MEWUJUDKAN KEDAULATAN AKADEMIK
(PROSES INDIGENOUSASI ILMU SOSIAL
DI INDONESIA)
Mata
Kuliah : Filsafat Ilmu
Dominasi pengaruh Ilmu
– Ilmu Sosial Eropa atau Amerika terhadap perkembangan Ilmu – Ilmu Sosial di
Asia termasuk Indonesia dirsakan dalam kurun waktu yang telah lama, bahkan
sejak sebelum kemerdekaan.
Kondisi ini
mengkaibatkan perkembangan ilmu – ilmu sosial di Indonesia khususnya dan Asia pada
umumnya berada pada keadaan yang tergantung pada dinamika Barat (Captive mind), hal ini tentu menimbulkan
keprihatinan yang mendalam pada praktisi ilmu bidang ilmu – ilmu sosial.
Stagnasi ilmu – ilmu
sosial ini menjadi pemicu bagi intelektual Asia – Indonesia untuk mengembangkan
kajiannya. Untuk Merealisasikan keinginan tersebut pada tahun 1970-an Ismail
Raji Al-Faruqi menyampaikan ide – ide tentang Islamisasi Ilmu – Ilmu Sosial
Kontemporer. Langkah ini mendapat dukungan dari Naquib Al-Attas yang juga mendorong
dilakukannya Islamisasi ilmu – ilmu secara luas dengan memasukkan unsur-unsur
Islam dalam ilmu – ilmu komtemporer.
Hal penting yang menjadi
pandangan dua intelektual ini, Ismail Raji Al-Faruqi dan Naquib Al-Attas adalah
:
1.
Pengamatannya mengenai fenomena
kebiasaan ilmuwan Asia yang menggunakan kaidah – kaidah Barat seperti metode,
analisis, deskripsi, eksplanasi, generalisasi, konseptuaslisasi dan
intepretasi.
2.
Ilmuwan Asia – Indonesia telah berusaha
untuk keluar dari kungkungan kebergantuan intelektual Barat, tetapi usaha yang
dilakukannya belum terstruktur, melembaga dan sistematis.
3.
Membangun suatu diskursus alternatif
ilmu – ilmu sosial di luar arus besar diskursus Ilmu – Ilmu Sosial Barat.
Menurut
Syed Farid Alatas tingkat keterganungan akademis di Asia dipandang pararel
dengan tingkat ketergantungan ekonomi. Tingkat ketergantungan akademis itu
diantaranya kebergantungan pada :
1.
gagasan
2.
media gagasan
3.
teknologi pendidikan
4.
bantuan riset dan pengajaran
5.
investasi pendidikan
6.
ketrampilan
Prof.
Kuntojoyo menjadi pionir bagi intelektual Indonesia yang berani melakukan
gugatan akademis Barat. Hal yang telah dilakukannya adalah dengan melakukan
mencoba membuka pemikiran pentingnya Ilmu Sosial Profetik. Kemudian
ditindaklanjuti dengan hal yang bersifta praksis. Melalui prophetic education ini diyakini mampu melahirkan perspektif
teoritis yang sesuai dengan konteks keindonesiaan / ketimuran sehingga dominasi
intektual barat terhadap ilmu – ilmu sosial dapat dikurangi bahkan sampai taraf
zero influence.
Buku
“Menuju Indigenousasi Ilmu Sosial Indonesia : Sebuah Gugatan atas Penjajahan
Akademik” ini terbagi dalam tiga kajian besar yaitu :
Pertama,
membahas teori dan konsep ilmu sosial, khususnya yang terkait dengan gagasan perlunya melakukan proses
indegenousasi Ilmu – Ilmu Sosial di Indonesia.
Kedua,
membahas pendekatan dan metodologi. Kajian dalam bagian adalah bagaimana
menemukan pendekatan yang cocok dan sesuai dengan kultur serta fenomena sosial
tanpa menggunakan pendekatan Barat yang bersifat copy – paste.
Ketiga,
membahas tentang kasus dan fenomena sosial di Indonesia yang memiliki rumusan
kebhinekaan. Teori yang digunakan dalam kajian ini adalah menggunakan gagasan
dan berbaasis pada kearifan lokal masyarakat yang multikultur.
Buku ini menjadi
mestinya inspirasi bagi pembaca untuk dapat mewujudkan terjadinya transformasi
yang tak terbatas tidak hanya pada tataran pemikiran khususnya bagi pada
pendidik – guru, untuk dapat merealisasikan terjadinya transformasi masyarakat
Indonesia. Aktivitas sosial yang memiliki kesadaran bahwa ilmu adalah merupakan
instrumen sangat dahsyat bagi transformasi bukan revolusi sosial. Semua
Perubahan berawal dari ide – ide gemilang, kata – kata, diskusi – diskusi,
forum – forum ilmiah. Dari kondisi inilah keinginan yang memisahkan diri dari
ketergantungan dominasi Barat dalam ilmu – ilmu sosial dapat segera
direalisasikan.
Pandangan KH Said Agil
Siraj, Ketua Majelis Wali Amanah UI, mengatakan bahwa pribumisasi ilmu
pengetahuan di Indonesia sudah saatnya dilakukan. Ilmu pengetahua yang
diperoleh dari dari luar digali secara epistemologi, kemudian dilakukan
pembaharuan bahkan penemuan baru. Langkah pribumisasi ilmu pengetahuan ini
mesti dilanjutkan untuk menemukan teori – teori baru baik di bidang sosial,
humaniora maupun eksak.
Ini menunjukkan bahwa
manusia dan bangsa Indonesia belum memiliki komitmen dan intensitas yang kuat
untuk menjadikan Pancasila dan kebudayaan luhur Indonesia untuk dikembangkan
dalam tataran pendidikan di semua jenjangnya. Komitmen ini penting sebagai
salah satu usaha pribumisasi ilmu pengetahuan. Salah satu penyebab komitmen ini
belum tampak adalah adanya ketidakpercayaan diri atau penyakit suka kalau
segala sesuatunya dihubungkan dengan yang bersifat asing (xenofilia). Kita patut tergerak / tergelitik dengan ungkapan
intelektual Korea, Koh Young Hun, yang mengatakan Korea saja bisa, Apalagi
Indonesia. Ini mestinya mendorong semua komponen bangsa untuk berpartisipasi
diri mewujudkan tegaknya ilmu pengetahuan yang berpijak pada unsur dan kearifan
lokal yang multikultur ini menjadi tuan di negerinya sendiri.
Ada 4 hal yang mendorong
Bangsa Korea menjadi bangsa yang maju di kawasan Asia sejajar dengan bangsa
Barat antara lain :
1.
rajin bekerja
2.
sikap hemat
3.
mandiri / jujur dan percaya diri
4.
koperasi
Dari empat hal di atas sebenarnya merupakan nilai
luhur Bangsa Indonesia, yakni “raji pangkal pandai dan hemat pangkal kaya serta
sedikit bicara banyak kerja” adalah pepatah yang telah mengakar dalam budaya
Indonesia. Sikap Mandiri melekat dalam nilai religi sebagaimana tertuang dalam
Al-Qur’an dinyatakan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu
bangsa kecuali bangsa itu mengubah nasibnya sendiri. Koperasi adalah sendi –
sendi budaya Bangsa Indonesia yang amat menonjol. Koperasi atau gotong royong
tetap terpelihara dan dilestarikan.
Saatnya
kini ilmuwan Indonesia untuk menghilangkan rasa tidak percaya diri dan xenofilia untuk menuju Indonesia Emas.
Indonesia yang dalam teori pembangunannya menuju pada pengembangan ilmu
pengetahuan yang tidak ahistori, penyebabnya adalah mengembangkan pengetahuan
yang berbasis sudut pandang masyarakat sendiri akan dapat mengembangkan teori –
teori pembangunan yang mempunyai akar sejarah kuat dalam masyarakat. Selain itu
proses indegenousasi juga akan membebaskan masyarakat dari penunggalan
kebenaran, karena akan menjadikan proses pembangunan menjadi tidak seragam dan
akan sesuai dengan kondisi lingkungan, politik, ekonomi dan masyarakat
setempat.
Pengembangan
perspektif masyarakat asli dalam pembangunan juga akan membawa pembangunan yang
dijalankan adalah pembangunan yang bebas kontrol dan kendali kepentingan
masyarakat Barat, karena pembangunan berbasis pada kepentingan masyarakat
sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan pemikiran – pemikiran dari intelektual
organik yang mau dan berkomitmen untuk hidup dan mengembangkan pengetahuan yang
ada dalam masyarakat berbasis kearifan lokal yang multikultural.
Skala
besar yang menjadi gagasan dalam buku ini sebenarnya mengajak kepada para
pemangku kepentingan untuk memulai dari skala yang kecil. Guru memegang peranan
yang sangat urgen karena dari merekalah sebenarnya motor penggerak yang dapat
mendorong lahirnya embrio dehegemonisasi barat
terhadap eksistensi kedaulatan negara, termasuk kedaulatan bidang di akademik. Keberanian
untuk mencoba dan menuangkan hasil olah pikir, olah rasa maupun olah raga untuk dikembangkan sesuai dengan kultur
sendiri (lokal) semestinya mendapat ruang dan dukungan dari stake holder negeri ini untuk menuju kepada
kemandirian akademik.
Sangat
ironis apabila kalangan akademisi merasa nyaman dengan xenofilia yang selama ini telah merasuk dalam sendi – sendi pola
pikirnya. Sebagai kalangan pemikir mestinya dengan kemampuan berpikirnya mampu
untuk menjadi pionir pemikir bukannya hanya pembeo atas doktirn teori yang
dikembangkan oleh akademisi barat terhadap Indonesia. Dengan adanya keberanian
itu memungkinan untuk memiliki sikap terbuka dan lahirnya kemandirian akademik.
Melalui
pemikiran yang berupa energi kreatif kritis dan orisinil serta independen dalam
membaca fenomena negara, maka akan diketahui berbagai perspektif teori poilitik
dan sosial yang selama ini konfigurasi maupun bangunan ketatanagaraannya telah
mengalami bias negara, karena condong pada hegemoni kekuatan politik
kapitalisme internasional. Apabila kondisi ini diteruskan maka Indonesia akan
tertelan oleh kemajuan jaman, jaman yang dikemas dan diskenario oleh peradaban
barat.
Menelisik
kemunculan Buku “Menuju Indigenousasi
Ilmu Sosial Indonesia” memberikan angin segar dan harapan kepada warga
masyarakat Indonesia untuk menunggu cendekiawan atau pemikir Indonesia berani
menuangkan buah pikirnya berdasarkan filsafati lokal dan nasional untuk
mengembangkan nilai – nilai luhur menjadi pijakan bagi kebijakan yang terbebas
dari kungkungan belenggu kepentingan barat. Baik dalam urusan ekonomi, politik,
sosial, maupun budaya. Indonesia merupakan negara yang sebenarnya super
talenta, namun karena hegemoni barat yang terlanjur mendalam ini membutuhkan
keseriusan dari semua stake holder bangsa ini untuk sungguh – sungguh melakukan
tindakan / eksekusi secara nyata bagi terwujudnya “Dehegemonisasi Barat Terhadap
Dunia Ketiga”.
Kalau
tidak dimulai dari sekarang maka kapan
akan dimulai meski untuk skala yang masih kecil, tetapi sudah terwujud nyata
adanya. Peristiwa besar yang melanda Indonesia (Penjajahan Akademik) semula
dimulai hal – hal kecil sampai akhirnya menjadi suatu hegemoni seperti sekarang
ini. Oleh karenanya, peristiwa kecil yang terwujud lewat diskusi di FISTRANS
Institute aka menjadi bola salju (Snowball)
yang bergulung – gulung semakin membesar menuju kemandirian pemikiran dan pola
hidup di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar