PENDIDIKAN MORAL MELALUI
PENDEKATAN KOGNITIF
Oleh :
Sigit Kindarto, M.Pd.
Negara
Indonesia sekarang ini sedang mengalami krisis moral. Kondisi moral anak usia
sekolah dasar saat ini sangat rendah, contohnya antara lain berperilaku kasar,
acuh tak acuh pada pelajaran, bersikap seperti orang dewasa, tidak berkeinginan
turut melestarikan warisan kebudayaan daerahnya. Moral anak – anak yang
notabene adalah calon para penerus bangsa kini malah mulai tergerus oleh arus
jaman, maka memang tidak salah bila ada pepatah orang tua yang mengatakan “Jaman
saiki jaman edan” yang artinya jaman sekarang jaman orang bertindak
tanpa memperhitungkan moral, betapa tidak kini dengan mudah dijumpai anak –
anak yang sangat tidak mencerminkan perilaku moral yang baik dan terpuji.
Tindakan tersebut bukan hanya dicerminkan oleh para anak – anak remaja bahkan
sampai pada anak – anak usia sekolah dasar yaitu kisaran 7 – 12 tahun, usia
dimana tingkat kognisi anak sedang berkembang pesat dan sangat mudah menerima
segala bentuk pengetahuan baru secara utuh yang diberikan oleh segenap
lingkungannya, apabila lingkungannya mendukung pada pembentukan moral yang baik
maka akan terbentuk anak yang bermoral baik dan sebaliknya.
Pada
dasarnya pembentukan moral anak secara mendasar tergantung kepada orang – orang
yang ada di sekitarnya dan situasi lingkungan yang mendukung. Anak yang hidup
pada kondisi lingkungan yang membentuk kepribadian baik tentu akan menjadi baik
selama belum terkontaminasi dengan hal – hal yang buruk, begitu juga sebaliknya
ketika anak hidup pada kondisi lingkungan yang buruk tentu akan terbentuk
kepribadian yang buruk selama belum terkontaminasi dengan hal – hal yang baik
yang bisa mengubahnya.
Pranata
yang dapat membentuk kepribadian seorang anak adalah keluarga, masyarakat
(teman sebaya), sekolah, serta fasilitas di lingkungan mereka, keempat pranata
tersebut disebut faktor eksternal. Faktor internalnya yaitu bawaan dari anak
itu sendiri yaitu pewarisan sifat dari kedua orang tua mereka. Dalam hal ini
sekolah memiliki peran untuk membentuk kepribadian yang positif karena pranata
yang lain seperi keluarga, masyarakat, serta fasilitas yang ada di
lingkungannya belum tentu membentuk kepribadian yang positif bagi mereka atau
malah justru membentuk kepribadian yang negative.
Pelaksanaan pendidikan moral di
sekolah sangat berguna untuk membantu siswa mempertinggi tingkat pertimbangan,
pemikiran, dan penalaran moralnya agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari
– hari. Peserta didik adalah manusia dengan segala fitrahnya. Mereka mempunyai
perasaan dan pikiran serta keinginan atau aspirasi. Merka mempunyai kebutuhan
dasar yang perlu dipenuhi seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, kebutuhan
rasa aman, kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan, dan kebutuhan untuk mengaktualisasikan
dirinya (menjadi dirinya sendiri sesuai dengan potensinya)
Dalam tahap perkembangannya siswa
usia SMP berada pada tahap perkembangan yang sangat pesat, dari segala aspek. Periode
yang dimulai pada usia 12 tahun yaitu yang lebih kurang sama dengan usia SMP,
merupakan period of formal operation. Pada usia ini yang berkembang pada
siswa adalah kemampuan berfikir secara simbolis dan bisa memahami sesuatu
secara bermaka tanpa memerlukan objek yang visual. Siswa mulai memahami sesuatu
yang bersifat imajinatif.
Tahapan
kognitif ditandai dengan adanya gerakan-gerakan yang kaku dan lambat. Ini
terjadi karena siswa masih pada taraf belajar untuk mengendalikan
gerakan-gerakannya. Dia harus berfikir sebelum melakukan suatu gerakkan. Pada
tahap ini siswa sering membuat kesalahan dan kadang-kadang terjadi tingkat
frustasi yang tinggi.
Pendidikan
merupakan salah satu fasilitas kita sebagai manusia untuk merangsang dan
menstimulasi kemampuan kognitif kita dalam hal transfer ilmu baik yang kita
dapat secara formal maupun secara informal. Begitu besarnya peran kognitif kita
dalam perkembangan hidup yang akan datang. Maka, banyak cara yang dikembangkan
untuk mengoptimalkan kemampuan ini salah satunya adalah dengan melalui jalur
pendidikan formal yang menekankan bahwa fungsi-fungsi mental dapat berkembang
dengan baik jika kita melatihnya.
A.
Pendidikan Moral
Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menyatakan
bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab.
Jika
idealisasi dari UU itu benar-benar diterapkan dalam realita proses pendidikan,
maka tentu pendidikan akan mampu menghasilkan SDM yang tidak hanya terampil dan
cerdas, namun juga bermoral.
INPUT PROSES OUTPUT
Gambar 1.
Idealisasi Proses Pendidikan
Pada
kenyataannya saat ini kepekaan nurani anak bangsa ini justru sudah terabaikan (tergadai) seringkali terjadi praktik
penyimpangan moral : seperti kekerasan antar siswa (baca : tawuran), pelecehan seksual oleh oknum tertentu, anarkhisme
dan pelanggaran norma hukum secara kolektif, bahkan sebagian besar pelajar dan
masyarakat kita tercerabut dari peradaban eastenisasi
(ketimuran) yang beradab, santun dan beragama. Perilaku negatif ini
dipublikasikan oleh media massa elektronika maupun cetak dan dapat diakses
secara luas. Di sini terlihat masih adanya kontradiksi antara harapan dan
kenyataan yang sesungguhnya.
Menurut
Tilaar, dalam bukunya Manajemen
Pendidikan Nasional : Kajian Pendidikan Masa Depan (2001) menjelaskan
setidaknya ada 4 (empat) faktor penyebab munculnya berbagai penyimpangan moral,
yaitu :
1.
Media Massa membuat nilai permisif
barat secara intens semakin menjadi sebahasa. Ketika media massa membuat
pergaulan lintas kultur menjadi begitu
akrab, dunia semakin kecil dan imbas nilai rentan ditularkan dan diadobsi.
Ditambah hampanya nilai tradisional di sekolah yang hanya mengajar dan kurang
mendidik.
2.
Pergerakan Urbanisasi menggeser
nilai yang dipetik dari keluarga besar (dengan hadirnya kakek, nenek, paman dan
bibi) beralih ke nilai keluarga inti (nuclear
family). Anak dibesarkan pembantu dan kian terasing dari lingkungan
tradisi. Ketika sekolah sudah lupa melakukan tugas pembudayaan, dan
orangtua alpha akan tugas hakekatnya
maka anak akan tumbuh tidak tahu aturan, tidak tahu diri, liar jauh dari nilai
iman dan moral.
3.
Materalisme menjadi momok yang
nyata, jika cita-cita orang bersekolah ingin menjadi tujuan utama dalam mencari
kemakmuran ekonomi. Apalagi jika visi sekolah lebih condong pada pada sisi
ekonomi bukan moral, kian menyuburkan budaya konsumerisme. Menggapai tujuan
dengan menghalalkan segala cara menjadi sebuah kebutuhan, sehingga kebenaran menjadi
bias.
4.
Ketika sekolah berubah menjai pabrik
pendidikan. Orangtua menyerahkan pendidikan nilai kepada sekolah, padahal
sekolah cenderung lebih mengajar daripada mendidik. Dan tampaknya Indonesia
saat ini berada pada tepian keniscaayan akan etika dan moral ini.
Oleh karena
itu, pendidikan moral mutlak mendapatkan porsi yang tidak boleh ditunda
pelaksanaannya menjadi sebuah gerakan serentak, terpadu dan komprehensif untuk
segala lapisan jenjang pendidikan, tidak dapat diterapkan secara khusus parsial
/ berdiri sendiri (self suffeciency).
Pendidikan Moral mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, ketrampilan dan
perilaku yang baik, jujur dan penyayang (bermoral). Tujuan utama dari
pendidikan moral adalah menghasilkan individu yang otonom, yang memahami
nilai-nilai moral dan memiliki komitmen untuk bertindak konsisten dengan
nilai–nilai tersebut. Menurut Darmiyati Zuchdi (2010 : 43) pendidikan moral
mengandung beberapa komponen yaitu :
1.
Pengetahuan tentang moralitas
2.
Penalaran moral
3.
Perasaan kasihan
4.
Memperhatikan kepentingan orang lain
5.
Tendensi moral
Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran dalam setiap
aktivitasnya yang mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotoris, seperti
yang dikembangkan dalam Taksonomy Bloom, mestinya diperoleh siswa secara
berimbang, menyatu, dan optimal untuk memperkembangkan pribadi siswa secara
utuh serta dinamis, sehingga menuntut keterlibatan belajar siswa dengan
mendayagunakan semua potensi dirinya (kognitif, afektif,dan psikomotoris),
melalui cara-cara belajar yang benar (sesuai dengan tuntutan belajar
kemanusiaan serta keilmuan), dan bersifat intensif (bertujuan, terencana,
berdasar pertimbangan yang rasional) untuk dapat digunakan menanamkan
nilai-nilai moral.
Pembelajaran yang mengutamakan hasil belajar adalah
benar, tetapi perlu diingat bahwa hasil belajar bukan seperti produk pabrik
yang mekanisme (asal perangkat permesinannya beres, bahan bakunya standar,
tenaga penggerak mesinnya ada pasti menghasilkan jenis barang yang standar,
seperti yang diinginkan dalam rancangannya). Hasil belajar seseorang siswa
bersifat evolutif (setapak demi setapak), proses keterlibatan belajar siswa
sekaligus telah mencerminkan arah serta kualitas hasilnya, dan kecakapan
memproses diri dalam belajarnya (adanya rencana kerja, disiplin waktu, pilihan
metodologis yang tepat, dan pendayagunaan fasilitas secara efisien) juga
merupakan hasil belajar siswa yang penting dan mendasar. Perhatian yang
berlebihan terhadap hasil belajar dan cenderung kurang meneliti proses
pencapaiannya, akan berakibat hadirnya manusia Indonesia yang hanya cerdas
secara pengetahuan, tetapi dengan pengetahuan yang tinggi tersebut justru
banyak yang terjebak bertindak di luar tatanan moral yang berlaku di lingkungan
masyarakat.
Pendidikan Moral untuk kalangan pelajar di Indonesia pada
titik awalnya dapat didahului dengan menanamkan konsep moralitas yaitu
mengenalkan tradisi moral yang sudah dikembangkan di Indonesia yang berupa
tradisi politik dan tradisi hukum yang berlaku kemudian mengkritisnya. Mengenalkan
perilaku mana yang benar dan salah, kemudian merambah ke hal yang bersifat
abstrak.
B. Pendekatan Kognitif,
Istilah
“kognitif” berasal dari kata cognition
yang artinya sama dengan kata “knowing”
yang berarti mengetahui. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif
menjadi sangat populer sebagai salah satu domain atau wilayah psikologis
manusia yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengelolaan informasi
dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan
kehendak dan perasaan yang bertalian dengan ranah rasa.
Dalam
pandangan ahli kognitif, kognitif adalah tingkah laku
manusia yang tampak tidak dapat diukur / diterangkan tanpa melibatkan proses
mental, seperti motivasi, keyakinan, dan sebagainya. Belajar pada dasarnya
adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah)
meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir semua
aktivitas belajar siswa. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar
membaca dan menulis, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut
dan tangan) untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku
mengucapkan kata dan menggoreskan pena yang dilakukan tersebut bukan
semata-mata respons atas stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting karena
dorongan mental yang diatur oleh otak
Ranah kognitif mempunyai
arti penting dalam proses belajar siswa. Ranah kejiwaan yang berkedudukan pada
otak ini, dalam perspektif psikologi
kognitif, adalah sumber sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan lainnya,
yakni ranah afektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa). Tidak seperti organ
tubuh lainnya, organ otak sebagai pusat
fungsi kognitif bukan hanya menjadi penggerak aktivitas akal pikiran,
melainkan juga pengontrol perasaan dan perbuatan. Sekali kita kehilangan fungsi
kognitif karena kerusakan berat pada otak, martabat kita hanya beda sedikit
dengan hewan.
Tanpa ranah
kognitif, sulit dibayangkan seorang siswa dapat berfikir. Selanjutnya tanpa
kemampuan berfikir mustahil siswa tersebut dapat memahami dan meyakini faidah
materi-materi pelajaran yang disajikan kepadanya. Tanpa berfikir juga sulit
bagi siswa untuk menangkap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi
pelajaran yang ia pelajari.
Pendekatan
kognitif yang digunakan sebagai upaya penanaman / pengenalan pesan moral dalam
sebuah proses pembelajaran menanti peran aktif dari seorang guru. Menurut
Kohlberg sebagaimana dikutip oleh Darmiyati Zuhcdi (2010 : 58) peran guru dalam
pendidikan moral dapat digambarkan sebagai berikut :
![]() |
Gambar 2.
Peran Guru dalam pendekatan kognitif
Dalam kajian
ini peran guru sebagai pencipta konflik kognitif menempatkan pribadi guru sebagai seorang yang memberikan kebebasan kepada muridnya
untuk mencari solusi atas sebuah permasalahan sosial yang dihadapinya dengan
memilih pilihan sulit yang mempunyai implikasi lanjutan atas pilihan yang
sudah menjadi ketetapannya tersebut.
Oleh karena
itu fungsi guru dalam mengajar di dalam kelas harus mampu sebagai pengasuh,
model (pemberi teladan), dan mentor (Darmiyati Zuchdi, 2010 : 58). Sebagai
pengasuh, guru harus bisa mencintai dan menghargai murid-murid, menolong mereka
agar berhasil di sekolah, mengembangkan kesadaran akan harga dirinya,
memperlakukan murid secara bermoral sehingga mereka dapat merasakan dengan apa
yang dimaksud dengan moralitas.
Sebagai
seorang model guru harus mampu menunjukkan dirinya sebagai orang yang beretika,
menunjukkan orang yang perilaku rasa hormat, bertanggungjawab di setiap
kesempatan baik di dalam kelas maupun di luar kelas – (ingat dengan istilah Guru di gugu dan ditiru), juga dapat berperan
dengan memberikan perhatian terhadap peristiwa moralitas dan respon positif
terhadap setiap peristiwa yang bermakna bagi siswa. Sebagai seorang mentor,
guru dapat menyelenggarakan proses pembelajaran dan pembimbingan melalui
penjelasan, diskusi, bercerita, motivasi, dan koreksi terhadap perilaku siswa
yang melukai perasaan orang lain.
Untuk itu
guru perlu membuat paradigma pembelajaran untuk dapat membuat proses
pembelajaran yang mampu memperhatikan perkembangan moral anak. Paradigma
pembelajaran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
![]() |
Gambar 3.
Paradigma Guru dalam Pembelajaran Moral
Dalam
paradigma pengajaran moral ini guru terlebih dahulu harus mengerti dan sadar
diri terlebih dahulu mengenai persoalan – persoalan moral dan berubah sebelum
menghendaki perubahan terjadi pada diri muridnya, kemudian menyadari bahwa
selama interaksi yang terjadi banyak yang rdimensi moral untuk itu perlu
dibangun suasana yang kondusif demi terjalinnya situasi yang kondusif demi
perkembangan moral peserta didik.
C.
PENERAPAN PENDEKATAN KOGNITIF DALAM
KEPUTUSAN MORAL
Keputusan moral merupakan proses perkembangan kognisi secara alami
(Darmiyati Zuchdi, 2008:11). Konsep keputusan moral didasarkan pada teori
Kohlberg yang disebut cognitive-developmental
theory of moralization, yang berakar pada karya piaget.Kohlberg menggunakan
wawancara keputusan moral dimana subjek dihadapkan pada masalah dan memilih
diantara dua nilai untuk memecahkan masalah tersebut. Menurut kohlberg terdapat
enam tahap keputusan moral :
1. Tingkat I Prakonvensional
a.
Tahap
1 Moralitas heteronomi
b.
Tahap
2 Individualisme, tujuan instrumental dan pertukaran
2.
Tingkat
II Konvensional
a.
Tahap
3 Harapan bersama antar pribadi, hubungan dan persesuaian antar pribadi
b.
Tahap
4 sistem sosial dan suara hati nurani
3.
Tingkat
III Pasca Konvensional atau memiliki prinsip
a.
Tahap
5 Kontrak sosial atau hak milik dan hak individu
b.
Tahap
6 Prinsip-prinsip etis universal
(Darmiyati
Zuchdi, 2008:14-18)
Tiap orang berada pada tahap perkembangan
moral yang berbeda, sejauh mana tingkat kognisinya berkembang. Penerapan dalam
kegiatan belajar mengajar di kelas pendekatan kognitif melalui keputusan moral
ini dapat dilakukan dengan menghadapkan peserta didik pada sebuah dilema moral
kemudian mereka kita minta memilih diantara dua keputusan mana yang akan
diambil dengan menyertakan alasan mengapa memilih keputusan tersebut. Contoh
dilema moral :
Erlita adalah anak pintar dan
cerdas dikelasnya. Menjelang Ujian Nasional beberapa orang teman sekelasnya
yang tergolong anak nakal meminta Erlita membantu mereka memberikan jawaban
saat ujian nasional. Mereka mengancam akan menganiaya adik Erlita jika tidak
mau membantu mereka, melaporkan pada guru atau siapa saja. Erlita dihadapkan
pada dua pilihan sulit. Pertama jika dia membantu mereka maka dia sudah berbuat
curang dan membiarkan teman-temannya melakukan jalan yang salah dan itu dosa.
Kedua jika dia tidak membantu mereka dan melaporkan pada guru maka adiknya
taruhannya. Mereka bisa berbuat apa saja dengan uang yang mereka punya karena
Erlita tahu mereka anak-anak orang kaya. Mana yang harus dipilih erlita ?. Berdasarkan dilemma moral ini anak diminta apakah
memilih memberikan jawaban soal pada saat ujian atau tidak ?
D. KELEBIHAN
DAN KELEMAHAN PENDEKATAN KOGNITIF
Pendekatan kognitif dalam pengambilan keputusan moral
dapat merangsang perkembangan kognitif seseorang. Seseorang bisa mengambil keputusan diantara dua pilihan
menjadi pribadi yang lebih bijaksana dan tepat dalam berfikir. Namun terkadang
pilihan ini hanya meningkatkan pemikiran moral seseorang dan belum dapat
mencapai kesatuan antara pemikiran moral dan tindakan moral.
Penutup
Krisis moral yang dialami Bangsa
Indonesia, terutama pada generasi mudanya memerlukan pencegahan dan penanganan
yang tepat. Pelaksanaan pendidikan moral di sekolah sangat berguna untuk membantu
siswa mempertinggi tingkat pertimbangan, pemikiran, dan penalaran moralnya agar
dapat diterapkan dalam kehidupan sehari – hari. Pendidikan
moral mutlak mendapatkan porsi yang tidak boleh ditunda pelaksanaannya menjadi
sebuah gerakan serentak dan terpadu
untuk segala lapisan jenjang pendidikan dan tidak dapat
diterapkan secara khusus parsial / berdiri sendiri (self suffeciency).
Pendidikan merupakan salah satu
fasilitas kita sebagai manusia untuk merangsang dan menstimulasi kemampuan
kognitif kita dalam hal transfer ilmu baik yang kita dapat secara formal maupun secara
informal. Kegiatan
pembelajaran dalam setiap aktivitasnya yang mencakup aspek kognitif, afektif
dan psikomotoris, seperti yang dikembangkan dalam Taksonomy Bloom, mestinya
diperoleh siswa secara berimbang, menyatu, dan optimal untuk memperkembangkan
pribadi siswa secara utuh serta dinamis, sehingga menuntut keterlibatan belajar
siswa dengan mendayagunakan semua potensi dirinya (kognitif, afektif,dan
psikomotoris), melalui cara-cara belajar yang benar (sesuai dengan tuntutan
belajar kemanusiaan serta keilmuan), dan bersifat intensif (bertujuan,
terencana, berdasar pertimbangan yang rasional) untuk dapat digunakan
menanamkan nilai-nilai moral.
Salah
satu penerapan pendekatan kognitif dalam pendidikan moral adalah proses
Pendidikan Karakter Bangsa. Pendidikan Karakter
Bangsa di bangun dari komponen – komponen yang sangat penting, yang menjadi
pijakan terciptanya pendidikan yang sesuai dengan tujuan kurikulum dan cita –
cita bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar