Perkembangan masyarakat Indonesia saat ini tampaknya sedang menuju perpecahan / disintegrasi. Luasnya wilayah dan beranekaragamnya perbedaan yang dimiliki masyarakat menjadi sebuah senjata untuk meraih kedaulatan, saat ini seolah menjadi bumerang. Masyarakat yang dahulu terkenal santun, ramah, tenggang rasa, tepo sliro dan menjunjung nilai – nilai kejujuran, kebersamaan (baca : gotong royong), kini seolah berubah menjadi sebuah komunitas yang hedonis, individualis, agresif, mudah marah, anarkhis dan sectarian. Hal ini tampak dari perangai masyarakat yang tercermin dalam berbagai peristiwa kerusuhan, penjarahan, bentrok antar kampung, perkelahian pelajar maupun tawuran antar mahasiswa, dan korupsi di segala lini.
Kita perlu mengingat dan mencoba
untuk merekonstruksi ulang Pidato Bung Karno yang disampaikan pada Hari Ulang
Tahun Kemerdekaan Indonesia ke 22. Dalam kesempatan tersebut Bung Karno
berpidato dengan semangat berapi – api “
….. dalam tahap awal, yang pertama-tama harus dibangun oleh
negara ini adalah karakternya, ya, Nation
Character Building, yaitu membangun bangsa dari
kemorosotan jaman kolonial untuk dijadikan bangsa “berjiwa” yang dapat dan
mampu menghadapi semua tantangan. Suatu bangsa yang merdeka dalam abad
20. Sesungguhnya, bahwa membangun suatu negara, membangun ekonomi, membangun teknik, membangun
pertahanan, adalah pertama-tama dan pada tahap utamanya membangun jiwa bangsa.
Bukankah demikian? Tentu saja keahlian perlu, namun keahlian saja tanpa
dilandasi jiwa yang besar, tidak akan mencapai tujuannya. Ini adalah sebab
mutlak diperlukannya Nation and
character Building.
Krisis
multidimensi dan keterpurukan bangsa, pada hakekatnya bersumber dari jati diri
dan kegagalan dalam mengembangkan pendidikan karakter bangsa. Dalam konteks
pendidikan formal di sekolah, salah satu penyebabnya karena pendidikan di
Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif dan
kurang memperhatikan aspek afektif, sehingga hanya tercetak generasi yang
pintar, tetapi tidak memiliki karakter yang dibutuhkan bangsa. Selain itu,
sistem pendidikan yang top-down, dengan menempatkan guru untuk
mentransfer bahan ajar ke subjek didik, dan subjek didik hanya menampung apa
yang disampaikan guru tanpa mencoba berpikir lebih jauh, minimal terjadi proses
seleksi secara kritis. Praktik pendidikan yang cenderung kognitif intelektualistik,
perlu direvitalisasi sebagai wahana pengembangan pendidikan karakter bangsa,
pembangunan kecerdasan, akhlak dan kepribadian peserta didik secara utuh sesuai
dengan tujuan pendidikan nasional.
Berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku,
bersifat, bertabiat, dan berwatak. Individu yang berkarakter baik atau unggul
adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama,
lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan
mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Dalam Undang - Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Naional
ditegaskan bahwa :
“Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Di lingkup institusi pendidikan, guru menjadi corong
sekaligus pelaku / praktisi dalam implementasi pendidikan karakter ini. Kemajuan
suatu bangsa sangat tergantung bagaimana karakter orang-orangnya, kemampuan
intelegensinya, keunggulan berpikir warganya, sinergi para pemimpinnya, dan
lain sebagainya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter
adalah penting dalam membangun moral dan kepribadian bangsa.
Buku
ini merupakan buah pikir dari guru / praktisi pendidikan yang prihatin terhadap
kondisi masyarakatnya (baca : siswa, khususnya) yang mengalami degradasi moral. Buku ini dipersembahkan
kepada semua pihak yang memiliki kepedulian terhadap gerakan membangun karakter
dan moral bangsa. Penulis mencoba berperan aktif memberi solusi khususnya dalam
merefleksikan inkulkasi moral dalam proses pembelajaran di kelas. Kajian ini
memberikan wawasan pada pembaca bagaimana menerapkan / melakukan implementasi
pembelajaran berbasis karakter. Ada 6 (enam)
pokok kajian yang harus diperhatikan dalam pendidikan karakter yaitu :
Perilaku
Sosial Agresif dalam Kajian Pendidikan Karakter berisi tentang factor penyebab agresifitas dalam
masyarakat, pemicu dan pengaruhnya dalam proses kehidupan social
kemasyarakatan, dilengkapi juga dengan jenis – jenis perilaku negative yang
bertentangan dengan prinsip – prinsip manusia berkarakter serta penyimpangan terhadap norma-norma atau nilai-nilai masyarakat (deviation).
Upaya pencegahan perlu menjadi perhatian bagi segenap pendidik agar siswanya
tidak terjerumus dalam pola perilaku agresfi dan negative juga diungkapkan
secara sistematis dan runtut sehingga mudah diimplementasikan dalam proses
pembelajaran.
Kedua, berisi
pembahasan mengenai Perilaku Sosial Positif dalam Kajian Pendidikan Karakter.
Kajian dalam bagian adalah mengenai nilai-nilai yang diharapkan
bukan sebagai pengetahuan saja (moral
knowing), namun menjadi sebuah sikap (moral
feeling) dan membentuk tindakan atau perilaku (moral action). Jenis – jenis perilaku positive dipaparkan secara
gamblang dalam bab ini. Sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Pusat Kurikulum
dan Perbukuan (Puskurbuk) dibahas juga tentang 18 jenis karakter positive yang
menjadi kompetensi karakter siswa yang harus dicapai dalam proses pembelajaran.
Pada konteks mikro pengembangan karakter berlangsung dalam konteks suatu satuan
pendidikan atau sekolah secara holistik (the
whole school reform). Sekolah sebagai leading
sector, berupaya memanfaatkan dan memberdayakan semua lingkungan belajar
yang ada untuk menginisiasi, memperbaiki, menguatkan, dan menyempurnakan secara
terus menerus proses pendidikan karakter di sekolah (school culture) dengan mengedepankan olah hati, olah rasa, olah
raga dan olah karsa. Pemberdayaan karakter positive secara habituasi dan
inkulkasi menjadi bagian penting untuk dikaji.
Ketiga, Pendidikan Moral Melalui
Pendekatan Kognitif. Para praktisi pendidikan selama ini terjebak dalam pembelajaran yang mengutamakan hasil belajar.
Hasil belajar seorang siswa bersifat evolutif (setapak demi setapak), proses
keterlibatan belajar siswa sekaligus telah mencerminkan arah serta kualitas
hasilnya, dan kecakapan memproses diri dalam belajarnya (adanya rencana kerja, disiplin
waktu, pilihan metodologis yang tepat, dan pendayagunaan fasilitas secara
efisien) juga merupakan hasil belajar siswa yang penting dan mendasar.
Perhatian yang berlebihan terhadap hasil belajar dan cenderung kurang meneliti
proses pencapaiannya, akan berakibat hadirnya manusia Indonesia yang hanya
cerdas secara pengetahuan, tetapi dengan pengetahuan yang tinggi tersebut
justru banyak yang terjebak bertindak di luar tatanan moral yang berlaku di
lingkungan masyarakat. Ranah kognitif mempunyai arti penting
dalam proses belajar siswa. Ranah kejiwaan yang berkedudukan pada otak ini,
dalam perspektif psikologi kognitif,
adalah sumber sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan lainnya, yakni ranah
afektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa). Tidak seperti organ tubuh lainnya,
organ otak sebagai pusat fungsi kognitif
bukan hanya menjadi penggerak aktivitas akal pikiran, melainkan juga pengontrol
perasaan dan perbuatan. Sekali kita kehilangan fungsi kognitif karena kerusakan
berat pada otak, martabat kita hanya beda sedikit dengan hewan. Tanpa ranah
kognitif, sulit dibayangkan seorang siswa dapat berfikir. Selanjutnya tanpa
kemampuan berfikir mustahil siswa tersebut dapat memahami dan meyakini faidah
materi-materi pelajaran yang disajikan kepadanya. Tanpa berfikir juga sulit
bagi siswa untuk menangkap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi
pelajaran yang ia pelajari.
Keempat, Pendekatan
Afektif dalam Pendidikan Nilai. Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan
nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap,
emosi dan nilai. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik
dalam berbagai tingkah laku, seperti perhatiannnya terhadap mata pelajaran,
kedisiplinannya dalam mengikuti di sekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu
lebih banyak mengenai pelajaran yang di terimanya, penghargaan atau rasa
hormatnya terhadap guru dan sebagainya. Dalam bagian ini juga dibahas tentang
instrument penilaian ranah afektif sehingga memudahkan para praktisi pendidikan
untuk mengadopsi format penilaian untuk diimplementasikan dalam proses
pembelajaran.
Kelima, Pendekatan
Komprehensif dalam Pendidikan Nilai. Pembahasan berupa pengertian dari
Pendekatan komprehensif yang digunakan dalam pendidikan nilai dan cakupannya
yang terdiri beberapa aspek (Darmiyati Zuchdi, 2012: 11) yaitu a), komprehensif harus nampak pada isi
pendidikan nilai yang meliputi semua permasalahan yang berkaitan dengan nilai
yang bersifat pribadi sampai pada pertanyaan etika secara umum. b), metode pendidikan nilai juga harus
komprehensif antara metode tradisional seperti inkulkasi (penanaman) nilai dan
pemberian teladan, juga metode kontemporer yang terdiri dari fasilitasi
pembuatan keputusan moral secara bertanggungjawab dan pengembangan keterampilan
hidup atau soft skill. c), pendidikan nilai sebaiknya terjadi
di dalam keseluruhan proses pendidikan baik di kelas, ekstrakurikuler,
bimbingan dan penyuluhan, dan semua aspek kehidupan. d), pendidikan nilai hendaknya terjadi di dalam kehidupan masyarakat,
sehingga orang tua, lembaga keagamaan, penegak hukum, polisi, organisasi
kemasyarakatan.
Keenam, Evaluasi Pendidikan Nilai. Evaluasi
pendidikan nilai dilakukan secara komprehensif dengan menggunakan instrument
evaluasi yang baik. Karena evaluasi pendidikan nilai/moral harus dapat
menggambarkan secara akurat, baik pemikiran/penalaran moral, afek moral
(hubungan dengan perasaan atau hati nurani), maupun perilaku moral (moral action), maka perlu dikembangkan
instrument evaluasi untuk ketiga ranah tersebut. Pengembangan ketiga jenis
instrument tersebut dapat didasarkan pada perkembangan penalaran moral oleh
Kohlberg. Maksud evaluasi belajar afektif adalah menempatkan seseorang atau
suatu kelompok pada beberapa titik rentang skala afektif (untuk pengukuran). Evaluasi
afektif harus terpisah dari evaluasi kognitif namun hasil evaluasi afektif
dapat dilaporkan bersama-sama dengan hasil evaluasi kognitif. Hasil evaluasi
afektif digunakan dalam membuat keputusan yang menyeluruh pada diri siswa.
Pendidikan karakter bukan sekedar
mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan
karakter menanamkan kebiasaan (habituation)
dan penanaman (inculcating) tentang
hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana
yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa
melakukannya (psikomotor). Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang
dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik
memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dengan
demikian apa yang dikumandangkan oleh Presiden Sukarno pada HUT RI ke 22 dapat
terwujud, dan Indonesia menjadi bangsa
yang besar dan berkarakter, mampu bersaing dengan bangsa – bangsa lain. Lebih
jauh daripada itu adalah terciptanya masyarakat yang santun, berkepribadian
luhur dan makmur, sejahtera serta bahagia.
Guru adalah salah satu komponen
negara yang bertugas untuk dapat membentuk karakter bangsa melalui dunia
pendidikan secara formal. Tantangan mulia ini menjadi bagian integral menuju
tujuan pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional maupun amanat UUD 1945 menjadi landasan konstitusional
Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, langkah nyata meski kecil menuju
perbaikan lebih utama dari pada tidak
berbuat apapun untuk perbaikan bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar