Manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna lagi paripurna,
kesempurnaannya tampak pada kecakapan dalam menghadapi pelbagai bentuk
permasalahan hidup yang merupakan manifestasi dari kesucian fitrah insaniyah
yang dianugrahkan oleh Allah kepadanya, dan keparipurnaannya tampak pada
kemampuannya menganalisa setiap permasalahan guna mendapatkan jalan keluar yang
akurat tanpa menimbulkan problematika yang lebih parah dari sebelumnya,
keparipurnaan ini merupakan bentuk manifestasi hikmah ‘aqliyyah yang menjadi
bagian utama terbentuknya makhluk Tuhan yang teristimewa diantara seluruh
makhluk yang tercipta di bumi.
Kemampuan
berpikir atau daya nalar manusialah yang menyebabkannya mampu mengembangkan
pengetahuan. Dia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik
dan mana yang buruk, yang indah dan yang jelek. Secara terus menerus manusia
diberikan berbagai pilihan. Dalam melakukan pilihan ini manusia berpegang pada
pengetahuan. Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama,
yaitu: pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu
mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi
tersebut. Kedua, kemampuan
berfikir menurut suatu kerangka berfikir tertentu.
Kedua faktor diatas
sangat berkaitan erat. Terkadang sebagian manusia begitu sulit untuk
mengkomunikasikan informasi, pengetahuan dan segala yang ingin
dikomunikasikannya. Hal ini salah satunya dikarenakan tidak terstrukturnya
kerangka fikir. Kerangka fikir akan terstruktur ketika obyek dari apa yang
ingin dikomunikasikan jelas. Begitupun ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan diperoleh
dari pengalaman (emperi) dan dari akal (ratio). Sehingga timbul
faham atau aliran yang disebut empirisme dan rasionalisme (Mikhael
Dua : 2011). Aliran empirisme yaitu
faham yang menyusun teorinya berdasarkan pada empiri atau pengalaman.
Tokoh-tokoh aliran ini misalnya David Hume (1711-1776), John Locke (1632-1704),
Berkley.
Sedang rasionalisme
menyusun teorinya berdasarkan ratio. Tokoh-tokoh aliran ini misalya Spinoza,
Rene Descartes. Metode yang digunakan aliran emperisme adalah induksi, sedang
rasionalisme menggunakan metode deduksi. Immanuel Kant adalah tokoh yang
mensintesakan faham empirisme dan rasionalisme.
Ilmu pengetahuan, diperoleh dari pemecahan
suatu masalah keilmuan atau kehidupan / kebutuhan manusia. Tidak ada masalah,
berarti tidak ada solusi. Tidak ada solusi berarti tidak memperoleh metode yang
tepat dalam memecahkan masalah. Ada metode berarti ada sistematika ilmiah. Permasalahan merupakan obyek dari ilmu pengetahuan.
Permasalahan apa yang coba dipecahkan atau yang menjadi pokok bahasan, itulah
yang disebut obyek. Dalam arti lain, obyek dimaknai sebagai sesuatu yang
merupakan bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan lahir sebagai jawaban atas
berbagai problema yang dihadapi oleh manusia untuk dicarikan solusi sebagai
hakikat dari lahirnya ilmu pengetahuan.
Seseorang yang ingin menemukan pengetahuan, maka sebagai langka awal dia
terlebih dahulu harus mempelajari teori-teori pengetahuan dalam perkembangan
pengetahuan. Karena itu, usaha yang harus dia lakukan pertama kali
adalah menegaskan tujuan pengetahuan, sebab pengetahauan tidak akan
mengalami perkembangan dan perubahan apabila tujuan dari pengetahuan tersebut
tidak diketahui dan dipahami. Karena pada prinsipnya ilmu adalah usaha
untuk menginterpretasikan gejala-gejala atau fenomena – fenomena alami dengan
mencoba mencari penjelasan tentang berbagai kejadian, artinya fenomena ini baik
berupa pengamatan empiric maupun penalaran rasio memerlukan teori sebagai
landasan keterpahaman sesuatu yang disebut sebagai ilmu pengetahuan.
Manusia
dalam Menemukan Ilmu Pengetahuan
Ilmu
pengetahuan yang berkembang dewasa ini melahirkan berbagai hasil diantaranya
dibidang teknologi yang bisa membantu manusia dalam menjalankan kehidupannya. Pengetahuan
dapat diperoleh kebenarannya dari dua pendekatan, yaitu pendekatan ilmiah dan non-ilmiah.
1)
Penemuan Kebenaran Melalui Penelitian Ilmiah
Cara mencari kebenaran yang
dipandang ilmiah ialah yang dilakukan melalui penelitian. Penelitian adalah
penyaluran hasrat ingin tahu pada manusia dalam taraf keilmuan. Penyaluran
sampai pada taraf setinggi ini disertai oleh keyakinan bahwa ada sebab bagi setiap
akibat, dan bahwa setiap gejala yang tampak dapat dicari penjelasannya secara
ilmiah. Pada setiap penelitian ilmiah melekat ciri-ciri umum, yaitu
pelaksanaannya yang metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang logis dan
koheren. Artinya dituntut adanya sistem dalam metode maupun hasilnya. Jadi
susunannya logis. Ciri lainnya adalah universalitas. Setiap penelitian ilmiah
harus objektif, artinya terpimpin oleh objek dan tidak mengalami distorsi
karena adanya pelbagai prasangka subjektif. Agar penelitian ilmiah dapat dapat
dijamin objektivitasnya, tuntutan intersubjektivitas perlu dipenuhi. Penelitian
ilmiah juga harus diverifikasi oleh semua peneliti yang relevan. Prosedur
penelitian harus terbuka untuk diperiksa oleh ilmuwan yang lain. Oleh karena itu,
penelitian ilmiah harus dapat dikomunikasikan.
2). Pada
pendekatan non ilmiah ada beberapa pendekatan yakni intuisi, akal sehat, prasangka,
penemuan dan coba-coba dan pikiran kritis.
a) Intuisi
Intuisi
adalah penilaian terhadap suatu pengetahuan yang cukup cepat dan berjalan
dengan sendirinya. Biasanya didapat dengan cepat tanpa melalui proses yang
panjang tanpa disadari. Dalam pendekatan ini tidak terdapat hal yang sistemik
b)
Penemuan Secara Spekulatif
Cara ini mirip dengan cara coba dan ralat. Akan
tetapi, perbedaannya dengan coba dan ralat memang ada. Seseorang yang
menghadapi suatu masalah yang harus dipecahkan pada penemuan secara spekulatif,
mungkin sejumlah alternatif pemecahan. Kemudian ia mungkin memilih satu
alternatif pemecahan, sekalipun ia tidak yakin benar mengenai keberhasilannya.
c)
Otoritas atau Kewibawaan
Pendapat orang-orang yang memiliki kewibawaan,
misalnya orang-orang yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan sering diterima
sebagai kebenaran meskipun pendapat itu tidak didasarkan pada pembuktian
ilmiah. Pendapat itu tidak berarti tidak ada gunanya. Pendapat itu tetap
berguna, terutama dalam merangsang usaha penemuan baru bagi orang-orang yang
menyangsikannya. Namun demikian ada kalanya pendapat itu ternyata tidak dapat
dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian pendapat pemegang otoritas itu
bukanlah pendapat yang berasal dari penelitian, melainkan hanya berdasarkan
pemikiran yang diwarnai oleh subjektivitas.
d) Akal sehat
adalah
serangkaian konsep dan bagian konseptual yang memuaskan untuk penggunaan
praktis bagi kemanusiaan (Conant dalam Kerlinger (1973, h. 3). Konsep merupakan
kata yang dinyatakan abstrak dan dapat digeneralisasikan kepada hal-hal yang
khusus. Akal sehat ini dapat menunjukan hal yang benar, walaupun disisi lainnya
dapat pula menyesatkan. Manusia diberikan kelebihan dari makhluk lainnya berupa
akal yang bisa digunakan salah satunya untuk memecahkan persoalan-persoalan
kehidupan.
Dalam
psikologi, dikenal konsep diri dari Freud (Jalaluddin Rakhmat, 1985) menyebut
sebagai “id”, “ego”, dan “super-ego”. “Id” adalah bagian kepribadian yang
menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu dalam agama) dan hasrat-hasrat
yang mengandung dua instik : libido (konstruktif) dan thanatos (destruktif dan
agresif). “Ego” adalah penyelaras antara “id” dan realitas dunia luar.
“Super-ego” adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani, Adib
(2009:244). Dalam agama, ada sisi destruktif manusia, yaitu sisi angkara murka
(hawa nafsu).
Jika kita
mampu mengendalikan ketiga unsur yang ada dalam diri kita diatas dengan
menggunakan akal sehat yang dalam artian yaitu akal yang dibarengi dengan
melibatkan hati nurani. Kita bisa mengambil contoh penemuan berbagai alat-alat rumah tangga
elektronik yang dapat memudahkan para Ibu-ibu dalam mengerjakan pekerjaan rumah
tangga. Penemuan ini tidak saja berdampak pada perubahan dalam pola kerja yang
dilakukan oleh ibu rumah tangga, namun juga berdampak pada berubahnya pola
perilaku dalam masyarakat yang cendrung suka yang praktis dan lebih bersifat
materialistik. Segi hubungan masyarakat dalam interaksi sehari-hari juga
menjadi berubah diantaranya lebih individualistik dan kurang bersosialisasi
dengan masyarkat sekitarnya.
e)
Prasangka
Pengetahuan
yang dicapai secara akal sehat biasanya diikuti dengan kepentingan orang yang
melakukannya kemudian membuat orang mengumumkan hal yang khusus menjadi terlalu
luas. Dan menyebabkan akal sehat ini berubah menjadi sebuah prasangka.
f)
Penemuan
Coba - Ccoba (Trial and Error)
Pengetahuan
yang ditemukan dengan pendekatan ini tidak terkontrol dan tidak pasti. Diawali
dengan usaha coba-coba atau dapat dikatakan trial and error. Dilakukan
dengan tidak kesengajaan yang menghasilkan sebuah pengetahuan dan setiap cara
pemecahan masalahnya tidak selalu sama. Sebagai contoh seorang anak yang
mencoba meraba-raba dinding kemudian tidak sengaja menekan saklar lampu dan
lampu itu menyala kemudian anak tersebut terperangah akan hal yang
ditemukannya. Dan anak tersebut pun mengulangi hal yang tadi ia lakukan hingga
ia mendapatkan jawaban yang pasti akan hal tersebut.
g)
Berpikir Kritis dan Rasional
Telah banyak kebenaran yang
dicapai oleh manusia sebagai hasil upayanya menggunakan kemampuan berpikirnya.
Dalam menghadapi masalah, manusia berusaha menganalisisnya berdasarkan
pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki sampai pada pemecahan yang tepat. Cara
berpikir yang ditempuh pada tingkat permulaan dalam memecahkan adalah dengan
cara berpikir analitis dan cara berpikir sintesis.
Perkembangan
ilmu pengetahuan selanjutnya menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu
sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan
bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekarbercabang secara subur.
Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang
mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan
demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan
munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu
pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti
spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh
Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem
yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat
benar-tidaknya dapat ditentukan. Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan
atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan
semboyannya “Knowledge is Power”,
kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan
manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu
implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang
satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin
kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan
atau praktis.
Koento
Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan
“a higher level of knowledge”, maka
lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan.
Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu
(Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada
komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu:
ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler
(dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari
pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh
ilmu.
Respon manusia terhadap Problema
Kehidupan
Interaksi
antara ilmu pengetahuan dengan proses kehidupan manusia maupun makhluk lainnya telah
melahirkan pemikiran dan penemuan - penemuan baru sebagai respon atas berbagai problema yang
menghinggapi kehidupan manusia. Kemampuan berpikir manusia yang dibarengi
dengan kecerdikan menemukan solusi atas berbagai persoalan hidup dan kehidupan
memicu kreativitas yang melahirkan ilmu / penemuan pengetahuan baru, sehingga
ilmu pengetahuan semakin berkembang.
Pengetahuan adalah kepastian
bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki
karakteristik-karakteristik yang spesifik. Kenyataan sosial adalah hasil
(eksternalisasi) dari internalisasi dan obyektivasi manusia terhadap
pengetahuan – dalam kehidupan
sehari-sehari. Atau, secara sederhana, eksternalisasi dipengaruhi oleh stock
of knowledge (cadangan pengetahuan) yang dimilikinya. Cadangan sosial
pengetahuan adalah akumulasi dari common sense knowledge (pengetahuan
akal-sehat). Common sense adalah pengetahuan yang dimiliki individu
bersama individu-individu lainnya dalam kegiatan rutin yang normal, dan sudah
jelas dengan sendirinya, dalam kehidupan sehari-hari (Berger dan Luckmann,
1990: 34).
Kemampuan manusia untuk menggunakan akal dalam memahami
lingkungannya merupakan potensi dasar yang memungkinkan manusia berfikir,
dengan berfikir manusia menjadi mampu melakukan perubahan dalam dirinya, dan
memang sebagian besar perubahan dalam diri manusia merupakan akibat dari
aktivitas Berfikir, oleh karena itu sangat wajar apabila Berfikir merupakan
konsep kunci dalam setiap diskursus mengenai kedudukan manusia di muka bumi,
ini berarti bahwa tanpa Berfikir, kemanusiaan manusia pun tidak punya
makna bahkan mungkin tak akan pernah ada. Berfikir juga memberi kemungkinan
manusia untuk memperoleh pengetahuan, dalam tahapan selanjutnya pengetahuan itu
dapat menjadi fondasi penting bagi kegiatan berfikir yang lebih mendalam.
Ketika Adam diciptakan dan kemudian ALLAH mengajarkan nama-nama, pada dasarnya
mengindikasikan bahwa Adam (Manusia) merupakan Makhluk yang bisa Berfikir dan
berpengetahuan, dan dengan pengetahuan itu Adam dapat melanjutkan kehidupannya
di Dunia. Dalam konteks yang lebih luas, perintah Iqra (bacalah) yang
tertuang dalam Al Qur’an dapat dipahami dalam kaitan dengan dorongan Tuhan pada
Manusia untuk berpengetahuan disamping kata Yatafakkarun
(berfikirlah/gunakan akal) yang banyak tersebar dalam Al Qur’an. Semua ini
dimaksudkan agar manusia dapat berubah dari tidak tahu menjadi tahu,
dengan tahu dia berbuat, dengan berbuat dia beramal bagi kehidupan. semua ini
pendasarannya adalah penggunaan akal melalui kegiatan berfikir. Dengan berfikir
manusia mampu mengolah pengetahuan, dengan pengolahan tersebut, pemikiran
manusia menjadi makin mendalam dan makin bermakna, dengan pengetahuan manusia
mengajarkan, dengan berpikir manusia mengembangkan, dan dengan mengamalkan
serta mengaplikasikannya manusia mampu melakukan perubahan dan peningkatan ke
arah kehidupan yang lebih baik, semua itu telah membawa kemajuan yang besar
dalam berbagai bidang kehidupan manusia (sudut pandang positif/normatif).
Kemampuan untuk berubah dan perubahan yang terjadi
pada manusia merupakan makna pokok yang terkandung dalam kegiatan Berfikir dan
berpengetahuan. Disebabkan kemampuan Berfikirlah, maka manusia dapat berkembang
lebih jauh dibanding makhluk lainnya, sehingga dapat terbebas dari kemandegan
fungsi kekhalifahan di muka bumi, bahkan dengan Berfikir manusia mampu
mengeksplorasi, memilih dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk
kehidupannya. Semua itu, pada dasarnya menggambarkan keagungan manusia
berkaitan dengan karakteristik eksistensial manusia sebagai upaya memaknai
kehidupannya dan sebagai bagian dari Alam ini. Berfikir dan pengetahuan
merupakan dua hal yang menjadi ciri keutamaan manusia, tanpa pengetahuan
manusia akan sulit berfikir dan tanpa berfikir pengetahuan lebih lanjut tidak
mungkin dapat dicapai, oleh karena itu nampaknya berfikir dan pengetahuan
mempunyai hubungan yang sifatnya siklikal. Gerak sirkuler antara berfikir dan
pengetahuan akan terus membesar mengingat pengetahuan pada dasarnya bersifat
akumulatif, semakin banyak pengetahuan yang dimiliki seseorang semakin rumit
aktivitas berfikir, demikian juga semakin rumit aktivitas berfikir semakin kaya
akumulasi pengetahuan. Semakin akumulatif pengetahuan manusia semakin rumit,
namun semakin memungkinkan untuk melihat pola umum serta mensistimatisirnya
dalam suatu kerangka tertentu, sehingga lahirlah pengetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan)
baru, disamping itu terdapat pula orang-orang yang tidak hanya puas dengan
mengetahui, mereka ini mencoba memikirkan hakekat dan kebenaran yang
diketahuinya secara radikal dan mendalam.
Berger dalam pendekatan terhadap pemahaman realitas ini memiliki dimensi – dimensi
subyektif dan obyektif. Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas
sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana ia
mempengaruhinya melalui proses internalisasi (yang mencerminkan realitas
subyektif). Proses ini berjalan dalam kerangka dialektika Hegel, yaitu adanya
tesa, antitesa, dan sintesa antara diri (the self) dengan dunia
sosio-cultural, Frans Parera menjelaskan bahwa tugas pokok pengetahuan
adalah menjelaskan dialektika antara diri (self) dengan dunia
sosiokultural melalui tahapan - tahapan
tersendiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar