SIGIT KINDARTO

"SELAMAT DATANG DI BLOG SANG OEMAR BAKRI"

Sabtu, 28 Agustus 2021

BERATNYA PERJUANGAN DIPLOMASI

Sigit  Kindarto, S.Pd., M.Pd.
Guru SMP Negeri 7 Cilacap
Aktivis Literasi Tulis di Kabupaten Ciacap

Menyerahnya militer jepang kepada pada tanggal 15 Agustus 1945 telah menimbulkan suatu kekosongan kekuasaan di daerah pendudukan yang tidak dapat segera diisi oleh pihak Inggris, sebagai wakil dari negara-negara Sekutu yang menang dalam Perang Dunia II, atau Belanda yang berkeinginan untuk melaksanakan kembali sistem kolonialismenya di Indonesia. Keadaan tersebut mendorong para pejuang di Indonesia, khususnya pemuda, agar Indonesia segera memproklamasikan kemerdekaannya.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan berdirinya Negara Indonesia yang berdaulat. Keberanian Soekarno dan Mohammad Hatta mendapat dukungan luas dari rakyat Indonesia, tetapi tidak mendapatkan pengakuan dari masyarakat internasional (Harold Crouch, 1986). Masalah itu dimungkinkan, karena Belanda yang tergabung dalam Sekutu masih diakui kekuasaannya di Indonesia. Dengan demikian ketika Inggris di tugaskan Sekutu untuk melucuti pasukan Jepang, maka langkah tersebut memperlancar kembalinya pemerintahan Belanda di Indonesia. Para pemimpin Indonesia memprotes kembalinya pasukan Belanda, tetapi bangsa Indonesia tidak mempunyai kesanggupan dan kekuatan militer untuk mencegahnya.

Enam minggu setelah proklamasi kemerdekaan pemerintah Indonesia membentuk tentara reguler, yaitu Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tentara baru tersebut semula merupakan kesatuan setempat yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia dan terbentuk secara spontan setelah mendengar berita menyerahnya pemerintah pendudukan Jepang. Tentara Keamanan Rakyat dalam mempersenjatai diri merebut senjata dari pasukan Jepang. Kekuatan utama TKR adalah para pemuda yang telah memasuki organisasi Pembela Tanah Air (PETA). Selain PETA, TKR juga merekrut mantan perwira muda yang telah mendapatkan latihan kemiliteran pada Akademi Militer Belanda dengan tingkat profesionalisme yang jauh lebih tinggi apabila di bandingkan dengan pasukan yang berasal dari PETA, tetapi jumlahnya sangat sedikit.

Dilihat dari komposisi dan kualitasnya maka tentara Indonesia bukan merupakan lawan yang setingkat dengan pasukan Inggris dan pasukan Belanda didalam perang konvensional. Meski tentara Indonesia melakukan perlawanan ketika pasukan Inggris mendarat di kawasan Indonesia pada akhir tahun 1945 tetapi pada akhirnya pasukan Inggris dan pasukan Belanda dapat menguasai kota-kota utama di Indonesia. Hal ini dikarenakan pasukan Belanda dipimpin oleh perwira-perwira profesional terlatih dan berpengalaman mengomandokan pasukan sedangkan pasukan Indonesia tidak lebih dari kumpulan-kumpulan pemuda setempat dengan latihan-latihan yang terbatas, tidak mempunyai pengalaman bertempur, persenjataan yang dimiliki sedikit dan jauh dari bersatu. Meski lemahnya pengalaman dan persenjataan serta kemampuan yang dimiliki oleh tentara Indonesia ternyata pasukan Belanda tidak mampu menghapuskan eksistensi Republik Indonesia (K.M.L. Tobing, 1987). Sebaliknya justru menumbuhkan tingkat kesadaran untuk berjuang menegakkan dan mempertahankan Negara Republik Indonesia yang baru diproklamasikan tersebut.

Pertanda utama dari tahun-tahun pertama revolusi Indonesia dari pertengahan 1946 sampai dengan akhir tahun 1948 adalah tekanan yang semakin meningkat yang dilancarkan oleh pihak Belanda terhadap pemerintah Indonesia. Keadaan tersebut telah mendorong upaya untuk mengubah strategi perjuangan Republik Indonesia dari konflik-konflik militer ke usaha penyelesaian secara diplomasi dalam rangka melaksanakan sistem dekolonisasi dan mempertahankan kemerdekaan di Indonesia.

Perundingan-perundingan diplomatik Indonesia dan Belanda secara formal dimulai sejak 1946 dengan melalui perantaraan Inggris kemudian Amerika Serikat. Dalam setiap perundingan sesungguhnya Belanda telah mengakui Republik Indonesia secara de facto (R.Z. Leirissa, 1992). Disepakati bersama bahwa Belanda mengakui kedaulatan penuh Republik Indonesia setelah suatu masa tertentu, tetapi kapan hal tersebut akan direalisasikan adalah suatu masalah yang selalu menghambat. Meski anggota delegasi Belanda dan Indonesia dapat mencapai kesepakatan atau persetujuan mengenai berbagai soal, tetapi pihak-pihak yang beroposisi baik yang ada di Indonesia atau di Negari Belanda selalu mengajukan berbagai keberatan terhadap hasil kesepakatan tersebut beserta implementasinya.

Dengan demikian, realisasi dari hasil kesepakatan dalam perundingan tersebut selalu terhambat, sehingga kembali terjadi konflik-konflik bersenjata antara Indonesia dengan pihak Belanda. Baru setelah adanya pelaksanaan agresi militer Belanda yang ke I dengan sasaran utama diarahkan kepada wilayah Republik Indonesia de facto, masalah pertikaian Indonesia dengan Belanda dimasukkan dalam agenda resmi persidangan di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hal ini membawa keuntungan bagi Republik Indonesia dalam upayanya untuk mencari dukungan pengakuan dari negara-negara di dunia. Sementara itu situasi militer Indonesia semakin menyulitkan posisi Belanda dengan sistem gerilyanya. Keadaan tersebut dimanfaatkan oleh kaum politisi Indonesia untuk memberikan tekanan yang semakin intensif kepada Belanda di meja perundingan supaya meluluskan tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh pihak Republik Indonesia yakni melepaskan pemerintahan masa peralihan dan akhirnya mengakui serta menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949. Meski dalam pengakuan dan penyerahan kedaulatan tersebut kedudukan Negara Republik Indonesia hanya merupakan bagian dari Republik Indonesia Serikat tetapi sebenarnya bentuk RIS tersebut bukan tujuan utama dari perjuangan rakyat Indonesia karena hal tersebut bertentangan dengan cita-cita negara yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, melainkan hanya sebagai taktik untuk memperoleh pengakuan kedaulatan secara penuh dari Belanda dan setelah itu terpenuhi akan kembali kepada maksud perjuangan semula yaitu negara kesatuan. Sebab Belanda sudah tidak mempunyai kewenangan untuk mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Seperti yang tercantum dalam Piagam Pemindahan Kedaulatan yang menyebutkan Negara Belanda tidak akan menuntut syarat apa-apa dan memindahkan kedaulatan Indonesia yang penuh kepada Republik Indonesia Serikat dan mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat (George Mc. Kahin, 1980). Oleh karena itu tidak perlu heran jika usia dari Negara Republik Indonesia Serikat tersebut hanya delapan bulan dari waktu penyerahan kedaulatan, sebab pada tanggal 17 Agustus 1950 Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan.

Keberhasilan perjuangan politik diplomasi memberikan konstribusi yang besar dalam rangka menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia meski hal tersebut ditunjang pula oleh perjuangan bersenjata, karena antara keduanya adalah saling melengkapi, bahkan oleh K.M.L. Tobing (1986) dikatakan bahwa perjuangan di meja perundingan (diplomasi) itu lebih berat apabila dibandingkan dengan perjuangan fisik yang dilakukan di garis terdepan dalam front pertempuran.

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar