A.
Problematik
Karakter Siswa
Peran sekolah sebagai
lembaga pendidikan formal diharapkan dapat membawa dampak terhadap peningkatan
kualitas siswa. Dalam pasal 2 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas No. 20 Th. 2003) dijelaskan bahwa :
Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Dengan demikian
kualitas siswa tidak hanya dilihat dari aspek intlektual semata, akan tetapi
menyangkut ketiga aspek pendidikan, yaitu aspek kognitif yang berkaitan dengan
kecerdasan, aspek afektif berkaitan dengan sikap, dan perilaku atau karakter,
serta aspek psikomotor, berkaitan dengan kecakapan siswa.
Istilah karakter dalam Kamus
Bahasa
Indonesia (2008: 683) diartikan sebagai ”tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak,
atau budi pekerti yang membedakan seseorang
dengan
yang
lain.
Watak dapat dimaknai sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap
pikiran dan tingkah laku,
budi pekerti, serta tabiat dasar”. Menurut
Munir Abdullah (2010 : 3) Karakter adalah sebuah pola, baik itu aturan, sikap,
maupun tindakan yang melekat pada diri seseorang dengan kuat dan sulit dihilangkan.
Sedangkan Suyanto menerangkan karakter adalah cara berpikir dan berperilaku
yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup
keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara (Darmiyati Zuchdi, 2012 : 27).
Pembentukan
karakter seperti diungkapkan pakar Karakter dari UNY yaitu
Prof. Zamroni mencirikan nilai
keberagaman yang berimplikasi pada terbentuknya perilaku
menghormati dan menghargai orang lain / respect; keterbukaan dan
adil
/ fairness; serta kepedulian / caring.
(Mumpuniarti, 2012: 248-257),
Oleh karena itu, karakter yang dibudayakan di sekolah akan
melahirkan siswa-siswa yang cerdas, baik dari sisi intelektual dan emosional yang
dibuktikan dengan hasil belajarnya, implementasi sikap keseharian maupun
kemampuan skillnya. Lembaga pendidikan tidak
hanya sekedar menghasilkan lulusan yang berprestasi dari sisi nilai hasil ujian
yang tinggi (kompetensi), akan tetapi mampu melahirkan generasi baru yang berkarakter mulia
yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Generasi yang senantiasa mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam
norma yang berlaku ke dalam tingkah laku keseharian.
Untuk mewujudkan hal
tersebut maka lembaga pendidikan perlu mengembangkan kultur sekolah yang
memfasilitasi warga sekolah dapat mengimplementasikan karakter mulianya.
Pengembangan kultur sekolah memang sangat diperlukan karena kultur yang positif
merupakan lahan yang subur untuk menumbuhkan karakter mulia bagi warganya
(Darmiyati Zuchdi, 2012 : 3).
Saat ini perlu
diwaspadai atau perhatian khusus terhadap prediksi yang diberikan Thomas Lickona (1991: 51) akan terjadinya perilaku yang mengarah kepada
dekarakterisasi moral di masyarakat. Dekarakterisasi tersebut sebagai pertanda akan segera
datangnya kehancuran suatu bangsa yaitu: 1. Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, 2. Ketidakjujuran yang
membudaya, 3. Semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orangtua, guru, dan
figur pemimpin 4. Pengaruh peer group
terhadap tindakan kekerasan, 5. Meningkatnya kecurigaan dan kebencian, 6. Penggunaan
bahasa yang memburuk, 7. Penurunan etos
kerja, 8. Menurunnya rasa tanggungjawab individu dan warga negara, 9. Tingginya
perilaku merusak diri, dan 10. Semakin kaburnya pedoman moral.
Saat
ini prediksi tersebut telah terlihat nyata di hadapan kita. Terjadinya tawuran
yang melibatkan kaum berpendidikan (baca: pelajar
dan mahasiswa) yang mestinya mengedepankan sisi intelektualitasnya dalam
menyelesaikan problema bersama bukan ototnya yang diutamakan, pudarnya rasa
hormat kepada orang tua, siswa berani melukai secara fisik gurunya. Dekadensi moral di kalangan pelajar sungguh
meresahkan dan membuat keprihatinan banyak pihak, free sex merajalela, realita pelanggaran tata
krama di jalan seakan sudah menjadi tradisi, ketidakjujuran merajalela disegala
lini dan sendi kehidupan masyarakat ditunjukkan dengan banyak tersangka korupsi
dan pungli yang berhasil ditangkap oleh petugas berwajib akan tetapi ternyata
tidak mengurangi niat jahat bagi yang lain untuk berbuat yang sama. Perilaku
tersebut menunjukkan bahwa bangsa ini telah terbelit oleh rendahnya moral,
akhlak atau karakter (Darmiyati Zuchdi, 2012 : 1). Hal ini tentu menjadi
pekerjaan rumah yang harus segera dicari solusinya.
Penulis
berpikir bahwa untuk memutus mata rantai dekarakterisasi moral tersebut harus
dimulai dari dunia pendidikan. Sekolah selama ini belum bertindak proaktif
dalam penanaman budaya karakter mulia siswa karena sifatnya top-down. Oleh karena itu, sekolah sebagai garda terdepan pembentuk karakter
siswa sudah saatnya harus tampil optimal melalui program yang kreatif dengan
mengutamakan kearifan lokal untuk memberikan inkulkasi karakter mulia kepada
siswanya secara komprehensif (Darmiyati Zuchdi: 2012 : 35). Dengan demikian
setiap sekolah harus dapat dan mampu menggali potensi yang dimilikinya dalam mengembangkan
karakter mulia, sehingga setiap sekolah satu dengan lainnya mungkin mempunyai
program dan pendekatan yang berbeda dalam penanaman inkulkasi karakter mulia ini
karena disesuaikan dengan potensi diri, kearifan lokal serta stakeholdernya .
SMP
Negeri 7 mempunyai cara dan pendekatan yang unik, menarik akan tetapi mampu
mengajak siswa untuk membumikan dan membudayakan karakter mulianya karena cara
pendekatan tersebut dapat diaplikasikan secara nyata dalam peri pergaulan dan
kehidupan keseharian di sekolah.
Mensikapi prediksi Thomas Lickona tersebut, tentu
memunculkan perenungan kepada praktisi pendidikan untuk menemukan formula jitu secara
pragmatis untuk menanamkan pembentukan karakter mulia bagi siswa. Lembaga
pendidikan menjadi garda terdepan sebagai institusi resmi yang membentuk
karakter peserta didik guna mempersiapkan generasi masa depan Indonesia yang
jujur, sehingga Indonesia akan menjadi terbebas dari perilaku korup dari
pelaksana kenegaraannya di semua lini pemerintahan.
Karakter jujur yang dapat tersaji dalam kajian ini dan
telah diimplementasikan dalam keseharian di lingkungan sekolah sebagai berikut:
1.
Reward Bintang Prestasi
2.
Warung SMS Mandiri
3.
Kantin Kejujuran
Ketiga kegiatan ini terbukti telah memberikan dampak
positif bagi kehidupan keseharian siswa dan lingkungan sosial anak di sekolah.
Kejujuran menjadi prinsip utama dalam menjalani kehidupan di lembaga pendidikan
di SMP Negeri 7 Cilacap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar