SIGIT KINDARTO

"SELAMAT DATANG DI BLOG SANG OEMAR BAKRI"

Rabu, 26 Oktober 2016

Pendidikan Moral Melalui Pendekatan Kognitif


PENDIDIKAN MORAL MELALUI
PENDEKATAN KOGNITIF
Oleh :
Sigit Kindarto, M.Pd.

     Negara Indonesia sekarang ini sedang mengalami krisis moral. Kondisi moral anak usia sekolah dasar saat ini sangat rendah, contohnya antara lain berperilaku kasar, acuh tak acuh pada pelajaran, bersikap seperti orang dewasa, tidak berkeinginan turut melestarikan warisan kebudayaan daerahnya. Moral anak – anak yang notabene adalah calon para penerus bangsa kini malah mulai tergerus oleh arus jaman, maka memang tidak salah bila ada pepatah orang tua yang mengatakan “Jaman saiki jaman edan” yang artinya jaman sekarang  jaman orang bertindak tanpa memperhitungkan moral, betapa tidak kini dengan mudah dijumpai anak – anak yang sangat tidak mencerminkan perilaku moral yang baik dan terpuji. Tindakan tersebut bukan hanya dicerminkan oleh para anak – anak remaja bahkan sampai pada anak – anak usia sekolah dasar yaitu kisaran 7 – 12 tahun, usia dimana tingkat kognisi anak sedang berkembang pesat dan sangat mudah menerima segala bentuk pengetahuan baru secara utuh yang diberikan oleh segenap lingkungannya, apabila lingkungannya mendukung pada pembentukan moral yang baik maka akan terbentuk anak yang bermoral baik dan sebaliknya.
     Pada dasarnya pembentukan moral anak secara mendasar tergantung kepada orang – orang yang ada di sekitarnya dan situasi lingkungan yang mendukung. Anak yang hidup pada kondisi lingkungan yang membentuk kepribadian baik tentu akan menjadi baik selama belum terkontaminasi dengan hal – hal yang buruk, begitu juga sebaliknya ketika anak hidup pada kondisi lingkungan yang buruk tentu akan terbentuk kepribadian yang buruk selama belum terkontaminasi dengan hal – hal yang baik yang bisa mengubahnya.
     Pranata yang dapat membentuk kepribadian seorang anak adalah keluarga, masyarakat (teman sebaya), sekolah, serta fasilitas di lingkungan mereka, keempat pranata tersebut disebut faktor eksternal. Faktor internalnya yaitu bawaan dari anak itu sendiri yaitu pewarisan sifat dari kedua orang tua mereka. Dalam hal ini sekolah memiliki peran untuk membentuk kepribadian yang positif karena pranata yang lain seperi keluarga, masyarakat, serta fasilitas yang ada di lingkungannya belum tentu membentuk kepribadian yang positif bagi mereka atau malah justru membentuk kepribadian yang negative.
Pelaksanaan pendidikan moral di sekolah sangat berguna untuk membantu siswa mempertinggi tingkat pertimbangan, pemikiran, dan penalaran moralnya agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari – hari. Peserta didik adalah manusia dengan segala fitrahnya. Mereka mempunyai perasaan dan pikiran serta keinginan atau aspirasi. Merka mempunyai kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan, dan kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya (menjadi dirinya sendiri sesuai dengan potensinya)
Dalam tahap perkembangannya siswa usia SMP berada pada tahap perkembangan yang sangat pesat, dari segala aspek. Periode yang dimulai pada usia 12 tahun yaitu yang lebih kurang sama dengan usia SMP, merupakan period of formal operation. Pada usia ini yang berkembang pada siswa adalah kemampuan berfikir secara simbolis dan bisa memahami sesuatu secara bermaka tanpa memerlukan objek yang visual. Siswa mulai memahami sesuatu yang bersifat imajinatif.
     Tahapan kognitif ditandai dengan adanya gerakan-gerakan yang kaku dan lambat. Ini terjadi karena siswa masih pada taraf belajar untuk mengendalikan gerakan-gerakannya. Dia harus berfikir sebelum melakukan suatu gerakkan. Pada tahap ini siswa sering membuat kesalahan dan kadang-kadang terjadi tingkat frustasi yang tinggi.
     Pendidikan merupakan salah satu fasilitas kita sebagai manusia untuk merangsang dan menstimulasi kemampuan kognitif kita dalam hal transfer ilmu baik yang kita dapat secara formal maupun secara informal. Begitu besarnya peran kognitif kita dalam perkembangan hidup yang akan datang. Maka, banyak cara yang dikembangkan untuk mengoptimalkan kemampuan ini salah satunya adalah dengan melalui jalur pendidikan formal yang menekankan bahwa fungsi-fungsi mental dapat berkembang dengan baik jika kita melatihnya.
A.       Pendidikan Moral
     Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
     Jika idealisasi dari UU itu benar-benar diterapkan dalam realita proses pendidikan, maka tentu pendidikan akan mampu menghasilkan SDM yang tidak hanya terampil dan cerdas, namun juga bermoral.


       INPUT                      PROSES                       OUTPUT


Gambar 1. Idealisasi Proses Pendidikan

     Pada kenyataannya saat ini kepekaan nurani anak bangsa ini justru sudah terabaikan (tergadai) seringkali terjadi praktik penyimpangan moral : seperti kekerasan antar siswa (baca : tawuran), pelecehan seksual oleh oknum tertentu, anarkhisme dan pelanggaran norma hukum secara kolektif, bahkan sebagian besar pelajar dan masyarakat kita tercerabut dari peradaban eastenisasi (ketimuran) yang beradab, santun dan beragama. Perilaku negatif ini dipublikasikan oleh media massa elektronika maupun cetak dan dapat diakses secara luas. Di sini terlihat masih adanya kontradiksi antara harapan dan kenyataan yang sesungguhnya.
     Menurut Tilaar, dalam bukunya Manajemen Pendidikan Nasional : Kajian Pendidikan Masa Depan (2001) menjelaskan setidaknya ada 4 (empat) faktor penyebab munculnya berbagai penyimpangan moral, yaitu :
1.   Media Massa membuat nilai permisif barat secara intens semakin menjadi sebahasa. Ketika media massa membuat pergaulan lintas kultur  menjadi begitu akrab, dunia semakin kecil dan imbas nilai rentan ditularkan dan diadobsi. Ditambah hampanya nilai tradisional di sekolah yang hanya mengajar dan kurang mendidik.
2.   Pergerakan Urbanisasi menggeser nilai yang dipetik dari keluarga besar (dengan hadirnya kakek, nenek, paman dan bibi) beralih ke nilai keluarga inti (nuclear family). Anak dibesarkan pembantu dan kian terasing dari lingkungan tradisi. Ketika sekolah sudah lupa melakukan tugas pembudayaan, dan orangtua  alpha akan tugas hakekatnya maka anak akan tumbuh tidak tahu aturan, tidak tahu diri, liar jauh dari nilai iman dan moral.
3.   Materalisme menjadi momok yang nyata, jika cita-cita orang bersekolah ingin menjadi tujuan utama dalam mencari kemakmuran ekonomi. Apalagi jika visi sekolah lebih condong pada pada sisi ekonomi bukan moral, kian menyuburkan budaya konsumerisme. Menggapai tujuan dengan menghalalkan segala cara menjadi sebuah kebutuhan, sehingga kebenaran menjadi bias.
4.   Ketika sekolah berubah menjai pabrik pendidikan. Orangtua menyerahkan pendidikan nilai kepada sekolah, padahal sekolah cenderung lebih mengajar daripada mendidik. Dan tampaknya Indonesia saat ini berada pada tepian keniscaayan akan etika dan moral ini.
     Oleh karena itu, pendidikan moral mutlak mendapatkan porsi yang tidak boleh ditunda pelaksanaannya menjadi sebuah gerakan serentak, terpadu dan komprehensif untuk segala lapisan jenjang pendidikan, tidak dapat diterapkan secara khusus parsial / berdiri sendiri (self suffeciency). Pendidikan Moral mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, ketrampilan dan perilaku yang baik, jujur dan penyayang (bermoral). Tujuan utama dari pendidikan moral adalah menghasilkan individu yang otonom, yang memahami nilai-nilai moral dan memiliki komitmen untuk bertindak konsisten dengan nilai–nilai tersebut. Menurut Darmiyati Zuchdi (2010 : 43) pendidikan moral mengandung beberapa komponen yaitu :
1.        Pengetahuan tentang moralitas
2.        Penalaran moral
3.        Perasaan kasihan
4.        Memperhatikan kepentingan orang lain
5.        Tendensi moral
     Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran dalam setiap aktivitasnya yang mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotoris, seperti yang dikembangkan dalam Taksonomy Bloom, mestinya diperoleh siswa secara berimbang, menyatu, dan optimal untuk memperkembangkan pribadi siswa secara utuh serta dinamis, sehingga menuntut keterlibatan belajar siswa dengan mendayagunakan semua potensi dirinya (kognitif, afektif,dan psikomotoris), melalui cara-cara belajar yang benar (sesuai dengan tuntutan belajar kemanusiaan serta keilmuan), dan bersifat intensif (bertujuan, terencana, berdasar pertimbangan yang rasional) untuk dapat digunakan menanamkan nilai-nilai moral.
     Pembelajaran yang mengutamakan hasil belajar adalah benar, tetapi perlu diingat bahwa hasil belajar bukan seperti produk pabrik yang mekanisme (asal perangkat permesinannya beres, bahan bakunya standar, tenaga penggerak mesinnya ada pasti menghasilkan jenis barang yang standar, seperti yang diinginkan dalam rancangannya). Hasil belajar seseorang siswa bersifat evolutif (setapak demi setapak), proses keterlibatan belajar siswa sekaligus telah mencerminkan arah serta kualitas hasilnya, dan kecakapan memproses diri dalam belajarnya (adanya rencana kerja, disiplin waktu, pilihan metodologis yang tepat, dan pendayagunaan fasilitas secara efisien) juga merupakan hasil belajar siswa yang penting dan mendasar. Perhatian yang berlebihan terhadap hasil belajar dan cenderung kurang meneliti proses pencapaiannya, akan berakibat hadirnya manusia Indonesia yang hanya cerdas secara pengetahuan, tetapi dengan pengetahuan yang tinggi tersebut justru banyak yang terjebak bertindak di luar tatanan moral yang berlaku di lingkungan masyarakat.
     Pendidikan Moral untuk kalangan pelajar di Indonesia pada titik awalnya dapat didahului dengan menanamkan konsep moralitas yaitu mengenalkan tradisi moral yang sudah dikembangkan di Indonesia yang berupa tradisi politik dan tradisi hukum yang berlaku kemudian mengkritisnya. Mengenalkan perilaku mana yang benar dan salah, kemudian merambah ke hal yang bersifat abstrak.

B.     Pendekatan Kognitif,
     Istilah “kognitif” berasal dari kata cognition yang artinya sama dengan kata “knowing” yang berarti mengetahui. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi sangat populer sebagai salah satu domain atau wilayah psikologis manusia yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengelolaan informasi dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan kehendak dan perasaan yang bertalian dengan ranah rasa.
     Dalam pandangan ahli kognitif, kognitif adalah tingkah laku manusia yang tampak tidak dapat diukur / diterangkan tanpa melibatkan proses mental, seperti motivasi, keyakinan, dan sebagainya. Belajar pada dasarnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir semua aktivitas belajar siswa. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata dan menggoreskan pena yang dilakukan tersebut bukan semata-mata respons atas stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otak
     Ranah kognitif mempunyai arti penting dalam proses belajar siswa. Ranah kejiwaan yang berkedudukan pada otak ini, dalam perspektif  psikologi kognitif, adalah sumber sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan lainnya, yakni ranah afektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa). Tidak seperti organ tubuh lainnya, organ otak sebagai pusat  fungsi kognitif bukan hanya menjadi penggerak aktivitas akal pikiran, melainkan juga pengontrol perasaan dan perbuatan. Sekali kita kehilangan fungsi kognitif karena kerusakan berat pada otak, martabat kita hanya beda sedikit dengan hewan.
     Tanpa ranah kognitif, sulit dibayangkan seorang siswa dapat berfikir. Selanjutnya tanpa kemampuan berfikir mustahil siswa tersebut dapat memahami dan meyakini faidah materi-materi pelajaran yang disajikan kepadanya. Tanpa berfikir juga sulit bagi siswa untuk menangkap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran yang ia pelajari.
     Pendekatan kognitif yang digunakan sebagai upaya penanaman / pengenalan pesan moral dalam sebuah proses pembelajaran menanti peran aktif dari seorang guru. Menurut Kohlberg sebagaimana dikutip oleh Darmiyati Zuhcdi (2010 : 58) peran guru dalam pendidikan moral dapat digambarkan sebagai berikut :
 







Gambar 2. Peran Guru dalam pendekatan kognitif

     Dalam kajian ini peran guru sebagai pencipta konflik kognitif  menempatkan pribadi guru sebagai seorang  yang memberikan kebebasan kepada muridnya untuk mencari solusi atas sebuah permasalahan sosial yang dihadapinya dengan memilih pilihan sulit yang mempunyai implikasi lanjutan atas pilihan yang sudah  menjadi ketetapannya tersebut.
     Oleh karena itu fungsi guru dalam mengajar di dalam kelas harus mampu sebagai pengasuh, model (pemberi teladan), dan mentor (Darmiyati Zuchdi, 2010 : 58). Sebagai pengasuh, guru harus bisa mencintai dan menghargai murid-murid, menolong mereka agar berhasil di sekolah, mengembangkan kesadaran akan harga dirinya, memperlakukan murid secara bermoral sehingga mereka dapat merasakan dengan apa yang dimaksud dengan moralitas.
     Sebagai seorang model guru harus mampu menunjukkan dirinya sebagai orang yang beretika, menunjukkan orang yang perilaku rasa hormat, bertanggungjawab di setiap kesempatan baik di dalam kelas maupun di luar kelas – (ingat dengan istilah Guru di gugu dan ditiru), juga dapat berperan dengan memberikan perhatian terhadap peristiwa moralitas dan respon positif terhadap setiap peristiwa yang bermakna bagi siswa. Sebagai seorang mentor, guru dapat menyelenggarakan proses pembelajaran dan pembimbingan melalui penjelasan, diskusi, bercerita, motivasi, dan koreksi terhadap perilaku siswa yang melukai perasaan orang lain.
     Untuk itu guru perlu membuat paradigma pembelajaran untuk dapat membuat proses pembelajaran yang mampu memperhatikan perkembangan moral anak. Paradigma pembelajaran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

 










Gambar 3. Paradigma Guru dalam Pembelajaran Moral

     Dalam paradigma pengajaran moral ini guru terlebih dahulu harus mengerti dan sadar diri terlebih dahulu mengenai persoalan – persoalan moral dan berubah sebelum menghendaki perubahan terjadi pada diri muridnya, kemudian menyadari bahwa selama interaksi yang terjadi banyak yang rdimensi moral untuk itu perlu dibangun suasana yang kondusif demi terjalinnya situasi yang kondusif demi perkembangan moral peserta didik.

C.       PENERAPAN PENDEKATAN KOGNITIF DALAM KEPUTUSAN MORAL

Keputusan moral merupakan proses perkembangan kognisi secara alami (Darmiyati Zuchdi, 2008:11). Konsep keputusan moral didasarkan pada teori Kohlberg yang disebut cognitive-developmental theory of moralization, yang berakar pada karya piaget.Kohlberg menggunakan wawancara keputusan moral dimana subjek dihadapkan pada masalah dan memilih diantara dua nilai untuk memecahkan masalah tersebut. Menurut kohlberg terdapat enam tahap keputusan moral :
1.      Tingkat I Prakonvensional
a.       Tahap 1 Moralitas heteronomi
b.      Tahap 2 Individualisme, tujuan instrumental dan pertukaran
2.      Tingkat II Konvensional
a.       Tahap 3 Harapan bersama antar pribadi, hubungan dan persesuaian antar pribadi
b.      Tahap 4 sistem sosial dan suara hati nurani
3.      Tingkat III Pasca Konvensional atau memiliki prinsip
a.       Tahap 5 Kontrak sosial atau hak milik dan hak individu
b.      Tahap 6 Prinsip-prinsip etis universal
(Darmiyati Zuchdi, 2008:14-18)
     Tiap orang berada pada tahap perkembangan moral yang berbeda, sejauh mana tingkat kognisinya berkembang. Penerapan dalam kegiatan belajar mengajar di kelas pendekatan kognitif melalui keputusan moral ini dapat dilakukan dengan menghadapkan peserta didik pada sebuah dilema moral kemudian mereka kita minta memilih diantara dua keputusan mana yang akan diambil dengan menyertakan alasan mengapa memilih keputusan tersebut. Contoh dilema moral :
Erlita adalah anak pintar dan cerdas dikelasnya. Menjelang Ujian Nasional beberapa orang teman sekelasnya yang tergolong anak nakal meminta Erlita membantu mereka memberikan jawaban saat ujian nasional. Mereka mengancam akan menganiaya adik Erlita jika tidak mau membantu mereka, melaporkan pada guru atau siapa saja. Erlita dihadapkan pada dua pilihan sulit. Pertama jika dia membantu mereka maka dia sudah berbuat curang dan membiarkan teman-temannya melakukan jalan yang salah dan itu dosa. Kedua jika dia tidak membantu mereka dan melaporkan pada guru maka adiknya taruhannya. Mereka bisa berbuat apa saja dengan uang yang mereka punya karena Erlita tahu mereka anak-anak orang kaya. Mana yang harus dipilih erlita ?. Berdasarkan dilemma moral ini anak diminta apakah memilih memberikan jawaban soal pada saat ujian atau tidak ?

D.    KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PENDEKATAN KOGNITIF
Pendekatan kognitif dalam pengambilan keputusan moral dapat merangsang perkembangan kognitif seseorang. Seseorang  bisa mengambil keputusan diantara dua pilihan menjadi pribadi yang lebih bijaksana dan tepat dalam berfikir. Namun terkadang pilihan ini hanya meningkatkan pemikiran moral seseorang dan belum dapat mencapai kesatuan antara pemikiran moral dan tindakan moral.
Penutup
     Krisis moral yang dialami Bangsa Indonesia, terutama pada generasi mudanya memerlukan pencegahan dan penanganan yang tepat. Pelaksanaan pendidikan moral di sekolah sangat berguna untuk membantu siswa mempertinggi tingkat pertimbangan, pemikiran, dan penalaran moralnya agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari – hari. Pendidikan moral mutlak mendapatkan porsi yang tidak boleh ditunda pelaksanaannya menjadi sebuah gerakan serentak dan terpadu untuk segala lapisan jenjang pendidikan dan tidak dapat diterapkan secara khusus parsial / berdiri sendiri (self suffeciency).
    Pendidikan merupakan salah satu fasilitas kita sebagai manusia untuk merangsang dan menstimulasi kemampuan kognitif kita dalam hal transfer ilmu baik  yang kita dapat secara formal maupun secara informal. Kegiatan pembelajaran dalam setiap aktivitasnya yang mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotoris, seperti yang dikembangkan dalam Taksonomy Bloom, mestinya diperoleh siswa secara berimbang, menyatu, dan optimal untuk memperkembangkan pribadi siswa secara utuh serta dinamis, sehingga menuntut keterlibatan belajar siswa dengan mendayagunakan semua potensi dirinya (kognitif, afektif,dan psikomotoris), melalui cara-cara belajar yang benar (sesuai dengan tuntutan belajar kemanusiaan serta keilmuan), dan bersifat intensif (bertujuan, terencana, berdasar pertimbangan yang rasional) untuk dapat digunakan menanamkan nilai-nilai moral.
     Salah satu penerapan pendekatan kognitif dalam pendidikan moral adalah proses Pendidikan Karakter Bangsa. Pendidikan Karakter Bangsa di bangun dari komponen – komponen yang sangat penting, yang menjadi pijakan terciptanya pendidikan yang sesuai dengan tujuan kurikulum dan cita – cita bangsa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar