SIGIT KINDARTO

"SELAMAT DATANG DI BLOG SANG OEMAR BAKRI"

Kamis, 05 Agustus 2021

~ CONTEXTUAL TEACHING LEARNING ~

Sigit Kindarto, S.Pd., M.Pd.
Guru SMP Negeri 7 Cilacap
Fasda (Fasilitator Daerah) Pembelajaran Tanoto Foundation
Kabupaten Cilacap


a.     
Pengertian Pembelajaran Kontekstual

Pendidikan masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber belajar, dan ceramah menjadi pilihan utama strategi belajar, guru jarang diobservasi dalam pembelajarannya untuk memberikan umpan balik dalam pembelajaran. Keberhasilan pembelajaran tergantung dari hubungan kerja yang dinamis antar pihak yang terlibat (Battersby & Gordon, 2006: 123). Kondisi ini berakibat siswa belum dapat menghubungkan apa yang mereka pelajari dan memanfaatkan pengetahuan tersebut dalam kehidupannya (Gafur, 2003: 274).

Saat ini muncul pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna  jika siswa mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Dan itulah yang terjadi di kelas-kelas sekolah. Oleh karena itu, perlu pendekatan alteratif dalam proses pembelajaran yang tidak menempatkan siswa hanya menghafal fakta-fakta, tetapi mendorong siswa untuk mengkonstruksikan dan mengaitkan pengetahuan hasil yang dipelajari dalam kehidupan nyata. Pendekatan ini adalah Pembelajaran Kontekstual atau dalam istilah asingnya Contextual Teaching and Learning.

Crawford, A. et.al (2005: 1) memberikan definisi Pembelajaran kontekstual adalah “Learning fully and usefully means that students can think about what they learn, apply it in real situations or toward further learning, and can continue to learn independently” maksudnya adalah pembelajaran dengan penuh makna dan menyenangkan, siswa dapat mengetahui apa yang dipelajarinya serta dapat mengimplemantasikan pada situasi nyata selanjutnya dapat meneruskannya belajar secara mandiri.

Johnson (2002: 19) mengartikan Contextual Teaching and Learning (CTL) sebagai berikut :

…an educational process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying by connecting academic subjects with the context of their daily lives, that is, with context their personal, sosial, and cultural circumstance. To achive  this aim, the system encompasses the following eight component: making meaningful connection, doing significant work, self-regulated learning, collaborating, critical and creative thingking, nurctturing the individual, REACThing high standard, using authentic assessment.

Maksudnya CTL memungkinkan siswa menghubungkan isi mata pelajaran dengan kondisi personal, sosial, budaya dalam kehidupan sehari-hari untuk menemukan makna. CTL, melalui delapan komponen memperluas konteks pribadi siswa lebih lanjut yaitu melalui 1) membuat hubungan yang bermakna, 2) melakukan pekerjaan yang signifikan, 3) belajar mandiri, 4) bekerja sama, 5) berfikir kritis dan kreatif, 6) memelihara individu, 7) mencapai standar yang tinggi, 8) menggunakan penilaian autentik. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan  Stringer, Cristenshen, & Baldwin, (2010:94) bahwa:

Learning as a process of inquiry, exploration, or investigation therefore is based on the assumption that children have a natural capacity to learn, and that our task is not to merely provide a body of knowledge, but to ask questions or provide other stimuli that will set their minds working and engage them in active and playful processes of discovery.

 

Pembelajaran proses menemukan, eksplorasi  atau investigasi walaupun  berbasis pada asumsi yang dimiliki siswa sesuai dengan kapasistas alamiahnya, dan tugas kita bukan untuk memberikan ilmu, melainkan memberikan pertanyaan atau dukungan lainyang dapat membangkitkan etos kerja serta membangkitkan aktivitas dan berperan penuh dalam proses diskoveri/penemuan.

Pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses pendidikan yang holistic dan bertujuan membentuk siswa untuk memahami makna materi yang dipelajarinya dengan mengaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan dari satu permasalahan/konteks ke permasalahan yang lain.

Majid (2011: 25) berpendapat bahwa belajar akan lebih bermakna jika anak “mengalami” sendiri apa yang dipelajarinya. Pembelajaran yang berorientasi pada target penguasaan materi terbukti dalam kompetensi “pengingat” jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali kompetensi kehidupan jangka panjang. Komalasari (2013: 13) berpendapat bahwa pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang menerapkan konsep keterkaitan (relating), konsep pengalaman langsung (experiencing), konsep aplikasi (applying), konsep kerjasama (cooperating), konsep pengaturan diri (self-regulating), dan konsep penilaian autentik (autenthic assessment). Ini berarti konsep belajar yang mengaitkan materi dan membuat hubungan pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan. Slameto (2002:40) menyatakan bahwa kontekstual adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk bereksperimen, bereksplorasi  dan menentukan kajian untuk distimulasikan, menceritakan berdialog, atau tanya jawab) kejadian pada dunia nyata kehidupan sehari-hari yang dialami siswa kemudian diangkat ke dalam konsep yang dibahas.

Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan CTL, diharapkan hasil pembelajaran lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, serta melakukan konstruksi pengetahuan bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing. Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus dipahami:

 Pertama, Pembelajaran Kontekstual (CTL) menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi. Artinya, proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks Pembelajaran Kontekstual tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, tetapi yang diutamakan adalah proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.

Kedua, Pembelajaran Kontekstual (CTL) mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. Artinya, siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan dapat mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, materi yang dipelajarinya itu akan bermakna secara fungsional dan tertanam erat dalam memori siswa sehingga tidak akan mudah terlupakan.

Ketiga, Pembelajaran Kontekstual (CTL) mendorong siswa untuk dapat menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan. Artinya, Pembelajaran Kontekstual tidak hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, tetapi bagaimana materi itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks Pembelajaran Kontekstual (CTL) tidak untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, tetapi sebagai bekal bagi mereka dalam kehidupan nyata.

Terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan Kontekstual:

1)        Dalam Pembelajaran Kontekstual (CTL) pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activing knowledge). Artinya, apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari. Dengan demikian, pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.

2)        Pembelajaran yang kontekstual adalah pembelajaran dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge).  Pengetahuan baru itu dapat diperoleh dengan cara deduktif. Artinya, pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan kemudian memperhatikan detailnya.

3)        Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) berarti pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal, melainkan untuk dipahami dan diyakini.

4)        Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge). Artinya, pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

5)        Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi pembelajaran dengan pendekatan konsektual memberikan penekanan pada penggunaan berpikir tingkat tinggi, transfer pengetahuan, permodelan, informasi dan data dari berbagai sumber.

Pembelajaran kontekstual dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan pembelajaran yang mengakui dan menunjukkan kondisi alamiah pengetahuan. Melalui hubungan di dalam dan di luar ruang kelas, suatu pendekatan pembelajaran kontekstual menjadikan pengalaman lebih relevan dan berarti bagi siswa dalam membangun pengetahuan yang akan mereka terapkan dalam pembelajaran seumur hidup. Pembelajaran kontekstual menyajikan suatu konsep yang mengaitkan materi pelajaran yang dipelajari siswa dengan konteks materi tersebut digunakan, serta hubungan bagaimana seseorang belajar atau cara siswa belajar. 

Kegiatan pembelajaran dilaksanakan sebagai upaya untuk membuat belajar lebih mudah, sederhana, bermakna dan menyenangkan agar siswa mudah menerima ide, gagasan, mudah memahami permasalahan dan pengetahuan serta dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan barunya secara aktif, kreatif dan produktif. Untuk mencapai usaha tersebut segala komponen pembelajaran harus dipertimbangkan termasuk pendekatan kontekstual.

Selain itu pembelajaran kontekstual merupakan suatu konsep tentang pembelajaran yang membantu guru-guru untuk menghubungkan isi bahan ajar dengan situasi-situasi dunia nyata serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga, warga negara, dan pekerja serta terlibat aktif dalam kegiatan belajar mengajar yang dituntut dalam pelajaran. Tugas guru dalam kelas kontekstual adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan suatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Pendekatan kontekstual ini perlu diterapkan mengingat bahwa selama ini pendidikan masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihapalkan. Dalam hal ini fungsi dan peranan guru masih dominan sehingga siswa menjadi pasif dan tidak kreatif. Melalui pendekatan kontekstual ini siswa diharapkan belajar dengan cara mengalami sendiri bukan menghapal.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual ini merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat yang percaya diri, kreatif (creative thinking), responsif, interaktif dan kritis (critical thinking)

 

b.      Komponen Pembelajaran Kontekstual

Ada tujuh komponen pembelajaran kontekatual yang harus dikembangkan oleh guru dalam proses pembelajaran ini yaitu :

1)      Konstruktivisme (Constructivism)

Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Kontuktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) dalam CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat (Rusman, 2012: 193).

Manusia harus membangun pengetahuan ini memberi makna melalui pengalaman yang nyata. Batasan konstruksivisme tersebut memberikan penekanan bahwa konsep bukanlah tidak penting sebagai bagian integral dari pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa, akan tetapi bagaimana dari setiap konsep atau pengetahuan yang dimiliki siswa itu dapat memberikan pedoman nyata terhadap siswa untuk idaktualisasikan dalam kondisi nyata.

2)      Menemukan ( inquiry )

Inquiry adalah proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis (Sanjaya, 2008: 191). Menemukan, merupakan kegiatan inti dari CTL, melalui upaya menemukan akan memberikan penegasan bahwa pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan bukan merupakan hasil dari mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi merupakan hasil menemukan sendiri.

3)      Bertanya (Questioning)

Unsur lain yang menjadi karekteristik utama CTL, adalah kemampuan dan kebiasaan untuk bertanya. Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Oleh karena itu, bertanya merupakan strategi utama dalam CTL. Penerapan unsur bertanya dalam CTL harus difasilitasi oleh guru, kebiasaan siswa untuk bertanya atau kemampuan dalam menggunakan pertanyaan yang baik akan mendorong pada peningkatan kualitas dan produktivitas pembelajaran (Rusman, 2012: 195). Melalui penerapan bertanya, pembelajaran akan lebih hidup, akan mendorong proses dan hasil pembelajaran yang lebih luas dan mendalam dan akan banyak ditemukan unsur-unsur terkait yang sebelumnya tidak terpikirkan baik oleh guru maupun siswa. Oleh karena itu, proses bertanya perlu dikembangkan karena: a) Dapat menggali informasi, baik administrasi maupun akademik, b)  Mengecek pemahaman siswa, c) Membangkitkan respon siswa, d) Mengetahui sejauhmana keingintahuan siswa, e) Mengetahui hal-hal yang diketahui siswa, f) Memfokuskan perhatian siswa, g) Membangkitkan lebih banyak pertanyaan dari siswa, h) Menyegarkan kembali pengetahuan yang telah dimiliki siswa.

4)      Masyarakat Belajar ( Learning Community )

Maksud dari masyarakat belajar adalah membiasakan siswa untuk melakukan kerja sama dan memanfaatkan sumber belajar dari teman-teman belajarnya (Rusman, 2012: 196). Seperti yang disarankan dalam learning community, bahwa hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain melalui berbagai pengalaman (sharing). Melalui sharing ini anak dibiasakan untuk saling memberi dan menerima, sifat ketergantungan yang positif dalam learning community dikembangkan. Kebiasaan penerapan dan mengembangkan masyarakat belajar dalam CTL tidak hanya dengan teman di kelas tetapi juga dengan masyarakat di luar kelas. Siswa dibimbing dan diarahkan untuk mengembangkan rasa ingin tahunya melalui pemanfaatan sumber belajar secara luas yang tidak hanya disekat oleh masyarakat di kelas tetapi. dengan keluarga dan masyarakat sehingga siswa mendapat pengalaman dari komunitas lain

5)      Pemodelan (Modelling)

Yang dimaksud dengan modelling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa (Darmiyati Zuchdi,  2010: 58). Modelling merupakan komponen yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui moelling siswa dapat terhindar dari pmbelajaran yang teoretis–abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme.

6)      Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru terjadi atau baru saja dipelajari. Dengan kata lain refleksi adalah berpikir ke belakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu, siswa mengedepankan apa yang baru dipelajarinya sebagai stuktur pengetahuan yang baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Pada saat refleksi menurut Zuchdi, (2011: 222) siswa diberi kesempatan untuk menghubungkan kehidupannya dengan materi pembelajaran yang diterimanya, merenung atau mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya kemudian apa yang akan diperbuatnya untuk masa yang akan datang untuk berubah menjadi lebih baik.

7)      Penilaian Otentik (Authentic Assessment)

Tahap terakhir dari pembelajaran kontekstual adalah melakukan penilaian. Penilaian sebagai bagian integral dari pembelajaran memiliki fungsi yang amat menentukan untuk mendapatkan informasi kualitas proses dan hasil pembelajaran melalui penerapan CTL yaitu kesesuaian antara tujuan, proses pembelajaran dan assesmen (Anderson, Lorin & Kratwohl, 2010: 14). Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data dan informasi yang bisa memberikan gambaran atau petunjuk terhadap pengalaman belajar siswa. Dengan terkumpulnya berbagai data dan informasi yang lengkap sebagai perwujudan dari penerapan penilaian, maka akan semakin akurat pula pemahaman guru terhadap proses dan hasil pengalaman belajar setiap siswa.

Reformasi pembelajaran mesti menempatkan guru sebagai person yang terbuka dan mengajar untuk keperluan kecerdasan eksperimental (kecerdasan ilmiah) sebagaimana diterapkan pada pemecahan masalah-masalah pribadi mapun sosial, dan bukan dilaksanakan demi memenangkan dogma tertentu (Dananjaya, 2012: 13).

Komalasari (2013: 18-19) menyampaikan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara pendekatan pembelajaran CTL dengan pembelajaran konvensional perbedaan tersebut mengacu ke berbagai segi pendekatan maupun ranah penempatan objek pembelajaran.  sebagaimana terdapat dalam tabel di bawah ini:

Tabel 2.

Perbedaan Pendekatan CTL dengan Konvensional

No

Pendekatan CTL

Pendekatan Konvensional

1

Siswa aktif dalam pembelajaran

Siswa adalah penerima informasi secara pasif

2

Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi

Siswa belajar secara individual

3

Pembelajaran dikaitkan dengan dunia nyata dan atau masalah yang disimulasikan

Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis

4

Perilaku dibangun atas kesadaran diri

Perilaku dibangun atas kebiasaaan

5

Ketrampilan dibangun atas dasar pemahaman

Ketrampilan dibangun atas dasar latihan

6

Hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasaan diri

Hadiah untuk perilaku baik adalah pujian atau nilai raport

7

Seseorang tidak melakukan yang jelek karena sadar hal itu keliru dan merugikan

Seseorang tidak melakukan yang jelek karena takut hukuman

8

Bahasa diajarkan dengan pendekatan komunikatif yakni siswa diajak menggunakan bahasa dalam konteks nyata

Bahasa diajarkan dengan pendekatan structural rumus diterangkan sampai paham, kemudian dilatih (drill)

9

Pemahaman rumus dikembangkan atas skemata yang sudah ada dalam diri siswa

Rumus itu ada di luar siswa, yang harus diterangkan, diterima, dihafalkan dan dilatihkan

10

Pemahaman rumus itu relative berbeda antara siswa satu dengan yang lain sesuai dengan skemata siswa

Rumus adalah kebenaran abslout (sama untuk semua orang). Hanya ada dua kemungkinan yaitu pemahaman rumus yang benar atau salah

11

Siswa menggunakan kemampuan

berpikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran efektif dan membawa skemata masing-masing ke dalam proses pembelajaran.

Siswa secara pasif menerima rumus atau kaidah (membaca, mendengarkan, mencatat, menghafal) tanpa memberikan kontribusi ide dalam proses pembelajaran.

12

Pengetahuan yang dimiliki manusia dikembangkan oleh manusia itu sendiri

Pengetahuan adalah penangkapan terhadap serangkaian fakta, konsep, atau hukum yang berada di luar diri manusia.

13

Karena ilmu pengetahuan itu dikembangkan oleh manusia itu sendiri, sementara manusia selalu mengalami peristiwa baru maka pengetahuan itu tidak pernah stabil, selalu berkembang.

Kebenaran bersifat absolut dan pengetahuan bersifat final.

14

Siswa diminta bertanggungjawab, memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masingmasing.

Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran.

15

Penghargaan terhadap pengalaman siswa sangat diutamakan.

Pembelajaran tidak memperhatikan pengalaman siswa.

16

Hasil belajar diukur dengan berbagai cara: proses bekerja, hasil karya, penampilan, rekaman, tes,dll

Hasil belajar diukur dengan tes.

17

Pembelajaran terjadi diberbagai tempat, konteks, dan setting.

Pembelajaran hanya terjadi dalam kelas.

18

Penyesalan adalah hukuman dari perilaku jelek.

Sanksi adalah hukuman dari perilaku jelek.

Sumber: Komalasasi, 2013: 18-19

 

c.       Prinsip Desain Pembelajaran Kontekstual

Menyampaikan pembelajaran pada hakikatnya merupakan kegiatan menyampaikan pesan kepada siswa oleh nara sumber dengan menggunakan bahan, alat, teknik dan lingkungan tertentu. Agar penyampaian tersebut efektif, perlu diperhatikan beberapa prinsip (Gafur, 2003: 19-22) yakni:

1)      Kesiapan dan Motivasi (Readiness and Motivation)

Prinsip ini menyatakan bahwa jika dalam menyampaikan pesan pembelajaran siswa siap dan memiliki motivasi tinggi hasilnya akan lebih  baik. Siap di sini mempunyai arti siap pengetahuan prasyarat, siap mental, dan siap fisik. Jika pengetahuan, keterampilan dan sikap prasyarat untuk mempelajari suatu komponen belum terpenuhi perlu diadakan pembekalan atau matrikulasi.

Motivasi adalah dorongan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, termasuk melakukan kegiatan belajar. Dorongan dimaksud dapat berasal dari dalam atau luar siswa. Teknik yang dapat digunakan untuk membangkitkan motivasi salah satunya adalah menunjukkan kegunaan dan pentingnya materi tersebut dipelajari serta kerugian jika tidak mempelajari, manfaat dan relevansinya untuk waktu sekarang dan akan dating untuk bekerja di masyarakat.

2)      Penggunaan Alat Pemusat Perhatian (Attention Directing Devices)

Prinsip ini menyatakan bahwa jika dalam penyampaian pesan digunakan alat pemusat perhatian, hasil belajar akan meningkat. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa perhatian adalah terpusatnya mental terhadap sebuah objek memegang peranan penting terhadap keberhasilan belajar. Semakin memperhatikan semakin berhasil, semakin tidak memperhatikan semakin gagal. Apabila perhatian sukar untuk dikonsentrasikan maka perlu alat pengendali perhatian berupa media gambar, ilustrasi, bagan, warna, kecerdasan, film dan lain-lain.

3)      Partisipasi Aktif Siswa (Student’s Active Participant)

Partisipasi aktif siswa meliputi aktivitas mental (memikirkan jawaban, merenungkan, menjawab, membayangkan, merasakan) dan aktivitas fisik terdiri atas: a) Aktivitas visual seperti membaca, menulis, melakukan percobaan dan demonstrasi. b) Aktivitas lisan seperti bercerita, membaca sajak, tanya jawab, diskusi dan menyanyi. c) Aktivitas mendengarkan seperti mendengar penjelasan guru, mendengarkan ceramah, pengarahan. d) Aktivitas gerak seperti senam, atletik, menari, melukis. e) Aktivitas menulis seperti mengarang, membuat makalah dan membuat surat. Jadi setiap aktivitas baik mental atau fisik yang perlu diperhatikan agar siswa dapat terlibat aktif dalam kegiatan ini.

4)      Pengulangan (Repetition)

Prinsip ini memberikan arahan agar dalam penyampaian pesan pembelajaran diulang-ulang maka hasil belajar akan lebih baik. Pengulangan dilakukan dengan cara dan media yang sama maupun dengan cara dan media yang berbeda. Pengulangan dapat dilakukan dengan tinjauan selintas awal pada memulai pelajaran dan ringkasan atau kesimpulan pada akhir pelajaran atau tinjauan selintas akhir.

5)      Umpan Balik (Feedback)

Umpan balik adalah informasi yang diberikan kepada siswa mengenai kemajuan belajarnya. Jika salah diberikan pembetulan (corrective feedback) dan jika betul diberikan konfirmasi atau penguatan (confirmative feedback). Siswa akan menjadi mantap jika jawaban btul kemudian dibetulkan. Sebaliknya siswa akan tahu dimana letak kesalahannya jika jawaban salah diberi  tahu kesalahannya kemudian dibetulkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar