PRIBUMISASI ILMU SOSIAL DI TINJAU DARI
ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS DAN AKSIOLOGIS
Mata Kuliah : Filsafat Ilmu Pascasarja UNY
a.
Landasan
Ontologi Pribumisasi Ilmu Sosial
Kajian pribumisasi ilmu sosial beraras ontologis
maksudnya adalah kajian mengenai sifat dasar dari kenyataan ilmu – ilmu sosial
Indonesia, hal ini dikarenakan bahwa dominasi pengaruh Ilmu – Ilmu Sosial Eropa
atau Amerika terhadap perkembangan Ilmu – Ilmu Sosial di Asia termasuk
Indonesia dirasakan dalam kurun waktu yang telah lama, bahkan sejak sebelum
kemerdekaan. Kondisi ini mengkaibatkan perkembangan ilmu – ilmu sosial di
Indonesia khususnya dan Asia pada umumnya berada pada keadaan yang tergantung
pada dinamika Barat (Captive mind),
hal ini tentu menimbulkan keprihatinan yang mendalam pada praktisi ilmu bidang
ilmu – ilmu sosial (Nasiwan, 2012).
Stagnasi ilmu – ilmu sosial ini menjadi pemicu bagi
intelektual Asia – Indonesia untuk mengembangkan kajiannya. Untuk
Merealisasikan keinginan tersebut pada tahun 1970-an Ismail Raji Al-Faruqi
menyampaikan ide – ide tentang Islamisasi Ilmu – Ilmu Sosial Kontemporer.
Langkah ini mendapat dukungan dari Naquib Al-Attas yang juga mendorong
dilakukannya Islamisasi ilmu – ilmu secara luas dengan memasukkan unsur-unsur
Islam dalam ilmu – ilmu komtemporer.
Hal penting yang menjadi pandangan dua intelektual
ini, Ismail Raji Al-Faruqi dan Naquib Al-Attas adalah :
1)
Pengamatannya mengenai fenomena
kebiasaan ilmuwan Asia yang menggunakan kaidah – kaidah Barat seperti metode,
analisis, deskripsi, eksplanasi, generalisasi, konseptuaslisasi dan
intepretasi.
2)
Ilmuwan Asia – Indonesia telah berusaha
untuk keluar dari kungkungan kebergantuan intelektual Barat, tetapi usaha yang
dilakukannya belum terstruktur, melembaga dan sistematis.
3)
Membangun suatu diskursus alternatif
ilmu – ilmu sosial di luar arus besar diskursus Ilmu – Ilmu Sosial Barat.
Menurut
Syed Farid Alatas tingkat ketergantungan akademis di Asia dipandang pararel
dengan tingkat ketergantungan ekonomi. Tingkat ketergantungan akademis itu
diantaranya kebergantungan pada :
1)
gagasan
2)
media gagasan
3)
teknologi pendidikan
4)
bantuan riset dan pengajaran
5)
investasi pendidikan
6)
ketrampilan
Prof.
Kuntojoyo menjadi pionir bagi intelektual Indonesia yang berani melakukan
gugatan akademis Barat. Hal yang telah dilakukannya adalah dengan membuka
pemikiran pentingnya Ilmu Sosial Profetik. Kemudian ditindaklanjuti dengan hal
yang bersifta praksis. Melalui prophetic
education ini diyakini mampu melahirkan perspektif teoritis yang sesuai
dengan konteks keindonesiaan / ketimuran sehingga dominasi intektual barat
terhadap ilmu – ilmu sosial dapat dikurangi bahkan sampai taraf zero influence.
Kemunculan pemikiran indigenousasi ilmu sosial
mestinya menjadi inspirasi bagi akademisi / ilmuwan ilmu sosial untuk dapat
mewujudkan terjadinya transformasi yang tak terbatas tidak hanya pada tataran
pemikiran khususnya bagi pada pendidik – guru, untuk dapat merealisasikan
terjadinya transformasi masyarakat Indonesia. Aktivitas sosial yang memiliki
kesadaran bahwa ilmu adalah merupakan instrumen sangat dahsyat bagi
transformasi bukan revolusi sosial. Semua Perubahan berawal dari ide – ide
gemilang, kata – kata, diskusi – diskusi, forum – forum ilmiah. Dari kondisi
inilah keinginan yang memisahkan diri dari ketergantungan dominasi Barat dalam
ilmu – ilmu sosial dapat segera direalisasikan.
1)
Urgensi
Pribumisasi Ilmu Sosial
Pribumisasi ilmu di Indonesia
merupakan hal yang sangat penting dilakukan karena berbagai alasan yang
mendasarinya. Pertama, selama ini ilmu-ilmu yang berkembang dan diterapkan di
Indonesia merupakan hasil contekan atau tiruan dari teori-teori Barat dan
daerah luar Indonesia yang secara nyata
bisa saja teori tersebut tidak sesuai dengan realitas dan problematika yang
terjadi di Indonesia yang terkenal plural dan senantiasa memegang tradisi
sebelumnya. Ketidaksesuaian tersebut bila terpaksa diterapkan
malah akan menimbulkan suatu masalah baru yang kompleks dan sulit dikendalikan.
Sehingga peminjaman teori dari luar
tidak memecahkan masalah yang terjadi malah semakin menambah beban masalah yang
harus diselesaikan. Kedua, adanya penyalahgunaan fungsi utama teori-teori yang
berkembang dalam masyarakat sebagai upaya untuk hegemoni kekuasaan dan upaya
politis penguasa dalam hal pembangunan nasional bangsa, sedangkan pembangunan nasional yang dijalankan pada
hakikatnya sebagai upaya kesejahteraan rakyat yang merupakan hak setiap warga negara. Maka penyalahgunaan makna ilmu sebagai upaya hegemoni
tersebut diterapkan akan berakibat fatal bagi perjalanan eksistensi suatu
bangsa dalam hal kesuksesan pencapaian pembangunan nasional.
Ketiga,
pribumisasi diperlukan sebagai langkah
emansipasi dan nasionalisasi ilmu pengetahuan yang bersifat keindonesiaan yang
sesuai dengan pribadi masyarakat Indonesia
pada umumnya. Keempat, pribumisasi
ilmu diperlukan sebagai
cerminan pemikiran posisi Indonesia
sebagai Negara Ketiga yang mampu mandiri dalam bidang akademis untuk menjawab
tantangan globalisasi yang berkembang di berbagai belahan dunia tanpa dibayang
-
bayangi pengaruh kolonialisasi bangsa
lain yang diharapkan bisa membentuk ilmu sosialnya sendiri berdasarkan temuan
lokal, diorganisasikan menurut cara penjelasan setempat atau
interpretasi berdasarkan pemikiran pemikiran pribumi.
2)
Implementasinya
Pribumisasi Ilmu Sosial
Implementasi pribumisasi ilmu
sosial dalam kasanah Indonesia mestinya diformulasikan kepada
Pancasila dengan Bhinneka Tunggal Ika
sebagai indikator realitas
keindonesiaan. Inti dari Bhinneka Tunggal Ika itu adalah pengakuan terhadap
keanekaragaman dan adanya kesatuan di antara keanekaan tersebut. Keanekaan dan
kesatuan tidak dapat dipisahkan, tidak ubahnya dengan sekeping mata uang pada
kedua belah sisinya. Keanekaragaman merupakan kenyataan obyektif,
sedangkan kesatuan merupakan formulasi
subyektif yang bertitik tolak dari keanekaragaman. Bhinneka Tunggal Ika
merupakan yang tidak terbantahkan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena
itu, Bhinneka Tunggal Ika dapat dijadikan ciri fundamental landasan
implemantasi bagi pribumisasi ilmu – ilmu sosial di Indonesia.
Ki Hajar Dewantara dalam
ajarannya : ing ngarso sung tuladha (di depan memberi teladan), ing madya mangun
karso (di tengah memberi semangat), dan tut wuri handayani (di belakang memberi
dorongan) adalah bentuk nyata pribumisasi dalam bidang pendidikan. Implementasi
lain dari pribumisasi ilmu sosial bahwa penelitian, pengembangan dan penemuan –
penemuan teoma baru haruslah didasarkan pada : Pertama, asas dan sumber ada (eksistensi) kesemestaan adalah
Tuhan Yang Maha Esa, artinya ontologi ketuhanan religius yang bersifat
supranatural dan transendental, yang dihayati subyek budi nurani (keyakinan
iman) yang suprarasional. Kedua,
alam semesta (Makrokosmos sebagai ada tidak terbatas. Ketiga, adanya subyek pribadi manusia, individu, nasional
dan umat manusia. Keempat,
eksistensi tata budaya sebagai perwujudan unggul. Kelima, subyek manusia Indonesia sendiri.
Oleh karena itu,
pemribumian ilmu sosial di Indonesia menempatkan realitas manusia dan
masyarakat dipahami sebagai kenyataan
yang plural, namun sekaligus ada kerinduan
untuk memahaminya sebagai suatu kesatuan
yang organis. Manusia Indonesia dalam kajian keilmuan sebagai usaha
pengembangan teoma ilmu pengetahuan dipandang sebagai manusia monopluralis yang
terdiri dari kodrat, sifat kodrat, dan kedudukan kodrat. Susunan sifat kodrat
manusia terdiri atas unsur jiwa dan
raga. Sifat kodrat manusia terdiri atas unsur manusia, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial,
manusia sebagai pribadi sekaligus sebagai makhluk Tuhan.
Itulah sebabnya implementasi pribumisasi ilmu –
ilmu sosial harus bersumberkan pada martabat dan potensi manusia Indonesia
sendiri dengan mengedepankan pandangan, filosofi dan kultur budaya serta setting ketimuran yakni Pancasila
sebagai landasan idiilnya. Meski sayangnya belum banyak konsep dan teori
seperti ini yang khas dengan realitas pribumi. Untuk ilmuwan - ilmuwan sosial
perlu terus di dorong untuk aktif dan konsisten dalam upaya pribumisasi ilmu - ilmu
sosial, sehingga akan lahir konsep dan teori yang bersumber dari realitas
sosial masyarakat.
b.
Landasan
Epistemologi Pribumisasi Ilmu Sosial
Maksud dari
landasan Epistemologi dalam kajian pribumisasi ilmu sosial di Indonesia
adalah pembahasan mengenai hakikat ilmu
pengetahuan khususnya hakekat ilmu sosial. Hal ini bermakna bahwa dasar – dasar pemikiran filosofis mengenai
hakikat pengetahuan yang menjadi landasan pemikiran pribumisasi ilmu sosial.
Problematik fundamental
epistemologi, menurut Harold H. Titus dalam Heri Santoso (2003 : 74) ada 3
(tiga) yaitu 1). Apakah sumber – sumber pengetahuan itu ?, dari manakah
pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana mengetahuinya ? 2). Apakah
sifat dasar pengetahuan itu ? Ini merupakan persoalan tentang apa yang
kelihatan (phenomena), dan 3). Apakah pengetahuan yang benar itu (valid) ? Bagaimana cara membedakan yang benar dan salah
? Ini merupakan persoalan pengujian kebenaran atau verifikasi.
The Liang Gie (Heri
Santoso, 2003 : 74) berpendapat bahwa epistemologi merupakan penyelidikan
filsafati terhadap pengetahuan, khususnya tentang kemungkinan, asal mula,
validitas, batas, sifat dasar, dan aspek pengetahuan lain yang berkaitan. Sumber
kajian ilmu terdiri atas 4 (empat) hal yaitu otoritas, empiris (pengalaman)
rasio, intuisi dan wahyu.
Problematika mendasar dalam metode epistemologi
pribumisasi ini adalah metode apa yang yang digunakan oleh para pemikir ilmu
sosial untuk mewujudkan hakikat ilmu sosial dengan sifat pribumi yang memiliki
validitas kebenaran. Secara umum ada 2 (dua)
metode ilmiah yaitu metode analitik sintesa dan metode nondeduksi. Metode analitik
sintesa merupakan gabungan metode analisis
dan sintesa. Metode nondeduksi merupakan penerapan secara bergantian antara
metode induksi dan deduksi. Perkembangan ilmu dalam pandangan epistemologi
bahwa ilmu itu lahir, tumbuh dan berkembang
dalam sosio-historis, kultural dan geografis tertentu dengan
memperhatikan metode yang digunakannya. Oleh karena itu, pemikir indigenousasi
ilmu sosial Indonesia harus bercirikan
prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
1)
Urgensi
Pribumisasi Ilmu Sosial
Sebagaimana disebutkan
di atas bahwa landasan epistemologi adalah keinginan untuk mengetahui hakikat
kebenaran suatu ilmu pengetahuan, maka dalam bahasan ini akan dikupas urgensinya
dari pribumisasi ilmu – ilmu sosial.
Sumber pengetahuan
pribumisasi ilmu sosial di Indonesia adalah Pancasila dengan prinsip – prinsip Bhinneka
Tunggal Ika, yaitu pertama,
keyakinan tentang keberadaan Tuhan. Tuhan dianggap sebagai Mahasumber
pengetahuan, sementara manusia sebagai subyek
tahu diberkati dengan martabat luhur yang tinggi seperti panca indra, akal, rasa, karsa, cipta
dan budi nurani. Kedua, secara
teoritis teknis sumber pengetahuan dibedakan secara kualitatif bertingkat
antara lain : (1) Sumber Primer, yang tertinggi
dan terluas, orisinal, lingkungan alamiah, semesta, sosio – budaya,
sistem kenegaraan dan dinamikanya. (2). Sumber Sekunder, bidang ilmu yang sudah
ada / berkembang, kepustakaan, dokumentasi dan (3) Sumber Tersier, cendekiawan,
ilmuwan, ahli, nara sumber dan guru. Namun yang paling esensial adalah
penerimaan wahyu sebagai sumber kebenaran.
Paradigma epistomologi
dalam pribumisasi ilmu sosial adalah rasionalisme yang berpijak pada landasan
institusi spiritual, empirisme yang berpijak metaempirisme atau dunia ghoib,
berpegang pada etika agamawi yang dapat dijabarkan dalambentuk ideologi dalam batas – batas konsensus
sosial, sikap obyektif partisipatif, berpindah dari aspek holistik menuju aspek
parsial disipliner, agama menjadi satu dengan sains, sains mulai dengan
keyakinan agamawi, sains menegakkan verifikasi kebenaran agamawi, asas konsistensi
logika berpijak pada asas kemutlakan dan kemampuan sains terbatas karena
pengenalan diri dalam arti spiritual tidak dapat dijangkau melalui metodologi
sain tetapi dengan ritus agamawi (Heri Santoso, 2003 : 78)
Pandangan KH
Said Agil Siraj, mengatakan bahwa
pribumisasi ilmu pengetahuan di Indonesia sudah saatnya dilakukan. Ilmu
pengetahua yang diperoleh dari dari luar digali secara epistemologi, kemudian
dilakukan pembaharuan bahkan penemuan baru. Langkah pribumisasi ilmu
pengetahuan ini mesti dilanjutkan untuk menemukan teori – teori baru baik di
bidang sosial, humaniora maupun eksak. Ini menunjukkan bahwa manusia dan bangsa
Indonesia belum memiliki komitmen dan intensitas yang kuat untuk menjadikan
Pancasila dan kebudayaan luhur Indonesia untuk dikembangkan dalam tataran
pendidikan di semua jenjangnya.
Komitmen ini
penting sebagai salah satu usaha pribumisasi ilmu pengetahuan. Salah satu penyebab
komitmen ini belum tampak adalah adanya ketidakpercayaan diri atau penyakit
suka kalau segala sesuatunya dihubungkan dengan yang bersifat asing (xenofilia). Kita patut tergerak /
tergelitik dengan ungkapan intelektual Korea, Koh Young Hun, yang mengatakan
Korea saja bisa, Apalagi Indonesia. Ini mestinya mendorong semua komponen
bangsa untuk berpartisipasi diri mewujudkan tegaknya ilmu pengetahuan yang
berpijak pada unsur dan kearifan lokal yang multikultur ini menjadi tuan di
negerinya sendiri.
2)
Implementasinya
Pribumisasi Ilmu Sosial
Implementasinya bahwa hakikat pribumisasi ilmu
sosial dalam kasanah Indonesia menempatkan Pancasila dan Binneka Tunggal Ika sebagai inti sumber hakikat
kebenarannya. Pengetahuan memiliki tingkatan – tingkatan yaitu pertama pengetahuan sehari – hari, kedua pengetahuan yang lebih tinggi yang disebut ras sejati, waskita, sumurup, pangesti, ngelmu, wiweka dan waspada,
dan ketiga pengetahua mistis seperti sunyata, prajna, lerem, makrifat, sirno,
llang. Ketiga pengetahuan tersebut saling berhubungan timbal balik.
Pengetahuan sehari – hari cenderung bersifat
klasifikasi dan totalisasi sehingga batas obyek yang diketahui diperluas. Pengetahuan
yang mengatasi pertemuan antara subyek dan obyek lebih merupakan pengalaman
hakikat, disertai makna dan partisipasi dalam nilai hakikat itu. Unsur kognitif
tidak ditolak tetapi dibatasi oleh isyarat yang merupakan batu loncatan dalam
pemahaman arti alam bagi jalan hidup. Pemahaman ini menghanguskan kegelapan
jiwa dan mnyatukan manusia dengan alam raya. Tujuan pengetahuan bukan teoritis melainkan peningkatan
keinsyafan kedudukan manusia dalam tata alam. Tata alam itu berdimensi luas dan
berarah. Dimensi arah dari tata alam yang dihayati manusia memberi petunjuk
untuk mengambil sikap dan karya sendiri sesuai dengan hakikat. Pengetahuan itu
bersifat per definitionem inkomunikabel
dan kesadaran diri tanpa obyek yang bila diungkapkan justru tampak paradoks,
seperti “tapaking kuntul nglayang, kodok ngemuli elenge, gumeder swaraning sepi”.
Cara menghadapi kenyataan tanpa dualitas subyek dan
obyek ini merupakan aliran khusus dalam alam pikiran Indonesia. Oleh karenanya paradigma
ilmu sosial pribumi menempatkan ilmu sosial – yang merupakan bagian dari pengetahuan
ilmiah – dalam jenjang tertentu yaitu di atas pengetahuan sehari – hari, namun
di bawah filsafat, mistik dan pengetahuan religius. Ilmu sosial hanyalah salah
satu diantara banyak jenis pengetahuan dan pengetahuan dalam wacana pemikiran
pribumi hanyalah salah satu unsur kebudayaan. Dengan demikian ilmu sosial
hendaknya dipahami dalam konteks kebudyaan secara utuh.
Persoalan pribumisasi
ini apakah tidak menyebabkan ilmu sosial menjadi partikulatif naif, karena
sebenarnya sifat dasar ilmu adalah bersifat universal. Upaya pribumisasi akan
menemukan keunikan dan kekhasan yang digarap oleh ilmu sosial. Jawaban atas
pertanyaan ini adalah (1)) Metode ilmu sosial itu bersifat universal artinya
ilmu sosial tidak tergantung pada apa, siapa, kapan, dan dimana dikembangkan.
(2) klaim universalisme ilmu sosial itu bersifat naif, karena ilmu sosial tumbuh
dan berkembang untuk menjawab problematika yang sedang dihadapi masyarakat. Universalitas
tidak harus mengorbankan unsur keunikan suatu budaya. Ini berarti bahwa
universalitas dan partikulatif bukanlah suatu yang harus dipsiahkan. Partikularitas
ada dalam kenyataan, sementara universalitas ada dalam gagasan dan cita – cita.
Kelahiran pemikiran pribumisasi atau ilmu sosial pribumi tidak akan mengurangi universalitas ilmu,
tetapi justru universalitas itu ada karena ada partikularitas atau keunikan
tersendiri. Ilmu sosial pribumi merupakan aktualitas dari aspek – aspek universalitas
ilmu tanpa harus mengabaikan aspek – aspek keunikan suatu masyarakat dengan
kekhasan budayanya.
c.
Landasan
Aksiologi Pribumisasi Ilmu Sosial
Aksiologis secara
etimologis berasal dari kata axios
yang berarti nilai, dan logos yang
berarti ilmu. Jadi aksiologis dapat diartikan sebagai ilmu atau teori yang
mempelajari hakikat nilai. Landasan aksiologis yang dimaksud adalah pandangan
tentang nilai yang mendasari asumsi – asumsi ilmu sosial yaitu nilai obyektif dan
subyektif, metode untuk memperoleh nilai dan wujud dari nilai itu sendiri.
1)
Urgensinya
Nilai yang ingin dibangun dalam pribumisasi ilmu
sosial di Indonesia mesti diarahkan nilai yang merupakan hasil interaksi antara
subyek dengan obyek yang keduanya tidak dipisahkan. Meskipun kita harus
menyadari bahwa diluar terdapat dua arus besar metode dalam memperoleh nilai
yaitu subyektivitas yakni subyeklah yang
menentukan kulaitas nilai dan obyektivitas maksudnya nilai tergantung
pada fakta yang obyektif dan tidak boleh dimanipulasi oleh subyek (Heri
Santoso, 2003 : 85).
Netralitas ilmu dalam kajian aksiologis menjadi
persolan tersendiri dalam upaya mewujudkan pribumisasi. Anggapan bahwa ilmu sosial
itu bebas nilai mengacu pada gejala yang ditunjukkan oleh ilmu alam dengan
mengedepankan hukum – hukum alam yang obyektif terhindar dari campur tangan
kepentingan manusia. Ilmu sosial hendaknya juga seperti itu, postulat –
postulanya mesti dapat diterapkan oleh siapa saja, di mana saja dan kapan saja
secara obyekif. Tetapi pandangan lain menegaskan bahwa ilmu pada dasarnya
khususnya ilmu sosial, tidak mungkin dilepaskan dari nilai. Ilmu tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, yang mau
tidak mau tentu terkait dengan nilai. Ilmu dengan demikian tidak bebas nilai. Bahkan
pandangan ini lebih tegas menyatakan bahwa ilmu pada dasarnya dikembangkan atas
kepentingan, ilmu sosial dimaksudkan
dibangun demi kepentingan kritis
antisipatoris bukan demi kepentingan teknis.
Terkait dengan urgensi pribumisasi ilmu sosial pada
landasan aksiologis bahwa wujud nilai yang mesti menjadi acuan bagi
pengembangan ilmu – ilmu sosial adalah berdasarkan pada unsur – unsur nilai budaya
luhur Indonesia sendiri. Akan sangat naif apabila postulat yang dijadikan
pegangan ilmiah diambilkan dari wujud nilai asing yang tidak selaras dengan
kondisi riil di Indonesia.
2)
Implementasinya
Prinsip
Bhinneka Tunggal Ika mengajarkan pengakuan terhadap pluralitas, namun ada
kerinduan menyatukan dalam pandangan komprehensif dan proporsional. Kerangka berfikir Bhinneka Tunggal Ika inilah yang dijadikan cara pandang untuk memecahkan
berbagai problema aksioma yang ada dalam kehidupan dan pengembangan ilmu sosial
di Indonesia.
Contoh
adalah pandangan paradigma ilmu sosial pribumi dalam menjawab problema nilai
obyektif dan subyektif. Paradigma ilmu sosial
pribumi memandang nilai obyektif dan subyektif diakui keberadaan dan kebenarannya, namun
secara hakiki keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan,
merupakan pasangan bukan lawan atau berlaku hukum paritas antar keduanya.
Nilai
obyektif lebih tepat untuk memaknai fenomana faktual dan empirik, sementara
nilai subyektif lebih tepat untuk
memaknai pengalaman batin dan metaempirik. Kebhinnekaan terletak pada pengakuan
andanya nilai obyektif dan subyektif. Keekaan terletak pada pemahaman bahwa
keduanya merupakan pasangan yang tidak terpisahkan, keduanya saling
menegasikan.
Problema
netralitas nilai dalam perspektif paradigma ilmu sosial pribumi bahwa ilmu
sosial tidak mungkin dilepaskan dari nilai. Argumentasinya adalah ilmu sosial
pertama tumbuh dan berkembang dalam satu kerangka budaya yang lekat dengan
pertimbangan nilai. Fenomena kemasyarakatan dalam kajian ilmu sosial berbeda
dengan fenomena fisik yang bersifat mekanik. Ilmuwan sosial tidak dapat steril
dari nilai dalam melakukan aktivitas ilmiahnya. Oleh karenanya ilmu sosial
harus membatasi muatan emosional dengan menekankan muatan rasional dalam
memutuskan suatu masalah. Tujuan ilmu sosial adalah menjelaskan, meramalkan dan
mengontrol fenomena sosial untuk tujuan kemaslahatan umat manusia. Ilmu bukan
untuk ilmu, tetapi ilmu untuk diamalkan dan demi kesejahteraan manusia.
Saatnya
kini ilmuwan Indonesia untuk menghilangkan rasa tidak percaya diri dan xenofilia untuk menuju Indonesia Emas.
Indonesia yang dalam teori pembangunannya menuju pada pengembangan ilmu
pengetahuan yang tidak ahistori, penyebabnya adalah mengembangkan pengetahuan
yang berbasis sudut pandang masyarakat sendiri akan dapat mengembangkan teori –
teori pembangunan yang mempunyai akar sejarah kuat dalam masyarakat. Selain itu
proses indigenousasi juga akan membebaskan masyarakat dari penunggalan
kebenaran, karena akan menjadikan proses pembangunan menjadi tidak seragam dan
akan sesuai dengan kondisi lingkungan, politik, ekonomi dan masyarakat
setempat.
Pengembangan
perspektif masyarakat asli dalam pembangunan juga akan membawa pembangunan yang
dijalankan adalah pembangunan yang bebas kontrol dan kendali kepentingan
masyarakat Barat, karena pembangunan berbasis pada kepentingan masyarakat
sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan pemikiran – pemikiran dari intelektual
organik yang mau dan berkomitmen untuk hidup dan mengembangkan pengetahuan yang
ada dalam masyarakat berbasis kearifan lokal yang multikultural.
Dalam hal
ini kemudian penulis (Heri Santoso dan Listiyono Santoso) mengartikan
pribumisasi dalam 3 makna Implisit gerakan priibumisasi,yaitu: Pertama, Pribumisasi merupakan sikap
ketidakpuasan terhadap ilmu sosial Barat yang dikembangkan di suatu kawasan, karena
dianggap tidak mampu menjelaskan dan memecahkan problem masyarakat yang timbul.
Kedua, Pribumisasi merupakan metode alternatif terhadap
ketidakpuasan ilmuwan atas dominasi ilmu
sosial barat kepada ilmu sosial pribumi. Ketiga,
Dari kedua uraian diatas dapat dipahami bahwa makna terdalam pribumisasi adalah
pencarian identitas ilmu-ilmu sosial Indonesia
di tengah-tengah komunitas ilmu sosial lain.
DAFTAR PUSTAKA
Mikhael
Dua. (2011). Kebebasan Ilmu Pengetahua
dan Teknologi. Yogyakarta : Penerbit Kanisius
Muhammad Adib. (2011). Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Heri Santoso & Listyono Santoso (2003). Filsafat Ilmu Sosial. Yogyakarta : Gama
Media
H.M.
Rasjidi. (1984). Persoalan – Persoalan
Filsafat. Jakarta : Bulan Bintang.
http://paparisa.unpatti.ac.id diakses
pada 20 Agustus 2012
Jujun
Sumantri. (2005). Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Purwadi.
(2007). Filsafat Jawa dan kearifan lokal.
Yogyakarta: Panji Pustaka.
Surajiyo.
(2007). Filsafat Ilmu dan Perkembangannya
di Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara.
Win
Usuluddin Bernadien. (2011). Membuka
Gerbang Filsafat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Titus,
H.Harold., Smith S.M., & Nolan, T.R. (1984). Living issues in philosophy . (Terjemahan H.M Rasjidi). Jakarta:
Bulan Bintang (Buku asli diterbitkan tahun 1979).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar