SIGIT KINDARTO

"SELAMAT DATANG DI BLOG SANG OEMAR BAKRI"

Sabtu, 03 November 2012

Ilmu Pengtahuan sebagai Respon terhadap Realitas


Manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna lagi paripurna, kesempurnaannya tampak pada kecakapan dalam menghadapi pelbagai bentuk permasalahan hidup yang merupakan manifestasi dari kesucian fitrah insaniyah yang dianugrahkan oleh Allah kepadanya, dan keparipurnaannya tampak pada kemampuannya menganalisa setiap permasalahan guna mendapatkan jalan keluar yang akurat tanpa menimbulkan problematika yang lebih parah dari sebelumnya, keparipurnaan ini merupakan bentuk manifestasi hikmah ‘aqliyyah yang menjadi bagian utama terbentuknya makhluk Tuhan yang teristimewa diantara seluruh makhluk yang tercipta di bumi.
Kemampuan berpikir atau daya nalar manusialah yang menyebabkannya mampu mengembangkan pengetahuan. Dia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, yang indah dan yang jelek. Secara terus menerus manusia diberikan berbagai pilihan. Dalam melakukan pilihan ini manusia berpegang pada pengetahuan. Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama, yaitu: pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua,  kemampuan berfikir menurut suatu kerangka berfikir tertentu.
Kedua faktor diatas sangat berkaitan erat. Terkadang sebagian manusia begitu sulit untuk mengkomunikasikan informasi, pengetahuan dan segala yang ingin dikomunikasikannya. Hal ini salah satunya dikarenakan tidak terstrukturnya kerangka fikir. Kerangka fikir akan terstruktur ketika obyek dari apa yang ingin dikomunikasikan jelas. Begitupun ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan diperoleh dari pengalaman (emperi) dan dari akal (ratio). Sehingga timbul faham atau aliran yang disebut empirisme dan rasionalisme (Mikhael Dua : 2011). Aliran empirisme yaitu faham yang menyusun teorinya berdasarkan pada empiri atau pengalaman. Tokoh-tokoh aliran ini misalnya David Hume (1711-1776), John Locke (1632-1704), Berkley.
Sedang rasionalisme menyusun teorinya berdasarkan ratio. Tokoh-tokoh aliran ini misalya Spinoza, Rene Descartes. Metode yang digunakan aliran emperisme adalah induksi, sedang rasionalisme menggunakan metode deduksi. Immanuel Kant adalah tokoh yang mensintesakan faham empirisme dan rasionalisme.
Ilmu pengetahuan, diperoleh dari pemecahan suatu masalah keilmuan atau kehidupan / kebutuhan manusia. Tidak ada masalah, berarti tidak ada solusi. Tidak ada solusi berarti tidak memperoleh metode yang tepat dalam memecahkan masalah. Ada metode berarti ada sistematika ilmiah. Permasalahan merupakan obyek dari ilmu pengetahuan. Permasalahan apa yang coba dipecahkan atau yang menjadi pokok bahasan, itulah yang disebut obyek. Dalam arti lain, obyek dimaknai sebagai sesuatu yang merupakan bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan lahir sebagai jawaban atas berbagai problema yang dihadapi oleh manusia untuk dicarikan solusi sebagai hakikat dari lahirnya ilmu pengetahuan.
Seseorang yang ingin menemukan pengetahuan, maka sebagai langka awal dia terlebih dahulu harus mempelajari teori-teori pengetahuan dalam perkembangan pengetahuan. Karena itu, usaha yang harus dia lakukan pertama kali  adalah  menegaskan tujuan pengetahuan, sebab pengetahauan tidak akan mengalami perkembangan dan perubahan apabila tujuan dari pengetahuan tersebut tidak diketahui dan dipahami. Karena pada prinsipnya ilmu  adalah usaha untuk menginterpretasikan gejala-gejala atau fenomena – fenomena alami dengan mencoba mencari penjelasan tentang berbagai kejadian, artinya fenomena ini baik berupa pengamatan empiric maupun penalaran rasio memerlukan teori sebagai landasan keterpahaman sesuatu yang disebut sebagai ilmu pengetahuan.
Manusia dalam Menemukan Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan yang berkembang dewasa ini melahirkan berbagai hasil diantaranya dibidang teknologi yang bisa membantu manusia dalam menjalankan kehidupannya. Pengetahuan dapat diperoleh kebenarannya dari dua pendekatan, yaitu pendekatan ilmiah dan non-ilmiah.
1)      Penemuan Kebenaran Melalui Penelitian Ilmiah
Cara mencari kebenaran yang dipandang ilmiah ialah yang dilakukan melalui penelitian. Penelitian adalah penyaluran hasrat ingin tahu pada manusia dalam taraf keilmuan. Penyaluran sampai pada taraf setinggi ini disertai oleh keyakinan bahwa ada sebab bagi setiap akibat, dan bahwa setiap gejala yang tampak dapat dicari penjelasannya secara ilmiah. Pada setiap penelitian ilmiah melekat ciri-ciri umum, yaitu pelaksanaannya yang metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang logis dan koheren. Artinya dituntut adanya sistem dalam metode maupun hasilnya. Jadi susunannya logis. Ciri lainnya adalah universalitas. Setiap penelitian ilmiah harus objektif, artinya terpimpin oleh objek dan tidak mengalami distorsi karena adanya pelbagai prasangka subjektif. Agar penelitian ilmiah dapat dapat dijamin objektivitasnya, tuntutan intersubjektivitas perlu dipenuhi. Penelitian ilmiah juga harus diverifikasi oleh semua peneliti yang relevan. Prosedur penelitian harus terbuka untuk diperiksa oleh ilmuwan yang lain. Oleh karena itu, penelitian ilmiah harus dapat dikomunikasikan.
2). Pada pendekatan non ilmiah ada beberapa pendekatan yakni intuisi, akal sehat, prasangka, penemuan dan coba-coba dan pikiran kritis.
a)    Intuisi
Intuisi adalah penilaian terhadap suatu pengetahuan yang cukup cepat dan berjalan dengan sendirinya. Biasanya didapat dengan cepat tanpa melalui proses yang panjang tanpa disadari. Dalam pendekatan ini tidak terdapat hal yang sistemik
b)        Penemuan Secara Spekulatif
Cara ini mirip dengan cara coba dan ralat. Akan tetapi, perbedaannya dengan coba dan ralat memang ada. Seseorang yang menghadapi suatu masalah yang harus dipecahkan pada penemuan secara spekulatif, mungkin sejumlah alternatif pemecahan. Kemudian ia mungkin memilih satu alternatif pemecahan, sekalipun ia tidak yakin benar mengenai keberhasilannya.
c)         Otoritas atau Kewibawaan
Pendapat orang-orang yang memiliki kewibawaan, misalnya orang-orang yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan sering diterima sebagai kebenaran meskipun pendapat itu tidak didasarkan pada pembuktian ilmiah. Pendapat itu tidak berarti tidak ada gunanya. Pendapat itu tetap berguna, terutama dalam merangsang usaha penemuan baru bagi orang-orang yang menyangsikannya. Namun demikian ada kalanya pendapat itu ternyata tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian pendapat pemegang otoritas itu bukanlah pendapat yang berasal dari penelitian, melainkan hanya berdasarkan pemikiran yang diwarnai oleh subjektivitas.
d)   Akal sehat
adalah serangkaian konsep dan bagian konseptual yang memuaskan untuk penggunaan praktis bagi kemanusiaan (Conant dalam Kerlinger (1973, h. 3). Konsep merupakan kata yang dinyatakan abstrak dan dapat digeneralisasikan kepada hal-hal yang khusus. Akal sehat ini dapat menunjukan hal yang benar, walaupun disisi lainnya dapat pula menyesatkan. Manusia diberikan kelebihan dari makhluk lainnya berupa akal yang bisa digunakan salah satunya untuk memecahkan persoalan-persoalan kehidupan.
Dalam psikologi, dikenal konsep diri dari Freud (Jalaluddin Rakhmat, 1985) menyebut sebagai “id”, “ego”, dan “super-ego”. “Id” adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu dalam agama) dan hasrat-hasrat yang mengandung dua instik : libido (konstruktif) dan thanatos (destruktif dan agresif). “Ego” adalah penyelaras antara “id” dan realitas dunia luar. “Super-ego” adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani, Adib (2009:244). Dalam agama, ada sisi destruktif manusia, yaitu sisi angkara murka (hawa nafsu).
Jika kita mampu mengendalikan ketiga unsur yang ada dalam diri kita diatas dengan menggunakan akal sehat yang dalam artian yaitu akal yang dibarengi dengan melibatkan hati nurani. Kita bisa mengambil contoh  penemuan berbagai alat-alat rumah tangga elektronik yang dapat memudahkan para Ibu-ibu dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Penemuan ini tidak saja berdampak pada perubahan dalam pola kerja yang dilakukan oleh ibu rumah tangga, namun juga berdampak pada berubahnya pola perilaku dalam masyarakat yang cendrung suka yang praktis dan lebih bersifat materialistik. Segi hubungan masyarakat dalam interaksi sehari-hari juga menjadi berubah diantaranya lebih individualistik dan kurang bersosialisasi dengan masyarkat sekitarnya.
e)         Prasangka
Pengetahuan yang dicapai secara akal sehat biasanya diikuti dengan kepentingan orang yang melakukannya kemudian membuat orang mengumumkan hal yang khusus menjadi terlalu luas. Dan menyebabkan akal sehat ini berubah menjadi sebuah prasangka.
f)         Penemuan Coba -  Ccoba (Trial and Error)
Pengetahuan yang ditemukan dengan pendekatan ini tidak terkontrol dan tidak pasti. Diawali dengan usaha coba-coba atau dapat dikatakan trial and error. Dilakukan dengan tidak kesengajaan yang menghasilkan sebuah pengetahuan dan setiap cara pemecahan masalahnya tidak selalu sama. Sebagai contoh seorang anak yang mencoba meraba-raba dinding kemudian tidak sengaja menekan saklar lampu dan lampu itu menyala kemudian anak tersebut terperangah akan hal yang ditemukannya. Dan anak tersebut pun mengulangi hal yang tadi ia lakukan hingga ia mendapatkan jawaban yang pasti akan hal tersebut.
g)        Berpikir Kritis dan Rasional
Telah banyak kebenaran yang dicapai oleh manusia sebagai hasil upayanya menggunakan kemampuan berpikirnya. Dalam menghadapi masalah, manusia berusaha menganalisisnya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki sampai pada pemecahan yang tepat. Cara berpikir yang ditempuh pada tingkat permulaan dalam memecahkan adalah dengan cara berpikir analitis dan cara berpikir sintesis.

Perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekarbercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan. Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.
Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.
Respon manusia terhadap Problema Kehidupan
Interaksi antara ilmu pengetahuan dengan proses kehidupan  manusia maupun makhluk lainnya telah melahirkan pemikiran dan penemuan - penemuan baru sebagai  respon atas berbagai problema yang menghinggapi kehidupan manusia. Kemampuan berpikir manusia yang dibarengi dengan kecerdikan menemukan solusi atas berbagai persoalan hidup dan kehidupan memicu kreativitas yang melahirkan ilmu / penemuan pengetahuan baru, sehingga ilmu pengetahuan semakin berkembang.
Pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik. Kenyataan sosial adalah hasil (eksternalisasi) dari internalisasi dan obyektivasi manusia terhadap pengetahuan – dalam kehidupan sehari-sehari. Atau, secara sederhana, eksternalisasi dipengaruhi oleh stock of knowledge (cadangan pengetahuan) yang dimilikinya. Cadangan sosial pengetahuan adalah akumulasi dari common sense knowledge (pengetahuan akal-sehat). Common sense adalah pengetahuan yang dimiliki individu bersama individu-individu lainnya dalam kegiatan rutin yang normal, dan sudah jelas dengan sendirinya, dalam kehidupan sehari-hari (Berger dan Luckmann, 1990: 34).
Kemampuan manusia untuk menggunakan akal dalam memahami lingkungannya merupakan potensi dasar yang memungkinkan manusia berfikir, dengan berfikir manusia menjadi mampu melakukan perubahan dalam dirinya, dan memang sebagian besar perubahan dalam diri manusia merupakan akibat dari aktivitas Berfikir, oleh karena itu sangat wajar apabila Berfikir merupakan konsep kunci dalam setiap diskursus mengenai kedudukan manusia di muka bumi, ini berarti bahwa tanpa Berfikir, kemanusiaan manusia  pun tidak punya makna bahkan mungkin tak akan pernah ada. Berfikir juga memberi kemungkinan manusia untuk memperoleh pengetahuan, dalam tahapan selanjutnya pengetahuan itu dapat menjadi fondasi penting bagi kegiatan berfikir yang lebih mendalam. Ketika Adam diciptakan dan kemudian ALLAH mengajarkan nama-nama, pada dasarnya mengindikasikan bahwa Adam (Manusia) merupakan Makhluk yang bisa Berfikir dan berpengetahuan, dan dengan pengetahuan itu Adam dapat melanjutkan kehidupannya di Dunia. Dalam konteks yang lebih luas, perintah Iqra (bacalah) yang tertuang dalam Al Qur’an dapat dipahami dalam kaitan dengan dorongan Tuhan pada Manusia untuk berpengetahuan disamping kata Yatafakkarun (berfikirlah/gunakan akal) yang banyak tersebar dalam Al Qur’an. Semua ini dimaksudkan agar manusia dapat berubah  dari tidak tahu menjadi tahu, dengan tahu dia berbuat, dengan berbuat dia beramal bagi kehidupan. semua ini pendasarannya adalah penggunaan akal melalui kegiatan berfikir. Dengan berfikir manusia mampu mengolah pengetahuan, dengan pengolahan tersebut, pemikiran manusia menjadi makin mendalam dan makin bermakna, dengan pengetahuan manusia mengajarkan, dengan berpikir manusia mengembangkan, dan dengan mengamalkan serta mengaplikasikannya manusia mampu melakukan perubahan dan peningkatan ke arah kehidupan yang lebih baik, semua itu telah membawa kemajuan yang besar dalam berbagai bidang kehidupan manusia (sudut pandang positif/normatif).
Kemampuan untuk berubah dan perubahan yang terjadi pada manusia merupakan makna pokok yang terkandung dalam kegiatan Berfikir dan berpengetahuan. Disebabkan kemampuan Berfikirlah, maka manusia dapat berkembang lebih jauh dibanding makhluk lainnya, sehingga dapat terbebas dari kemandegan fungsi kekhalifahan di muka bumi, bahkan dengan Berfikir manusia mampu mengeksplorasi, memilih dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya. Semua itu, pada dasarnya menggambarkan keagungan manusia berkaitan dengan karakteristik eksistensial manusia sebagai upaya memaknai kehidupannya dan sebagai bagian dari Alam ini. Berfikir dan pengetahuan merupakan dua hal yang menjadi ciri keutamaan manusia, tanpa pengetahuan manusia akan sulit berfikir dan tanpa berfikir pengetahuan lebih lanjut tidak mungkin dapat dicapai, oleh karena itu nampaknya berfikir dan pengetahuan mempunyai hubungan yang sifatnya siklikal. Gerak sirkuler antara berfikir dan pengetahuan akan terus membesar mengingat pengetahuan pada dasarnya bersifat akumulatif, semakin banyak pengetahuan yang dimiliki seseorang semakin rumit aktivitas berfikir, demikian juga semakin rumit aktivitas berfikir semakin kaya akumulasi pengetahuan. Semakin akumulatif pengetahuan manusia semakin rumit, namun semakin memungkinkan untuk melihat pola umum serta mensistimatisirnya dalam suatu kerangka tertentu, sehingga lahirlah pengetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan) baru, disamping itu terdapat pula orang-orang yang tidak hanya puas dengan mengetahui, mereka ini mencoba memikirkan hakekat dan kebenaran yang diketahuinya secara radikal dan mendalam.
Berger dalam pendekatan terhadap pemahaman realitas ini memiliki dimensi – dimensi subyektif dan obyektif. Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana ia mempengaruhinya melalui proses internalisasi (yang mencerminkan realitas subyektif). Proses ini berjalan dalam kerangka dialektika Hegel, yaitu adanya tesa, antitesa, dan sintesa antara diri (the self) dengan dunia sosio-cultural, Frans Parera  menjelaskan bahwa tugas pokok pengetahuan adalah menjelaskan dialektika antara diri (self) dengan dunia sosiokultural melalui tahapan - tahapan tersendiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar