Perkembangan ilmu pengetahuan yang
pesat, dalam pendangan beberapa filosof, telah menyebabkan manusia terjebak
dalam “perangkap” yang dibuatnya sendiri, atau berada dalam “keterasingan"
atau yang disebut Sayyed Husein Nasr dengan “Nestapa Manusia Modern”.
Berikanlah uraian saudara terhadap pandangan tersebut.
Jawaban
Paradoksal Ilmu Pengetahuan
Ilmu
pengetahuan dalam perkembangannya ternyata menimbulkan situasi yang paradoksal. Di satu sisi Ilmu
Pengetahuan menjadi simbol keunggulan dan kecerdasan manusia, tetapi di sisi
lain ilmu dapat menjadi sumber masalah yang yang dapat mengguncangkan pandangan
– pandangan tradisional tentang kodrat kita sebagai manusia. Sebab – sebab
terdalam dari kenyataan tersebut tidak dpat dipisahkan dari motif - motif
perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan tidak lagi hanya
menjadi simbol pergumulan manusia mencari kebenaran, tetapi juga menjadi sebuah
tugas untuk menyejahterakan manusia, disamping dalam kacamata modern ilmu
pengetahuan menempatkan manusia sebagai tuan dan pemilik atas alam.
Rene
Descrates menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan adalah sebagai faktor subyek
penyebab utama yang menumbuhkan kesadaran baru pada manusia tentang gagasan
baru / inovasi mengenai alam. Meski tidak dijelaskan secara eksplisit motif –
motif ekonomi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, Descrates merintis jalan
bahwa ilmu pengetahuan dapat menjadi “proyek teknologi” bagi kepentingan
bisnis. Ini berarti ilmu pengetahuan menyandang motif ekonomi untuk mempercepat
proses produksi, konsumsi dan distribusi. Dengan kata lain ilmu pengetahuan
tidak hanya berhenti pada usaha untuk mengungkapkan kebenaran mengenai dunia,
tetapi mengembangkan dirinya untuk mengubah alam sehingga alam memiliki
manfaat yang lebih besar bagi
kepentingan manusia.
Kejahatan Intelektual
Perkembangan
ilmu pengetahuan yang sangat pesat tersebut ternyata tidak serta merta membawa dampak
positif dalam perkembangan moral yang religius dari manusianya. Terbukti dengan
semakin menurunnya nilai-nilai moral yang dianut oleh setiap orang, bahkan membawa
manusia ke jurang kenistaan diri yaitu maraknya sikap hedonisme, materialistik
maupun individualistik. Seperti yang di
ungkapkan secara garis besar oleh Sayyed Hossein Nasr, yang mengambil contoh di
dunia Barat, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan malah menyebabkan manusia semakin
jauh dari nilai-nilai religius yang mengakui keberadaan Tuhan yang menciptakan
kehidupan. Bahkan dengan penemuan – penemuan baru ilmu pengetahuan manusia
menampilkan wajah destruktifnya, hasrat
untuk menerapkan perkembangan ilmu pengetahuan pada setiap kesempatan, sehingga
terjadilah pemaksaan yang merajalela dan membabibuta. Akibatnya ilmu
pengetahuan dan hasilnya menjadi tidak manusiawi lagi, bahkan justru
memperbudak manusia sendiri yang telah merencanakan dan menghasilkannya. Bertrand
Russell mencontohkan banyaknya ilmuwan yang terlibat dalam “kejahatan intelektual” mendukung kekuasaan politik, seperti Archimedes yang
membantu saudara sepupunya menjadi seorang tirani di Sirakusa melawan Romawi,
kemudian Albert Einstein yang menyarankan pembuatan bom atom yang digunakan
dalam Perang Dunia ke 2 untuk menghancurkan Nagasaki dan Hiroshima (Mikhael
Dua, 2011: 17).
Ilmu pengetahuan
dipakai juga sebagai alat rekayasa sosial untuk tujuan – tujuan tertentu sehingga menjadi salah satu faktor
tersembunyi berbagai bentuk ketidakadilan yang mengakibatkan kemiskinan dan
penderitaan masyarakat. Dalam fungsinya sebagai alat rekayasa sosial, ilmu
pengetahuan dan teknologi menjadi faktor utama bagi penghisapan terbuka maupun
terselubung atas nama kemanusiaan. Sifat
destruktif ini menimbulkan ketakutan bukan karena terjadinya peperangan yang
masih ada harapan untuk jalan perdamaian melalui perundingan, tetapi penerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi faktor paling menentukan dalam perusakan
lingkungan hidup dan karena itu hubungan kita dengan alam dan generasi penerus
(yang akan datang) menjadi taruhan yang sulit diatasi. Kondisi ini membuat
manusia sebagai pemikir dan penemu ilmu pengetahuan terperangkap dalam jaring –
jaring semestinya tidak diarahkan untuk penebarnya sendiri, yang hancur akibat
penemuan dan penelitian-penelitian yang telah dilakukannya. Inilah paradoksal
ilmu pengetahuan.
Kebesaran peradaban Barat
yang sampai saat ini menghegemoni dunia Timur ternyata didirikan berlandaskan fondasi
yang keropos. Secara kuantitatif pengetahuan akan dunia yang dimiliki Barat
memang mengagumkan dengan perkembangan yang terus menerus berjalan, namun
secara kualitatif pengetahuan tersebut sangatlah dangkal. Secara kuantitatif manusia telah menciptakan
keajaiban-keajaiban yang luar biasa dengan nalar pikir dan pengetahuan yang
mereka miliki dengan memunculkan penemuan-penemuan dalam dan melalui ilmu
pengetahuan yang dimanfaatkan bagi mereka dan umat manusia.
Sayyed Hossein Nasr menerangkan bahwa Dunia
menurut pandangan orang-orang modern (Barat) adalah dunia yang tidak memiliki
dimensi transendental. Bahkan di dalam dunia yang nyata ini segala sesuatu yang
tidak dapat ditangkap di dalam jaring sains modern secara kolektif diabaikan,
dan secara ‘objektif’ dinyatakan tidak ada.” Manusia Barat dengan segala
atribut pengetahuan yang telah mereka capai, mempersempit ruang gerak pikir dan
kemanusiaan mereka dengan hanya menyisakan dimensi duniawi dalam diri mereka
sebagai pengetahuan yang mereka anut dan terapkan, di sinilah letak kedangkalan
kualitas pengetahuan yang telah mereka anggap melampaui segalanya itu.
Kedangkalan kualitas pemikiran Barat ini yang hanya
bersifat keduniawian menganggap bahwa apa yang tidak bisa di jelaskan secara
ilmiah melalui penelitian adalah hal yang tidak penting dan hanya perlu
dikesampingkan. Anggapan dunia Barat tentang apa yang telah mereka capai dalam
perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat, semata-mata merupakan hasil kerja
keras mereka, tanpa adanya campur tangan Tuhan yang menciptakan kehidupan ini.
Sehingga kepintaran yang mereka miliki tidak di imbangi dengan adanya keyakinan
bahwa ada Zat yang lebih tinggi yang mengatur kehidupan ini. Maka yang terjadi
adalah cerdas dari segi intelegensinya namun tidak cerdas spiritual dan
emosionalnya.
Akhirnya eksplorasi dan eksperimentasi yang
dilakukan manusia harus memakan korban. Korban pertamanya tentu adalah bumi
yang dengan kekayaan alam yang dikandungnya dikeruk sedemikian rupa tanpa belas
kasih, hampir di manapun orang-orang Barat, terutama yang berperan dalam perang
dunia baik I maupun II, menjejakkan kaki. Dengan semangat Gold, Glory, Gospel,
mereka merambah hampir seluruh permukaan bumi. Sisa-sisa semangat ini sampai
kini masih berakar kuat dalam diri manusia-manusia modern. Terlihat dengan
aktivitas negara-negara maju yang saling berebut peran dalam kancah drama dunia
dengan tujuan mendapatkan segala kekayaan alam yang tersedia di muka bumi. Dan
yang terparah dari apa yang mereka hasilkan dengan industrialisasi yang dimulai
sejak revolusi Industri adalah kerusakan dan pencemaran alam yang tidak
bertanggung jawab sebagai ekses negatif dari apa anthroposentrisme yang telah
mendarah daging dalam diri orang-orang Barat. Tidak ada lagi kembalinya
tanggung jawab yang diemban, karena Tuhan telah ditiadakan, menjadikan
manusia-manusia modern bertindak sesuka hati memperlakukan alam ini. Dan kini
sepertinya ada semacam kesadaran semu, bahwa alamlah tempat kembali tanggung
jawab itu ada. Katakutan pada bencana alam membuat manusia mengalami krisis
spiritualitas lupa pada siapa mereka bergantung. Ketakutan yang mereka ciptakan
sendiri akhirnya sedikit menyadarkan mereka.
Perilaku yang diadopsi dari Barat akibat faktor
kapitalisme tanpa menyadari dampak yang bisa ditimbulkan dari pemikiran
tersebut. Eksploitasi terhadap alam yang dilakukan oleh manusia modern sekarang
ini, kita bisa mengambil contoh di negara kita sendiri, sekarang banyak sekali
terjadi bencana-bencana alam yang tak lain terjadi karena ulah manusia.
Penebangan illegal logging (hutan
secara liar, untuk membuka perkebunan-perkebunan baru, atau mengambil kayunya),
pertambangan hasil-hasil bumi yang tidak lagi memperhatikan keseimbangan
ekosistem lingkungan hidup. Kasus pembakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera,
lumpur Lapindo, tambang timah di Bangka Belitung, pertambangan di PT. Freeport,
dan masih banyak kasus kerusakan alam yang disebabkan ulah manusia yang hanya
memandang segala sesuatunya dari segi ekonomisnya.
Jika kita mampu mengendalikan diri dalam mengolah
hasil-hasil alam, kerusakan-kerusakan ekosistem bisa di minimalisir sehingga
alam akan lebih bersahabat dengan kita. Namun yang sekarang terjadi manusia
modern lebih memandang segala sesuatunya itu dari segi ekonomis yang
menguntungkan tanpa menggunakan nilai-nilai religius yang ada dalam
keyakinannya masing-masing. Tanpa menghadirkan Tuhan dalam kehidupannya
seolah-olah manusia modern terjebak dalam perangkap yang mereka buat sendiri.
Jika kita memandang masalah ini dalam kacamata Islam sebagai agama mayoritas
yang kita anut, maka sudah saatnya kita merenungkan setiap kesalahan-kesalahan
yang terjadi dewasa ini.
Ketika Barat telah berhasil menciptakan sebuah peradaban
fisik yang luar biasa kemajuannya, dunia Islam mengalami titik balik kemajuan
dengan segala bentuk keterbelakangan yang dideritanya. Dan lebih khususnya lagi
seorang dengan identitas Islam akan benar-benar dihadapkan dengan berbagai
permasalahan terkait dengan modernisme yang kiat menggerus identitas
keislamannya. Saat ini perubahan destruktif telah melanda dunia Timur termasuk
Islam yang ada di dalamnya. Modernisme bergerak terus dan semakin menipiskan hal-hal
yang bersifat spiritual di dunia Timur, sedangkan Barat tidaklah begitu
menerima dampak buruk modernisme kecuali krisis identitas dan ancaman bencana
alam, dan untuk yang kedua ini tentu di manapun manusia berada tentu juga
terancam dengan keberadaan ancaman amukan alam yang mulai memanas.
Selain itu dunia Timur tidak pernah belajar dari
kesalahan yang telah ada di Barat, atau memang tidak mampu melihat itu sebagai
kesalahan, karena sudah menjadi ciri modernisme yang begitu menjanjikan
keindahan. “Seharusnya Timur menjadikan Barat sebagai sebuah studi kasus,
tetapi tidak sebagai teladan yang harus ditiru secara mentah-mentah.”. Saya setuju dengan pendapat dari Hossein Nasr, kita tidak seharusnya menerima secara
langsung saja, apa yang ditemukan di dunia Barat, karena jelas sangat berbeda
dengan kita dunia Timur yang memiliki banyak sekali nilai-nilai yang harus di
junjung, baik itu agama, adat istiadat, kesopanan dan lainnya. Berbagai
penemuan di dunia Barat selayaknya kita pilah mana yang bisa diterapkan dan
mana yang tidak, sehingga tidak terjadi yang seperti sekarang ini. Kebanyakan kita hanya menjadi
pemulung teori-teori Barat tanpa bisa menemukan teori-teori baru yang tentunya
lebih relevan dengan budaya Timur kita.
Suatu
gambaran yang menunjukkan realitas kehidupan modern dimana menghadapi dunia
yang mengecewakan, karena sulit untuk menyesuaikan diri dengan keadaan hidup
sehari-hari. Manusia modern hidup dalam sebuah dunia sosial yang terdiri dari
nilai-nilai yang berat sebelah dan bertentangan yang tidak dapat memberikan
suatu kepastian akhir kehidupan. Manusia modern dihadapkan pada tanggung jawab
dan pilihan di antara nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru.
Dehumanisasi Ilmu Pengetahuan
Keberadaan
teknologi sebagai hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan yang diciptakan
manusia, menurut Heidegger bahwa manusia berada dalam kungkungan sistem
teknologi yang telah diciptakannya, tanpa disadarinya. Teknologi modern
mengembangkan diri dan memiliki kecederungan untuk menempatkan dirinya sebagai
pusat kegiatan. Manusiapun tidak dapat melepaskan diri dari kondisi seperti itu
dalam pengertian bahwa manusia seakan – akan terlempar atau terjebak dalam
sebuah cara pandang instrumental teknologi (produk ilmu pengetahuan). Manusia
tidak lagi menjadi manusia yang bebas sesuai dengan predikatnya sebagai manusia
rasional. Dalam perspektif seperti ini dunia tidak pernah menjadi sesuatu yang
dapat menjadi dirinya sendiri dan dapat didekati dengan cara reciprocal care.
Heidegger
merumuskan bahwa semakin maju ilmu pengetahuan dan teknologi maka manusia akan
semakin menguasai alam dan manusia tidak lagi akan mampu menguasai akibat –
akibat yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi (Mikhael Dua, 2011:
63). Manusia semestinya merupakan subyek moral yang seharusnya bertanggungjawab
terhadap seluruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun manusia
tidak mampu mengontrol proses revealing
teknologi, dimana realitas teknologi dapat menampakkan dirinya. Produk ilmu
pengetahuan menyebabkan kita terjebak dalam jejaring teknologis yang mengontrol
tingkah laku dan tindakan – tindakan
manusia, yang oleh Herbert Marcuse dalam bukunya One Dimensional Man disebut sebagai produk pengetahuan menjadi
sebuah miliu yang menentukan bagaimana peradaban sebuah masyarakat akan
dibangun.
Manusia memang diberi pengetahuan
oleh Tuhan, yang mengejawantah kemudian dalam bentuk ilmu pengetahuan. Kualitas
dan kuantitas ilmu pengetahuan setiap orang tidaklah sama. Alasan ini dapat
diterima karena manusia memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang berbeda-beda.
Dengan latar belakang inilah maka manusia berusaha mengembangkan ilmu
pengetahuan, baik dalam proses yang sangat sederhana yang dapat dilihat dalam
perkembangan sejarah manusia secara alami, maupun pada orang-orang yang lebih
disebut dengan kaum intelek yang sengaja membawa misi untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan. (T. Jacob, 1996: 5) memaparkan bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu
institusi kebudayaan, suatu kegiatan manusia untuk mengetahui tentang diri
sendiri dan alam sekitarnya dengan tujuan untuk mengenal manusia sendiri,
perubahan-perubahan yang dialami dan cara mencegahnya, mendorong atau
mengarahkannya, serta mengenal lingkungan yang dekat dan jauh darinya,
perubahan-perubahan lingkungan dan variasinya, untuk memanfaatkan, menghindari
dan mengendalikannya.
Bagian pengenalan merupakan dasar
yang diperlukan oleh bagian tindakan, sehingga terdiferensiasilah ilmu dasar
dan ilmu terapan. Ilmu terapan lebih dapat dilihat hasilnya dan dapat dirasakan
oleh siapapun juga, entah itu bermanfaat atau tidak, menguntungkan atau justru
merugikan (berdampak negatif). Maka dalam permasalahan ini muncul perbedaan pendapat
mengenai kenetralan dan keobjektifan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu
diperlukan adanya hukum, adat, agama, dan etika untuk mengendalikanilmu
pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan berkembang seiring dengan usia
manusia, artinya ilmu pengetahuan baru akan berhenti tatkala manusia sudah
tidak ada, karena hanya manusia yang diberi ilmu. Dalam perkembangannya, ilmu
pengetahuan berkembang mengikuti misi si pengembang, atau lebih dikenal
kemudian dengan sebutan para ilmuwan. Sebenarnya setiap manusia mampu
menciptakan ilmu, tetapi kenyataan praktis secara implisit manusia hanya
mengakui hasil pengetahuan yang diciptakan oleh para ilmuwan. Artinya, yang
mendapat pengakuan adalah pengetahuan ilmiah dan pengetahuan non ilmiah yang
sudah dinobatkan sebagai ilmu pengetahuan yang sah. Maka ilmu pengetahuan
kemudian dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu kelompok ilmu pengetahuan alam
dan ilmu pengetahuan sosial.
Ilmu sebagai hasil aktivitas
manusia yang mengkaji berbagai hal, baik diri manusia itu sendiri maupun
realitas di luar dirinya, sepanjang sejarah perkembangannya sampai saat ini
senantiasa mengalami ketegangan dengan berbagai aspek lain dalam kehidupan
manusia (Tjahyadi S., 1996: 125). Dalam prakteknya orang senantiasa
memperbincangkan hubungan timbal-balik antara ilmu dan teknologi. Dalam dataran
nilai, polemik yang muncul justru lebih kompleks, karena hal itu berhubungan
erat dengan kedudukan dan peran ilmu dan teknologi dalam perubahan peradaban
manusia, baik yang berhubungan dengan pergeseran nilai maupun dampak dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap komponen-komponen
pengetahuan manusia yang lain. Kerapkali munculnya polemik antara terjadinya
gejala marginalisasi (penggeseran) nilai maupun aspek pengetahuan menjadi lain
apabila dihadapkan dengan kebenaran ilmiah. Bukan itu saja, ternyata bila
diadakan pengujian terhadap kebenaran ilmiah dengan parameter teknologi
mutakhir, maka hasil yang dicapai dengan yang diharapkan akan berbeda. Meluas
dan meningkatnya peran “ilmu” dan “teknologi” tidak dipungkiri telah membawa
keterasingan (alienasi) manusia dari dirinya sendiri dan masyarakat, atau yang
oleh Herbert Marcuse dalam Sudarminta, (1983: 121-139) hal ini mengantar
manusia pada suatu kondisi yang berdimensi satu. Dimensi satu itu dimaksudkan
adalah dimensi teknologis, yang dapat dilihat dalam kehidupan sosio-budayanya.
Manusia dan kebudayaannya telah “dikuasai” oleh ilmu dan teknologi. Apakah
dengan ini maka ilmu telah menghilangkan kemanusiaan dan otonomi manusia?
Dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan, para ilmuwan mengambil objek material sesuai dengan kebutuhan.
Hasil terapan pengembangan ilmu pengetahuan lalu disebut dengan teknologi.
Bahkan dalam kesejarahan, abad modern ini dikatakan sarat dengan teknologi,
karena para ilmuwan berlomba-lomba mengembangkan ilmu pengetahuannya.
Pengembangan ini dilakukan semata-mata memecahkan masalah kehidupan dan
memenuhi kebutuhan manusia. Dahulu manusia dengan kepercayaan bahwa Tuhan telah
menguasai dan mengatasi alam semesta. Manusia bisa menciptakan apa saja dari
objek alam. Manusia bisa sampai ke bulan dengan teknologi. Sekarang dengan
adanya teknologi, manusia yang dulunya menjadi subjek (pelaku) pengembangan
ilmu pengetahuan, dirinya telah menjadi objek bagi kegiatannya itu. Kebudayaan
ini menandakan bahwa telah terjadi pergeseran nilai dalam hidup manusia.
Manusia telah menjadi korban teknologi. Kebanyakan manusia telah terjerumus ke
dalam lubang yang telah dibuatnya sendiri. Apakah memang tuntutan jaman manusia
harus mengalami demikian, atau ini merupakan isyarat bahwa mulai nampak
keserakahan manusia ? .
Bukan berarti menakut-nakuti para
awam, bahwa manusia merupakan korban teknologi. Teknologi diciptakan dengan
tendensi memenuhi kebutuhan manusia, tetapi ketika para ilmuwan berusaha
mewujudkannya, teknologi justru membawa dampak keresahan dan bayangan
kehancuran hidup manusia, bahkan teknologi tidak jarang mulai menghilangkan
nilai-nilai kemanusiaan murni. Maka benar bila dikatakan bahwa teknologi
menciptakan dehumanisasi. Kalau demikian maka betapa kejamnya yang dinamakan
teknologi tersebut. Kalau terjadi sesuatu terhadap alam sebagai akibat yang
ditimbulkan teknologi, manusia masih bisa tenang. Namun ketika nilai-nilai
vital dalam hidupnya mulai terusik, maka manusia respek terhadap gejala
tersebut. Manusia tidak mau kehilangan kemanusiaannya. Tapi yang menciptakan
teknologi tidak lain adalah manusia sendiri, maka mana yang harus dituding sebagai
biang penyimpangan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar