SIGIT KINDARTO

"SELAMAT DATANG DI BLOG SANG OEMAR BAKRI"

Sabtu, 03 November 2012

Nestapa Manusia Modern




        Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat, dalam pendangan beberapa filosof, telah menyebabkan manusia terjebak dalam “perangkap” yang dibuatnya sendiri, atau berada dalam “keterasingan" atau yang disebut Sayyed Husein Nasr dengan “Nestapa Manusia Modern”. Berikanlah uraian saudara terhadap pandangan tersebut.
Jawaban
Paradoksal Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan dalam perkembangannya ternyata menimbulkan situasi yang paradoksal. Di satu sisi Ilmu Pengetahuan menjadi simbol keunggulan dan kecerdasan manusia, tetapi di sisi lain ilmu dapat menjadi sumber masalah yang yang dapat mengguncangkan pandangan – pandangan tradisional tentang kodrat kita sebagai manusia. Sebab – sebab terdalam dari kenyataan tersebut tidak dpat dipisahkan dari motif - motif perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan tidak lagi hanya menjadi simbol pergumulan manusia mencari kebenaran, tetapi juga menjadi sebuah tugas untuk menyejahterakan manusia, disamping dalam kacamata modern ilmu pengetahuan menempatkan manusia sebagai tuan dan pemilik atas alam.
Rene Descrates menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan adalah sebagai faktor subyek penyebab utama yang menumbuhkan kesadaran baru pada manusia tentang gagasan baru / inovasi mengenai alam. Meski tidak dijelaskan secara eksplisit motif – motif ekonomi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, Descrates merintis jalan bahwa ilmu pengetahuan dapat menjadi “proyek teknologi” bagi kepentingan bisnis. Ini berarti ilmu pengetahuan menyandang motif ekonomi untuk mempercepat proses produksi, konsumsi dan distribusi. Dengan kata lain ilmu pengetahuan tidak hanya berhenti pada usaha untuk mengungkapkan kebenaran mengenai dunia, tetapi mengembangkan dirinya untuk mengubah alam sehingga alam memiliki manfaat  yang lebih besar bagi kepentingan manusia.

Kejahatan Intelektual
Perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat tersebut ternyata tidak serta merta membawa dampak positif dalam perkembangan moral yang religius dari manusianya. Terbukti dengan semakin menurunnya nilai-nilai moral yang dianut oleh setiap orang, bahkan membawa manusia ke jurang kenistaan diri yaitu maraknya sikap hedonisme, materialistik maupun individualistik.  Seperti yang di ungkapkan secara garis besar oleh Sayyed Hossein Nasr, yang mengambil contoh di dunia Barat, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan malah menyebabkan manusia semakin jauh dari nilai-nilai religius yang mengakui keberadaan Tuhan yang menciptakan kehidupan. Bahkan dengan penemuan – penemuan baru ilmu pengetahuan manusia menampilkan wajah destruktifnya, hasrat untuk menerapkan perkembangan ilmu pengetahuan pada setiap kesempatan, sehingga terjadilah pemaksaan yang merajalela dan membabibuta. Akibatnya ilmu pengetahuan dan hasilnya menjadi tidak manusiawi lagi, bahkan justru memperbudak manusia sendiri yang telah merencanakan dan menghasilkannya. Bertrand Russell mencontohkan banyaknya ilmuwan yang terlibat dalam “kejahatan intelektual” mendukung kekuasaan politik, seperti Archimedes yang membantu saudara sepupunya menjadi seorang tirani di Sirakusa melawan Romawi, kemudian Albert Einstein yang menyarankan pembuatan bom atom yang digunakan dalam Perang Dunia ke 2 untuk menghancurkan Nagasaki dan Hiroshima (Mikhael Dua, 2011: 17).
Ilmu pengetahuan dipakai juga sebagai alat rekayasa sosial untuk tujuan – tujuan  tertentu sehingga menjadi salah satu faktor tersembunyi berbagai bentuk ketidakadilan yang mengakibatkan kemiskinan dan penderitaan masyarakat. Dalam fungsinya sebagai alat rekayasa sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi faktor utama bagi penghisapan terbuka maupun terselubung  atas nama kemanusiaan. Sifat destruktif ini menimbulkan ketakutan bukan karena terjadinya peperangan yang masih ada harapan untuk jalan perdamaian melalui perundingan, tetapi penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi faktor paling menentukan dalam perusakan lingkungan hidup dan karena itu hubungan kita dengan alam dan generasi penerus (yang akan datang) menjadi taruhan yang sulit diatasi. Kondisi ini membuat manusia sebagai pemikir dan penemu ilmu pengetahuan terperangkap dalam jaring – jaring semestinya tidak diarahkan untuk penebarnya sendiri, yang hancur akibat penemuan dan penelitian-penelitian yang telah dilakukannya. Inilah paradoksal ilmu pengetahuan.
Kebesaran peradaban Barat yang sampai saat ini menghegemoni dunia Timur ternyata didirikan berlandaskan fondasi yang keropos. Secara kuantitatif pengetahuan akan dunia yang dimiliki Barat memang mengagumkan dengan perkembangan yang terus menerus berjalan, namun secara kualitatif pengetahuan tersebut sangatlah dangkal. Secara kuantitatif manusia telah menciptakan keajaiban-keajaiban yang luar biasa dengan nalar pikir dan pengetahuan yang mereka miliki dengan memunculkan penemuan-penemuan dalam dan melalui ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan bagi mereka dan umat manusia.
                 Sayyed Hossein Nasr menerangkan bahwa Dunia menurut pandangan orang-orang modern (Barat) adalah dunia yang tidak memiliki dimensi transendental. Bahkan di dalam dunia yang nyata ini segala sesuatu yang tidak dapat ditangkap di dalam jaring sains modern secara kolektif diabaikan, dan secara ‘objektif’ dinyatakan tidak ada.” Manusia Barat dengan segala atribut pengetahuan yang telah mereka capai, mempersempit ruang gerak pikir dan kemanusiaan mereka dengan hanya menyisakan dimensi duniawi dalam diri mereka sebagai pengetahuan yang mereka anut dan terapkan, di sinilah letak kedangkalan kualitas pengetahuan yang telah mereka anggap melampaui segalanya itu.
                 Kedangkalan kualitas pemikiran Barat ini yang hanya bersifat keduniawian menganggap bahwa apa yang tidak bisa di jelaskan secara ilmiah melalui penelitian adalah hal yang tidak penting dan hanya perlu dikesampingkan. Anggapan dunia Barat tentang apa yang telah mereka capai dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat, semata-mata merupakan hasil kerja keras mereka, tanpa adanya campur tangan Tuhan yang menciptakan kehidupan ini. Sehingga kepintaran yang mereka miliki tidak di imbangi dengan adanya keyakinan bahwa ada Zat yang lebih tinggi yang mengatur kehidupan ini. Maka yang terjadi adalah cerdas dari segi intelegensinya namun tidak cerdas spiritual dan emosionalnya.
                 Akhirnya eksplorasi dan eksperimentasi yang dilakukan manusia harus memakan korban. Korban pertamanya tentu adalah bumi yang dengan kekayaan alam yang dikandungnya dikeruk sedemikian rupa tanpa belas kasih, hampir di manapun orang-orang Barat, terutama yang berperan dalam perang dunia baik I maupun II, menjejakkan kaki. Dengan semangat Gold, Glory, Gospel, mereka merambah hampir seluruh permukaan bumi. Sisa-sisa semangat ini sampai kini masih berakar kuat dalam diri manusia-manusia modern. Terlihat dengan aktivitas negara-negara maju yang saling berebut peran dalam kancah drama dunia dengan tujuan mendapatkan segala kekayaan alam yang tersedia di muka bumi. Dan yang terparah dari apa yang mereka hasilkan dengan industrialisasi yang dimulai sejak revolusi Industri adalah kerusakan dan pencemaran alam yang tidak bertanggung jawab sebagai ekses negatif dari apa anthroposentrisme yang telah mendarah daging dalam diri orang-orang Barat. Tidak ada lagi kembalinya tanggung jawab yang diemban, karena Tuhan telah ditiadakan, menjadikan manusia-manusia modern bertindak sesuka hati memperlakukan alam ini. Dan kini sepertinya ada semacam kesadaran semu, bahwa alamlah tempat kembali tanggung jawab itu ada. Katakutan pada bencana alam membuat manusia mengalami krisis spiritualitas lupa pada siapa mereka bergantung. Ketakutan yang mereka ciptakan sendiri akhirnya sedikit menyadarkan mereka.
                 Perilaku yang diadopsi dari Barat akibat faktor kapitalisme tanpa menyadari dampak yang bisa ditimbulkan dari pemikiran tersebut. Eksploitasi terhadap alam yang dilakukan oleh manusia modern sekarang ini, kita bisa mengambil contoh di negara kita sendiri, sekarang banyak sekali terjadi bencana-bencana alam yang tak lain terjadi karena ulah manusia. Penebangan illegal logging (hutan secara liar, untuk membuka perkebunan-perkebunan baru, atau mengambil kayunya), pertambangan hasil-hasil bumi yang tidak lagi memperhatikan keseimbangan ekosistem lingkungan hidup. Kasus pembakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera, lumpur Lapindo, tambang timah di Bangka Belitung, pertambangan di PT. Freeport, dan masih banyak kasus kerusakan alam yang disebabkan ulah manusia yang hanya memandang segala sesuatunya dari segi ekonomisnya.
                 Jika kita mampu mengendalikan diri dalam mengolah hasil-hasil alam, kerusakan-kerusakan ekosistem bisa di minimalisir sehingga alam akan lebih bersahabat dengan kita. Namun yang sekarang terjadi manusia modern lebih memandang segala sesuatunya itu dari segi ekonomis yang menguntungkan tanpa menggunakan nilai-nilai religius yang ada dalam keyakinannya masing-masing. Tanpa menghadirkan Tuhan dalam kehidupannya seolah-olah manusia modern terjebak dalam perangkap yang mereka buat sendiri. Jika kita memandang masalah ini dalam kacamata Islam sebagai agama mayoritas yang kita anut, maka sudah saatnya kita merenungkan setiap kesalahan-kesalahan yang terjadi dewasa ini.
                 Ketika Barat telah berhasil menciptakan sebuah peradaban fisik yang luar biasa kemajuannya, dunia Islam mengalami titik balik kemajuan dengan segala bentuk keterbelakangan yang dideritanya. Dan lebih khususnya lagi seorang dengan identitas Islam akan benar-benar dihadapkan dengan berbagai permasalahan terkait dengan modernisme yang kiat menggerus identitas keislamannya. Saat ini perubahan destruktif telah melanda dunia Timur termasuk Islam yang ada di dalamnya. Modernisme bergerak terus dan semakin menipiskan hal-hal yang bersifat spiritual di dunia Timur, sedangkan Barat tidaklah begitu menerima dampak buruk modernisme kecuali krisis identitas dan ancaman bencana alam, dan untuk yang kedua ini tentu di manapun manusia berada tentu juga terancam dengan keberadaan ancaman amukan alam yang mulai memanas.
                 Selain itu dunia Timur tidak pernah belajar dari kesalahan yang telah ada di Barat, atau memang tidak mampu melihat itu sebagai kesalahan, karena sudah menjadi ciri modernisme yang begitu menjanjikan keindahan. “Seharusnya Timur menjadikan Barat sebagai sebuah studi kasus, tetapi tidak sebagai teladan yang harus ditiru secara mentah-mentah.”. Saya setuju dengan pendapat dari Hossein Nasr,  kita tidak seharusnya menerima secara langsung saja, apa yang ditemukan di dunia Barat, karena jelas sangat berbeda dengan kita dunia Timur yang memiliki banyak sekali nilai-nilai yang harus di junjung, baik itu agama, adat istiadat, kesopanan dan lainnya. Berbagai penemuan di dunia Barat selayaknya kita pilah mana yang bisa diterapkan dan mana yang tidak, sehingga tidak terjadi yang seperti  sekarang ini. Kebanyakan kita hanya menjadi pemulung teori-teori Barat tanpa bisa menemukan teori-teori baru yang tentunya lebih relevan dengan budaya Timur kita.
Suatu gambaran yang menunjukkan realitas kehidupan modern dimana menghadapi dunia yang mengecewakan, karena sulit untuk menyesuaikan diri dengan keadaan hidup sehari-hari. Manusia modern hidup dalam sebuah dunia sosial yang terdiri dari nilai-nilai yang berat sebelah dan bertentangan yang tidak dapat memberikan suatu kepastian akhir kehidupan. Manusia modern dihadapkan pada tanggung jawab dan pilihan di antara nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru.
Dehumanisasi  Ilmu Pengetahuan
Keberadaan teknologi sebagai hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan yang diciptakan manusia, menurut Heidegger bahwa manusia berada dalam kungkungan sistem teknologi yang telah diciptakannya, tanpa disadarinya. Teknologi modern mengembangkan diri dan memiliki kecederungan untuk menempatkan dirinya sebagai pusat kegiatan. Manusiapun tidak dapat melepaskan diri dari kondisi seperti itu dalam pengertian bahwa manusia seakan – akan terlempar atau terjebak dalam sebuah cara pandang instrumental teknologi (produk ilmu pengetahuan). Manusia tidak lagi menjadi manusia yang bebas sesuai dengan predikatnya sebagai manusia rasional. Dalam perspektif seperti ini dunia tidak pernah menjadi sesuatu yang dapat menjadi dirinya sendiri dan dapat didekati dengan cara reciprocal care.
Heidegger merumuskan bahwa semakin maju ilmu pengetahuan dan teknologi maka manusia akan semakin menguasai alam dan manusia tidak lagi akan mampu menguasai akibat – akibat yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi (Mikhael Dua, 2011: 63). Manusia semestinya merupakan subyek moral yang seharusnya bertanggungjawab terhadap seluruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun manusia tidak mampu mengontrol proses revealing teknologi, dimana realitas teknologi dapat menampakkan dirinya. Produk ilmu pengetahuan menyebabkan kita terjebak dalam jejaring teknologis yang mengontrol tingkah laku  dan tindakan – tindakan manusia, yang oleh Herbert Marcuse dalam bukunya One Dimensional Man disebut sebagai produk pengetahuan menjadi sebuah miliu yang menentukan bagaimana peradaban sebuah masyarakat akan dibangun.
Manusia memang diberi pengetahuan oleh Tuhan, yang mengejawantah kemudian dalam bentuk ilmu pengetahuan. Kualitas dan kuantitas ilmu pengetahuan setiap orang tidaklah sama. Alasan ini dapat diterima karena manusia memiliki latar belakang  pendidikan dan pengalaman yang berbeda-beda. Dengan latar belakang inilah maka manusia berusaha mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dalam proses yang sangat sederhana yang dapat dilihat dalam perkembangan sejarah manusia secara alami, maupun pada orang-orang yang lebih disebut dengan kaum intelek yang sengaja membawa misi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. (T. Jacob, 1996: 5) memaparkan bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu institusi kebudayaan, suatu kegiatan manusia untuk mengetahui tentang diri sendiri dan alam sekitarnya dengan tujuan untuk mengenal manusia sendiri, perubahan-perubahan yang dialami dan cara mencegahnya, mendorong atau mengarahkannya, serta mengenal lingkungan yang dekat dan jauh darinya, perubahan-perubahan lingkungan dan variasinya, untuk memanfaatkan, menghindari dan mengendalikannya.
Bagian pengenalan merupakan dasar yang diperlukan oleh bagian tindakan, sehingga terdiferensiasilah ilmu dasar dan ilmu terapan. Ilmu terapan lebih dapat dilihat hasilnya dan dapat dirasakan oleh siapapun juga, entah itu bermanfaat atau tidak, menguntungkan atau justru merugikan (berdampak negatif). Maka dalam permasalahan ini muncul perbedaan pendapat mengenai kenetralan dan keobjektifan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu diperlukan adanya hukum, adat, agama, dan etika untuk mengendalikanilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan berkembang seiring dengan usia manusia, artinya ilmu pengetahuan baru akan berhenti tatkala manusia sudah tidak ada, karena hanya manusia yang diberi ilmu. Dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan berkembang mengikuti misi si pengembang, atau lebih dikenal kemudian dengan sebutan para ilmuwan. Sebenarnya setiap manusia mampu menciptakan ilmu, tetapi kenyataan praktis secara implisit manusia hanya mengakui hasil pengetahuan yang diciptakan oleh para ilmuwan. Artinya, yang mendapat pengakuan adalah pengetahuan ilmiah dan pengetahuan non ilmiah yang sudah dinobatkan sebagai ilmu pengetahuan yang sah. Maka ilmu pengetahuan kemudian dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu kelompok ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial.
Ilmu sebagai hasil aktivitas manusia yang mengkaji berbagai hal, baik diri manusia itu sendiri maupun realitas di luar dirinya, sepanjang sejarah perkembangannya sampai saat ini senantiasa mengalami ketegangan dengan berbagai aspek lain dalam kehidupan manusia (Tjahyadi S., 1996: 125). Dalam prakteknya orang senantiasa memperbincangkan hubungan timbal-balik antara ilmu dan teknologi. Dalam dataran nilai, polemik yang muncul justru lebih kompleks, karena hal itu berhubungan erat dengan kedudukan dan peran ilmu dan teknologi dalam perubahan peradaban manusia, baik yang berhubungan dengan pergeseran nilai maupun dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap komponen-komponen pengetahuan manusia yang lain. Kerapkali munculnya polemik antara terjadinya gejala marginalisasi (penggeseran) nilai maupun aspek pengetahuan menjadi lain apabila dihadapkan dengan kebenaran ilmiah. Bukan itu saja, ternyata bila diadakan pengujian terhadap kebenaran ilmiah dengan parameter teknologi mutakhir, maka hasil yang dicapai dengan yang diharapkan akan berbeda. Meluas dan meningkatnya peran “ilmu” dan “teknologi” tidak dipungkiri telah membawa keterasingan (alienasi) manusia dari dirinya sendiri dan masyarakat, atau yang oleh Herbert Marcuse dalam Sudarminta, (1983: 121-139) hal ini mengantar manusia pada suatu kondisi yang berdimensi satu. Dimensi satu itu dimaksudkan adalah dimensi teknologis, yang dapat dilihat dalam kehidupan sosio-budayanya. Manusia dan kebudayaannya telah “dikuasai” oleh ilmu dan teknologi. Apakah dengan ini maka ilmu telah menghilangkan kemanusiaan dan otonomi manusia?
Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, para ilmuwan mengambil objek material sesuai dengan kebutuhan. Hasil terapan pengembangan ilmu pengetahuan lalu disebut dengan teknologi. Bahkan dalam kesejarahan, abad modern ini dikatakan sarat dengan teknologi, karena para ilmuwan berlomba-lomba mengembangkan ilmu pengetahuannya. Pengembangan ini dilakukan semata-mata memecahkan masalah kehidupan dan memenuhi kebutuhan manusia. Dahulu manusia dengan kepercayaan bahwa Tuhan telah menguasai dan mengatasi alam semesta. Manusia bisa menciptakan apa saja dari objek alam. Manusia bisa sampai ke bulan dengan teknologi. Sekarang dengan adanya teknologi, manusia yang dulunya menjadi subjek (pelaku) pengembangan ilmu pengetahuan, dirinya telah menjadi objek bagi kegiatannya itu. Kebudayaan ini menandakan bahwa telah terjadi pergeseran nilai dalam hidup manusia. Manusia telah menjadi korban teknologi. Kebanyakan manusia telah terjerumus ke dalam lubang yang telah dibuatnya sendiri. Apakah memang tuntutan jaman manusia harus mengalami demikian, atau ini merupakan isyarat bahwa mulai nampak keserakahan manusia ? .
Bukan berarti menakut-nakuti para awam, bahwa manusia merupakan korban teknologi. Teknologi diciptakan dengan tendensi memenuhi kebutuhan manusia, tetapi ketika para ilmuwan berusaha mewujudkannya, teknologi justru membawa dampak keresahan dan bayangan kehancuran hidup manusia, bahkan teknologi tidak jarang mulai menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan murni. Maka benar bila dikatakan bahwa teknologi menciptakan dehumanisasi. Kalau demikian maka betapa kejamnya yang dinamakan teknologi tersebut. Kalau terjadi sesuatu terhadap alam sebagai akibat yang ditimbulkan teknologi, manusia masih bisa tenang. Namun ketika nilai-nilai vital dalam hidupnya mulai terusik, maka manusia respek terhadap gejala tersebut. Manusia tidak mau kehilangan kemanusiaannya. Tapi yang menciptakan teknologi tidak lain adalah manusia sendiri, maka mana yang harus dituding sebagai biang penyimpangan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar