru yang memiliki karakter yang baik dan bermanfaat bagi masa depan bangsa. Penanaman pendidikan karakter sudah tidak bisa ditawar untuk diabaikan, terutama pada pembelajaran di sekolah disamping lingkungan keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, menurut upaya yang telah digaungkan oleh Soekarno bahwa inkulkasi moral menempati posisi sentral dalam sebuah pembangunan bangsa, maka semua komponen bangsa hendaknya berpartisipasi aktif menggalakan penanaman nilai karakter.

Di lingkup institusi pendidikan, guru menjadi corong sekaligus pelaku / praktisi dalam implementasi pendidikan karakter ini. Kemajuan suatu bangsa sangat tergantung bagaimana karakter orang-orangnya, kemampuan intelegensinya, keunggulan berpikir warganya, sinergi para pemimpinnya, dan lain sebagainya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah penting dalam membangun moral dan kepribadian bangsa.

Buku ini merupakan buah pikir dari guru / praktisi pendidikan yang prihatin terhadap kondisi masyarakatnya (baca : siswa, khususnya) yang mengalami degradasi moral. Buku ini dipersembahkan kepada semua pihak yang memiliki kepedulian terhadap gerakan membangun karakter dan moral bangsa. Penulis mencoba berperan aktif memberi solusi khususnya dalam merefleksikan inkulkasi moral dalam proses pembelajaran di kelas. Kajian ini memberikan wawasan pada pembaca bagaimana menerapkan / melakukan implementasi pembelajaran berbasis karakter. Ada 6 (enam)  pokok kajian yang harus diperhatikan dalam pendidikan karakter yaitu :

Perilaku Sosial Agresif dalam Kajian Pendidikan Karakter berisi tentang   factor penyebab agresifitas dalam masyarakat, pemicu dan pengaruhnya dalam proses kehidupan social kemasyarakatan, dilengkapi juga dengan jenis – jenis perilaku negative yang bertentangan dengan prinsip – prinsip manusia berkarakter serta penyimpangan terhadap norma-norma atau nilai-nilai masyarakat (deviation). Upaya pencegahan perlu menjadi perhatian bagi segenap pendidik agar siswanya tidak terjerumus dalam pola perilaku agresfi dan negative juga diungkapkan secara sistematis dan runtut sehingga mudah diimplementasikan dalam proses pembelajaran.

Kedua, berisi pembahasan mengenai Perilaku Sosial Positif dalam Kajian Pendidikan Karakter. Kajian dalam bagian adalah mengenai nilai-nilai yang diharapkan bukan sebagai pengetahuan saja (moral knowing), namun menjadi sebuah sikap (moral feeling) dan membentuk tindakan atau perilaku (moral action). Jenis – jenis perilaku positive dipaparkan secara gamblang dalam bab ini. Sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) dibahas juga tentang 18 jenis karakter positive yang menjadi kompetensi karakter siswa yang harus dicapai dalam proses pembelajaran. Pada konteks mikro pengembangan karakter berlangsung dalam konteks suatu satuan pendidikan atau sekolah secara holistik (the whole school reform). Sekolah sebagai leading sector, berupaya memanfaatkan dan memberdayakan semua lingkungan belajar yang ada untuk menginisiasi, memperbaiki, menguatkan, dan menyempurnakan secara terus menerus proses pendidikan karakter di sekolah (school culture) dengan mengedepankan olah hati, olah rasa, olah raga dan olah karsa. Pemberdayaan karakter positive secara habituasi dan inkulkasi menjadi bagian penting untuk dikaji.

Ketiga, Pendidikan Moral Melalui Pendekatan Kognitif. Para praktisi pendidikan selama ini terjebak dalam pembelajaran yang mengutamakan hasil belajar. Hasil belajar seorang siswa bersifat evolutif (setapak demi setapak), proses keterlibatan belajar siswa sekaligus telah mencerminkan arah serta kualitas hasilnya, dan kecakapan memproses diri dalam belajarnya (adanya rencana kerja, disiplin waktu, pilihan metodologis yang tepat, dan pendayagunaan fasilitas secara efisien) juga merupakan hasil belajar siswa yang penting dan mendasar. Perhatian yang berlebihan terhadap hasil belajar dan cenderung kurang meneliti proses pencapaiannya, akan berakibat hadirnya manusia Indonesia yang hanya cerdas secara pengetahuan, tetapi dengan pengetahuan yang tinggi tersebut justru banyak yang terjebak bertindak di luar tatanan moral yang berlaku di lingkungan masyarakat. Ranah kognitif mempunyai arti penting dalam proses belajar siswa. Ranah kejiwaan yang berkedudukan pada otak ini, dalam perspektif  psikologi kognitif, adalah sumber sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan lainnya, yakni ranah afektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa). Tidak seperti organ tubuh lainnya, organ otak sebagai pusat  fungsi kognitif bukan hanya menjadi penggerak aktivitas akal pikiran, melainkan juga pengontrol perasaan dan perbuatan. Sekali kita kehilangan fungsi kognitif karena kerusakan berat pada otak, martabat kita hanya beda sedikit dengan hewan. Tanpa ranah kognitif, sulit dibayangkan seorang siswa dapat berfikir. Selanjutnya tanpa kemampuan berfikir mustahil siswa tersebut dapat memahami dan meyakini faidah materi-materi pelajaran yang disajikan kepadanya. Tanpa berfikir juga sulit bagi siswa untuk menangkap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran yang ia pelajari.

Keempat, Pendekatan Afektif dalam Pendidikan Nilai. Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi dan nilai. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku, seperti perhatiannnya terhadap mata pelajaran, kedisiplinannya dalam mengikuti di sekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran yang di terimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru dan sebagainya. Dalam bagian ini juga dibahas tentang instrument penilaian ranah afektif sehingga memudahkan para praktisi pendidikan untuk mengadopsi format penilaian untuk diimplementasikan dalam proses pembelajaran.

Kelima, Pendekatan Komprehensif dalam Pendidikan Nilai. Pembahasan berupa pengertian dari Pendekatan komprehensif yang digunakan dalam pendidikan nilai dan cakupannya yang terdiri beberapa aspek (Darmiyati Zuchdi, 2012: 11) yaitu a), komprehensif harus nampak pada isi pendidikan nilai yang meliputi semua permasalahan yang berkaitan dengan nilai yang bersifat pribadi sampai pada pertanyaan etika secara umum. b), metode pendidikan nilai juga harus komprehensif antara metode tradisional seperti inkulkasi (penanaman) nilai dan pemberian teladan, juga metode kontemporer yang terdiri dari fasilitasi pembuatan keputusan moral secara bertanggungjawab dan pengembangan keterampilan hidup atau soft skill. c), pendidikan nilai sebaiknya terjadi di dalam keseluruhan proses pendidikan baik di kelas, ekstrakurikuler, bimbingan dan penyuluhan, dan semua aspek kehidupan. d), pendidikan nilai hendaknya terjadi di dalam kehidupan masyarakat, sehingga orang tua, lembaga keagamaan, penegak hukum, polisi, organisasi kemasyarakatan.

Keenam, Evaluasi Pendidikan Nilai. Evaluasi pendidikan nilai dilakukan secara komprehensif dengan menggunakan instrument evaluasi yang baik. Karena evaluasi pendidikan nilai/moral harus dapat menggambarkan secara akurat, baik pemikiran/penalaran moral, afek moral (hubungan dengan perasaan atau hati nurani), maupun perilaku moral (moral action), maka perlu dikembangkan instrument evaluasi untuk ketiga ranah tersebut. Pengembangan ketiga jenis instrument tersebut dapat didasarkan pada perkembangan penalaran moral oleh Kohlberg. Maksud evaluasi belajar afektif adalah menempatkan seseorang atau suatu kelompok pada beberapa titik rentang skala afektif (untuk pengukuran). Evaluasi afektif harus terpisah dari evaluasi kognitif namun hasil evaluasi afektif dapat dilaporkan bersama-sama dengan hasil evaluasi kognitif. Hasil evaluasi afektif digunakan dalam membuat keputusan yang menyeluruh pada diri siswa.

Pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) dan penanaman (inculcating) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dengan demikian apa yang dikumandangkan oleh Presiden Sukarno pada HUT RI ke 22 dapat terwujud, dan Indonesia  menjadi bangsa yang besar dan berkarakter, mampu bersaing dengan bangsa – bangsa lain. Lebih jauh daripada itu adalah terciptanya masyarakat yang santun, berkepribadian luhur dan makmur, sejahtera serta bahagia.

Guru adalah salah satu komponen negara yang bertugas untuk dapat membentuk karakter bangsa melalui dunia pendidikan secara formal. Tantangan mulia ini menjadi bagian integral menuju tujuan pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional maupun amanat  UUD 1945 menjadi landasan konstitusional Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, langkah nyata meski kecil menuju perbaikan  lebih utama dari pada tidak berbuat apapun untuk perbaikan bangsa ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar